Bagaimana rakyat menghargai hukum, jika elite politiknya menghinakan hukum? Gara-gara honor semilyar, kepala bisa ditukar pantat.
Apa yang menjadi penyebab utama, orang begitu benci Jokowi? Benarkah satu-satunya alasan karena mereka pemuja Prabowo?
Rasanya tidak. Atau setidaknya, Prabowo adalah alasan yang dipakai, untuk menegasi Jokowi, oleh kelompok yang selalu menumpang angkutan umum. Meski kemudian lagi-lagi Prabowo keok, sebagaimana Pilpres 2014, seolah memang ia jago spesialis kalahan.
Hingga dicarilah segala alasan, yang tampak relevan. Entah yang karena tidak Islam, menghina agama, kriminalisasi ulama, melarang adzan. Meski tentu saja tak ada alasan tunggal, sekalipun pada masing-masing individu. Karena masing-masing juga mempunyai kompleksitasnya.
Ada orang pinter, doktor, lulusan luar negeri, alim, rajin shalat, hafal alquran, atau ke gereja, pinter kutbah ndakik-ndakik tentang kemuliaan adab; tapi buta-tuli mata serta telinganya. Jokowi bukan ideal-typenya, karena tidak gagah, juga bukan trah priyayi.
Baca Juga: Prabowo dan Sorga Anak Kecil
Jika kita menyerah pada misteri ini, mungkin kita bisa bilang, demikianlah selalu dihadirkan kesepadanan. Bung Karno, kita tahu, adalah tokoh besar. Musuh-musuhnya pun besar. Sekali pun tentu jangan dilupakan, para sahabatnya pun orang-orang besar. Entah itu abang beca atau tukang soto kaki-lima, seniman, politisi dunia.
Mungkin saja Rizal Ramli, atau Rocky Gerung dan Amien Rais, punya banyak pengikut. Type kelas menengah atas, pintar, terdidik, elitis. Lebih keren dibanding Jokowi.
Tapi kenapa Jokowi yang jadi presiden? Karena dalam perjalanan hidup manusia, tak ada ujug-ujug. Tak ada makbedundug. Kecuali ketidakpahaman kita akan proses yang berjalan.
Jika bukan demikian, ngapain Megawati yang mendapat mandat penuh dari partai, untuk boleh melakukan apa saja, termasuk menunjuk diri-sendiri sebagai capres, malah nunjuk Jokowi? Emangnya gampang jadi presiden? Kalau gampang, kenapa 3 kali nyoba nyapres, bahkan nyawapres, Prabowo gagal mulu?
Tak ada misteri sesungguhnya. Ketika dicanangkan 'PDIP Menang Jokowi Presiden', PDIP yang kalah dalam Pemilu sebelumnya, kembali meraih kemenangan dalam Pemilu 2014. Hingga kemudian Jokowi bisa melibas Prabowo.
Sebagian besar rakyat mengetahui dan meyakini, Jokowi adalah ghirah rakyat. Representasi dari kejenuhan akan puna-puni, tipa-tipu elite politik yang selama ini memanipulasi kedaulatan rakyat. Termasuk Amien Rais atau pun Sandiaga Uno, yang mengatakan gugatan sengketa Pilpres 2019 adalah kehendak rakyat. Rakyat yang mana? Yang 44% pemilih Prabowo-Sandi pun, belum tentu. Apalagi 56% rakyat yang milih Jokowi.
Baca Juga: Sulit Buktikan Pemilu Curang, Prabowo Harus Legowo
Klaim-klaim kubu 02, dari Prabowo hingga pendukungnya di medsos abal-abal, tak pernah argumentatif. Lebih acap manipulatif, jika bukan framing bias. Termasuk tiba-tiba Bambang Widjojanto, menjadi lebih politikus daripada lawyer profesional. Bagaimana rakyat menghargai hukum, jika elite politiknya menghinakan hukum? Gara-gara honor semilyar, kepala bisa ditukar pantat.
Demokrasi hanya dibaca dari sisi hak, dan senyampang itu hukum diabaikan sebagai sisi gelap proses demokratisasi. Untuk generasi milenia 2024 mendatang, apalagi 2045, generasi type Prabowo, Sandiaga, Amien Rais, Rizieq Shihab, Fadli Zon, Bambang Widjojanto, Anies Baswedan, cum suis, akan makin tidak relevan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews