Golput Bukan Sikap Pemilu Damai

Selasa, 26 Februari 2019 | 10:42 WIB
1
358
Golput Bukan Sikap Pemilu Damai
Ilustrasi Golput (Foto: Tempo.co)

Golput-Golongan Putih, dipahami sebagai golongan warga yang tidak memberikan suaranya pada calon yang ada. Golput adalah hak dan dilindungi secara hukum, artinya tidak menggunakan hak pilihnya adalah bagian dari demokrasi itu sendiri. Buat saya Golput bukan sikap pemilu damai.

Pemilu langsung dan jurdil pakem yang disematkan setiap Pemilu sejak jaman ORBA dulu. Sebelum ORBA saya belum cukup umur menjadi pemilih. Langsung, umum, bebas, dan rahasia yang dikenal dengan LUBER adalah kewajiban bagi warganegara setiap periode pemilu. 

Mau dipakai atau tidak menjadi hak warga negara, sehingga sekitar tahun 70an muncul GOLPUT. Golongan putih. Warga negara tidak mencoblos atau bahkan mencoblos semua kontestan yang tertera di kartu pemilih agar surat suara tidak sah, dan tidak memilih salah satu kontestan yang bertarung, tujuannya agar surat suara terhitung sebagai surat suara tidak sah.

Tapi untuk kali ini berbeda karena Pemilu selain LUBER dan JURDIL, pemilu itu harus damai dari unsur Radikalisme, Hoaks dan Terorisme Pemilu kali ini adalah pemilu gelisah yang dibayang-bayangi ketakutan; dihantui bumbu-bumbu radikalisme, hoaks dan terorisme. Dan Golput tidak mengeliminasi beredarnya Hoaks, Kekerasan dan terorisme.

Bumbu radikalisme berbeda dari bumbu penyedap rasa,juga bukan bumbu pesta demokrasi yang diinginkan. 

Pemilu sering dibaratkan sebagai pesta demokrasi., kegembiraan berdemokrasi hancur luluh laqntak ketika  radikalisme, hoaks dan terorisme menjadi bagian yang ikut di dalamnya, barangkali tidak dijumpai Pemilu jaman ORBA.

Pesta demokrasi yang harusnya memuat unsur-unsur, meriah, memyenangkan, gembira dan partisipasi aktif pesertanya justru dinodai terlebih dulu dari peserta-pesertanya Bagaimana kedamaian pemilu dapat tercipta jika salah satu kontestannya menyebut dengan PERANG TOTAL sementara yang lain menyanyikan doa seperti doa Nabi di Perang Badar?

Keduanya mengatakan pemilu kali ini adalah pilihan hidup mati yang ujungnya berimbas pada sikap pemilihnya. Pendukung Perang Total mengambil kapak perang masing-masing dan menentengnya untuk menghabisi lawan.

Sementara dengan digaungkan doa saat Perang Badar, hari ini adalah pilihan hidup mati, tak ada pilihan lain. Ini melencenga dari suasana pesta, merujuk pada perang dan perang yang siap mengambil korban nyawa. Bagaimana pemilu damai terbentuk dari Hoaks, berita bohong dan fitnah sebagai cara untuk memenangkan kontestasi.

Hoaks, Fitnah dan berita bohong melahirkan kebencian, syak wasangka yang salah yang pada akhirnya membuat kebencian, ketidaksenangan dan missperseption. Dimana meriahnya sebuah pesta dalam suasana perang? Padahal Demorasi adalah pesta rakyat. Pemilu agenda rutin yang berlangsung secara perodik, dan tidak berarti sesudah pemilu 2019 ini, dunia akan kiamat.

Sesudah 17 April nanti, kehidupan akan kembali seperti biasa, pemenang kontetasi pemilu akan memimpin Negara dan bangsa untuk periode berikutnya, begitu juga pemilu 2024 dan seterusnya, selama paham demokrasi tetap menjadi acuan Negara. Mari kita gunakan hak suara kita, sebagai warga Negara yang bertanggung jawab.

***