Menjadi Kuning, Rahasia Ideologi Politik TGB yang Belum Terungkap

Minggu, 23 Desember 2018 | 16:00 WIB
0
527
Menjadi Kuning, Rahasia Ideologi Politik TGB yang Belum Terungkap
Tuan Guru Bajang (Foto: Tribunnews.com)

Lama tak terdengar nama ulama-politisi ini di kancah politik praktis. Terakhir ketika tiba-tiba dirinya menyatakan mendukung Jokowi 2 periode, sempat menjadi isu hangat di tengah masyarakat. Setelah Jokowi menunjuk Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya, nama Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi memang sempat meredup, tetapi kini muncul dengan berganti "baju" ideologi politik. 

Saya kira, sejak dukungannya kepada Jokowi beberapa waktu lalu, ideologi politik TGB memang sudah "kuning", karena dirinya tak lagi sejalan dengan "baju biru" kepolitikannya di Partai Demokrat sekalipun parpol ini mengantarkannya duduk menjadi penguasa di NTB. 

Tak hanya itu, soal ideologi keagamaan yang dianutnya, TGB cenderung "tawasuth" (tengah-tengah), kurang diterima oleh arus deras pemikiran yang "ketat" dan sulit juga bergabung dengan kelompok yang cenderung berpikiran serba "longgar".

Asumsi saya, pilihan TGB untuk bergabung dengan Partai Golkar sekaligus menjelaskan kepada publik bahwa sudah sejak dulu sebenarnya ia memang berideologi politik "kuning". Secara politik mungkin dapat dijelaskan, Golkar sekalipun lahir dari rezim yang sempat digulingkan oleh semangat reformasi, namun memiliki sumber daya yang multikultural baik secara ideologi keagamaan maupun politik. 

Keberadaan Golkar dipandang tidak "hijau" juga tidak "merah", bahkan "putih" pun tidak. Inilah barangkali yang menjadi alasan kuat, kenapa TGB tampak lebih nyaman memilih Golkar dibanding parpol lainnya yang mungkin saja cenderung ketat terhadap "warna" kepolitikannya.

Alasan TGB yang menyebut bahwa Partai Golkar merupakan wujud partai tengah yang kokoh, sekaligus ia meyakini betapa pentingnya bersikap moderat dan pertengahan bagi kelangsungan kehidupan bangsa -yang dalam hal ini mungkin saja masuk didalamnya soal ideologi keagamaan- membuat sosok yang digelari "Tuan Guru Bajang" ini meniti karir politiknya kembali dengan warna baru. 

Terlepas dari berbagai klaim parpol yang menyatakan TGB sudah bergabung dengan mereka dan kekecewaan beberapa pihak terhadap pilihan politiknya, kita patut menghargai upaya perjuangan TGB yang tak pernah berhenti di jalur politik praktis.

Pria yang menjabat Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) yang ditunjuk menggantikan Quraish Shihab pada Oktober 2017 lalu, tak hanya sosok politisi ulung, tetapi juga ulama yang berdidikasi terhadap perkembangan dan kemajuan Islam Indonesia. Pilihan Quraish Shihab yang langsung menunjuk TGB untuk menggantikannya bukan semata-mata karena soal kedekatan pribadi, namun yang pasti, 

TGB merupakan sosok ulama yang memiliki pengetahuan yang cukup luas terhadap seluk-beluk ajaran Islam. Karir akademisnya sejak S1 sampai S3 diselesaikan secara sempurna oleh TGB di Universitas Al-Azhar Mesir yang juga dikenal berbasis ideologi pemikiran Islam yang cenderung moderat dan pertengahan.

Menarik sebenarnya menelusuri jejak karir politik ulama-politisi ini, karena memang wujud paling lengkap dari seorang politisi yang sekaligus ulama barangkali tak banyak dan TGB mungkin salah satunya. Umumnya, karir politik mereka yang mengenyam pendidikan Timur Tengah dipastikan nyaman berada dalam parpol yang berwarna "hitam-putih", hampir tak pernah melirik kelompok berideologi politik "hijau" apalagi "merah". 

Lain halnya dengan TGB, yang walaupun ia merupakan "aktivis" Timur Tengah, tetapi sejak awal malah lebih memilih bergabung ke Demokrat, bukan PKS, PPP atau PKB. Inilah yang saya maksud, kecenderungan sikap moderat TGB kemudian semakin menemukan momentumnya, ketika ia justru memilih Partai Golkar sebagai kendaraan politik terbarunya. Berarti, tak salah jika memang sudah sejak dulu ideologi politik TGB sudah "kuning".

Keberadaan TGB di jalur politik tentu saja memiliki tujuan dan utamanya adalah "kuningisasi" karena bagaimanapun banyak diantaranya yang terjebak dalam "fanatisme warna" sehingga pada akhirnya cenderung "homogen" dalam berbagai sikap politiknya. "Kuningisasi" yang dimaksud tentu saja berbeda dengan konsep "kuningisasi" era Orde Baru yang menuntut seluruh kawasan dicat warna kuning, atau memaksa para pekerja pemerintah "berbaju" kuning karena jika tidak, maka siap-siap wilayah mereka terabaikan dalam setiap proses pembangunan. 

"Kuningisasi" ala TGB bertujuan bagaimana merefleksikan sikap politik secara moderat dan benar-benar berupaya mengajak seluruh elemen masyarakat agar selalu mengedepankan sikap moderasi, baik dalam berpikir dan juga bertindak. Sejauh ini, tampak sekali betapa masyarakat terkotak-kotakan akibat polarisasi politik, sehingga sikap moderat dalam berbagai hal dianggap tak relevan bahkan diacuhkan.

Berbagungnya TGB ke Partai Golkar selain menjadi tambahan amunisi politik bagi elektabilitas parpol berlambang beringin ini, sekaligus juga penegasan sikap politik dirinya untuk berjuang membangun masyarakat muslim Indonesia yang ramah, toleran, dan tentu saja selalu berada di 'jalur tengah' dalam hal ideologi politik maupun keagamaan. 

TGB selalu memandang penting sikap moderat yang ditunjukkan melalui sekian banyak prestasi dan keberhasilannya membangun masyarakat NTB dengan tanpa memunculkan "gesekan politik" sedikitpun. Keberhasilannya menjaga keseimbangan masyarakat melalui kematangan dan kedewasaan dalam sikap toleransi antarumat beragama, menjadi salah satu contoh dari upaya keras TGB menumbuhkan moderasi di daerahnya.

Saya kira, tak terlalu terburu-buru untuk menilai TGB sebagai "politisi kutu loncat" yang berpindah dari satu parpol ke parpol lainnya dengan alasan mengharap kekuasaan. Sikap politik pribadinya yang mendukung Jokowi di ajang kontestasi politik, seharusnya tidak dipandang sebagai sikap "nyeleneh" dari Partai Demokrat yang tampak berseberangan. 

Perhitungan politik TGB mendukung Jokowi tentu saja telah dipertimbangkan secara matang dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya. Arus kuat "politisasi agama" yang sangat mengganggu iklim politik, justru berhasil mengeluarkan TGB dari kungkungan itu, sekalipun konsekuensi yang harus diterima tentu saja tuduhan-tuduhan menyakitkan dari publik.

Namun yang pasti, berbagai isu negatif yang sejauh ini dituduhkan di saat ia menyatakan mendukung Jokowi 2 periode karena dianggap bagian dari kelompok politik "berbaju merah", sepertinya terjawab sudah. Dengan bergabungnya dalam Partai Golkar, TGB berupaya menepis berbagai macam isu miring yang selama ini menyudutkannya. 

Dengan memilih dan bergabung ke dalam Partai Golkar tentu saja ia sedang membangun image politiknya sendiri, sekaligus melepaskan dirinya dari berbagai tuduhan politik yang kurang mengenakkan. Bagi saya, TGB merupakan sosok ulama yang berjuang di jalur politik kekuasaan, ikut mewarnai eskalasi politik Indonesia dengan cara-caranya tersendiri. 

Ulama-politisi ini semoga tetap berkhidmat bagi kepentingan rakyat, berjuang dalam semangat keagamaan yang diyakininya, memberikan citra baik bagi Islam Indonesia dengan kejujuran, ketulusan, dan keikutsertaannya memperjuangkan amanah rakyat.

Selamat!

***