Supersemar yang Terlupakan, Jendral M Jusuf dalam Loyalitas dan Soliditas

Dari Jendral Jusuf, kita dapat belajar banyak hal. Diantaranya keteguhan dalam bekerja, dan juga pengabdian pada atasan. Tidak untuk kepentingan diri sendiri.

Jumat, 12 Maret 2021 | 02:37 WIB
0
258
Supersemar yang Terlupakan, Jendral M Jusuf dalam Loyalitas dan Soliditas
Jendral M. Jusuf (www.tirto.id)

Hari Kamis, 11 Maret, bersamaan dengan peringatan Isra Mikraj. Juga ada momen dimana Soekarno menerbitkan Supersemar. Akronim dari Surat Perintah Sebelas Maret.

Supersemar sendiri menjadi kontroversi dan juga diringi dengan pendukung dan wujudnya penolakan di kemudian hari.

Secara khusus, dalam rangkaian penerbitan surat tersebut ada kunjungan tiga jendral ke Istana Bogor. Diantaranya Jendral M. Jusuf, bersama Jenderal Amirmachmud dan Jenderal Basuki Rahmat.

Nama kecil yang juga pernah digunakannya adalah Andi Mo'mang (Andi Mattalata “Meniti Siri’ dan Harga Diri” 2014). Kemudian justru dalam perjalanannya, gelar bangsawan Andi tidak digunakannya lagi.

Sepanjang 1966 sampai wafatnya, 8 September 2004, secara khusus tidak pernah membicarakan seperti apa Supersemar itu. Walau ada juga pendapat bahwa Jendral M. Jusuf memegang satu salinan berupa photo copy.

Begitu pula dengan pendapat lain bahwa justru Jendral M. Jusuf-lah yang memegang map merah memasuki Istana Bogor, dan menyerahkan naskah Supersemar yang sudah siap ditandatangani.

Namun, semua percakapan itu, tidak pernah terkonfirmasi. M. Jusuf sampai wafat tidak pernah memberikan maklumat apapun. Semuanya diserahkan kepada Jendral Besar Soeharto selaku atasannya.

Kamis, 9 September, dimakamkan di Panaikang, Makassar, berada di samping pusara putranya, Jaury Jusuf Putra. Saya menyaksikan sebuah patung di rumah sakit Akademis, Makassar. Kata orang-orang, itu patung yang bernama Jaury Jusuf Putra.

Supersemar sendiri menjadi bagian dalam alih kekuasaan Soekarno ke Soeharto. Ajuda yang setia mendampingi Soekarno, sejak 1966 sampai awal 1967, Soekarno tidak lagi punya kesibukan yang berarti.

Ada aktivitas mendengarkan musik keroncong. Itupun kemudian berhenti setelah Soekarno tidak lagi mendiami istana Bogor.

Kemudian ketika tidak lagi menjabat presiden, Bung Karno mendiami Wisma Yaso. Ada yang menyebutnya sebagai tahanan rumah.

Ricklefs (2008: 568) menuliskan dalam buku “Sejarah Indonesia Modern”, Supersemar menjadi momen dimana Soeharto menghabiskan seluruh warisan demokrasi terpimpin Soekarno.

Ricklefs menggambarkan bahwa penghancuran itu terjadi di hadapan Soekarno yang marah tetapi tidak dapat melakukan apa-apa.

Dua tahun setelah wafatnya Jendral M. Jusuf terbit buku yang ditulis Atmadji Sumarkidjo (2006) berjudul “Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit”.

Dalam nama Jusuf, kemudian dikenang dengan loyalitas. Begitu pula dengan nama Jusuf jugalah ada panglima ABRI yang justru bukan dari Jawa, tetapi dari tanah Bugis.

Loyalitas dan kedekatannya dengan para prajurit yang menjadi kecurigaan tersendiri rekan kerjanya, sehingga dicurigai memiliki ambisi kekuasaan.

Ia dituduh ambisius, walau tuduhan itu dilancarkan secara halus. Namun, sang jendral menolak tuduhan itu dengan tetap bekerja yang terbaik. Bukan untuk dirinya dan kekuasaan yang dipegangnya, tetapi justru untuk menjadi citra bagi atasannya.

Sejak itu, tetap saja menunjukkan kerja yang unggul. Bukan untuk kepentingan dirinya, tetapi justru untuk pengabdiannya dalam loyalitas.

Terakhir memegang jawatan sebagai kepala Badan Pemeriksa Keuangan, selama sepuluh tahun. Dalam jawatan itulah tetap menjadi bagian dalam mendukung kekuasaan Soeharto. Sekali lagi, tidak untuk dirinya, tetapi pada atasannya.

Tipikal seorang prajurit yang senantiasa mengedepankan kemauan bekerja karena semata-mata perintah atasan.

Dari 1964 ketika pertama kali dilantik sebagai Mentri Perindustrian di Kabinet Dwikora I, sampai pada 1993 dengan jawatan terakhir di BPK, Jendral Jusuf selalu menunjukkan kinerja terbaik.

Bahkan dapat menjadi panglima ABRI yang juga merangkap sebagai mentri Pertahanan dan Keamanan 1978-1983, di kabinet Pembangunan III.

Dari Jendral Jusuf, kita dapat belajar banyak hal. Diantaranya keteguhan dalam bekerja, dan juga pengabdian pada atasan. Tidak untuk kepentingan diri sendiri, tetapi pada kepentingan bersama yang melampaui egoisme pribadi.

Bisajuga, Supersemar adalah tidak semata proses peralihan kekuasaan. Namun di dalamnya juga terkandung pesan dimana seorang prajurit tetaplah prajurit. “Bersedia bekerja atas apapun perintah atasan”.

***