Jika ingin menjadi oposan, mudah. Masuk ke lembaga politik formal (seperti PSI dan Gelora), atau menjadi kekuatan moral sebagaimana Buya Syafi’e, atau mungkin Rama Magnis Suseno.
Sejumlah orang (mau nyebut ‘tokoh’ kok man-eman), yang mengatasnamakan perwakilan masyarakat peduli masa depan negara dan bangsa, mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Watak korupsinya, dari awal sudah tampak. Mereka mengatasnamakan perwakilan masyarakat peduli masa depan negara dan bangsa. Saya nanya Mbok Satinem, penjual gatot-thiwul Kulon Tugu Yogya yang sohor itu, apakah dimintai ijin, atau memberi mandat untuk kepentingannya? Secara Mbok Satinem juga sangat peduli masa depan bangsa dan negara. Rumangsamu!
Belum pula jika saya nanya para pemilik kartu suara pada Pemilu dan Pilpres 2019; Apakah ada yang dimintai persetujuan?
Claiming dan tudang-tuding, adalah ciri-khas calon koruptor dan perampok jika berkuasa. Apalagi katanya, kita menuju ke arah yang salah, dan kapal besar Indonesia mau tenggelam. Tapi hanya dengan asumsi, bukan nalar gumathok.
Kalau pun ke arah salah dan mau tenggelam, 'kan mestinya segeralah singsingkan lengan baju, bekerja, selamatkan. Kok malah bikin koalisi. Itu namanya mroyekin kerjaan. Alias cuma sedang nyodorin proposal untuk nyari dana. Emangnya nggak lihat, bagaimana anak-anak muda bekerja, melakukan pendampingan sosial dan ekonomi ngadepin pandemi ini? Emangnya nggak lihat, bagaimana para ibu-ibu di pasar berjuang agar anaknya punya masa depan?
Makanya pertama kali membaca hal itu, kucing tetangga ketawa ngakak guling-guling. Apalagi melihat daftar nama yang disebut, beserta orang yang mendukung semodel Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, Fadli Zon, Rachmawati Soekarnoputri.
Sebagai gerakan politik, ruang gerak mereka sangatlah sempit. Vibrasinya, hanya akan terasa pada area tertentu, yang sama-sama butuh panggung. Itu pun dalam frekuensi khusus, entah berkait pilkada atau untuk tanem investasi 2024. Dari situ, tak ada signifikansinya dengan visi menyelamatkan bangsa dan negara. Mereka sedang menyelamatkan kepentingan masing-masing, yang memang tenggelam saat ini.
Sebagai gerakan moral? Lebih tak meyakinkan. Nama-nama yang terlibat tidak mempunyai moral-force. Moralitas mereka sama tak meyakinkan dengan cara dan strategi yang dipilih. Kelompok kepentingan yang kehilangan kredibelitas. Tak legitimate karena tak punya canthelan apa-apa.
Dari sisi reputasi, lebih banyak catatan negatifnya. Pada sisi itu, gerakan Grace Natalie dan Anies Matta, jauh lebih elegan dalam mewarnai demokrasi kita yang masih elitis dan pelitis.
Jika ingin menjadi oposan, sebetulnya mudah. Masuk ke lembaga politik formal (seperti PSI dan Gelora), atau menjadi kekuatan moral sebagaimana Buya Syafi’e, atau mungkin Rama Magnis Suseno, Karlina Supeli, atau entah siapa lagi dalam barisan ini.
Koalisi Din ini tak jelas jenis kelaminnya. Meski konon dibilang bergerak di wilayah amar ma’ruf nahi munkar. Cuma karena yang ngomong Din Syamsuddin, jadi tak ada maknanya kata-kata itu. Beda kalau yang ngomong Rocky Gerung. Makin lebih tidak bermakna lagi. Apalagi Said Didu, dan lebih lagi karena didukung Fadli Zon.
Sebagaimana ditulis George Orwell, bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati. Gerakan Din dekaka, meminjam istilah Orwell, hanyalah semacam topeng untuk sebuah ancas kekuasaan. Dan topeng selalu berkaitan dengan semacam kepalsuan, tulis Goenawan Mohamad dalam salah satu Catatan Pinggir. Fake is as old as the Eden tree, ujar Orson Welles. Kepalsuan itu setua pohon Eden.
@sunardianwirodono
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews