Politik Korona dan Ancaman Kohesi Sosial

Akan lebih terkena dampaknya, jika kebijakan karantina total, justru "memaksa" mereka meninggalkan aktivitas sosial-keagamaannya diganti aktivitas tertentu yang sangat individualistik.

Kamis, 4 Juni 2020 | 06:27 WIB
0
207
Politik Korona dan Ancaman Kohesi Sosial
Azyumardi Azra (Foto: sinarharapan.co)

Demikian salah satu kalimat pembuka dalam salah satu artikel Azyumardi Azra di Harian Kompas (26/3/20) yang berjudul "Korona dan Politik". Sekilas hal ini menunjukkan sesuatu yang tak mungkin terdapat korelasi diantara keduanya, padahal wabah korona yang saat ini menjangkiti masyarakat di seluruh dunia tidak lagi sekadar isu kesehatan dan sanitasi, tetapi soal bagaimana negara membuat kebijakan yang tepat dan sesuai agar pandemik yang dikenal dengan penyakit covid-19 ini, matarantai penyebarannya dapat diputus dan dihentikan.

Politik, pada akhirnya juga sangat menentukan dalam membuat berbagai kebijakan terkait dampak penyebaran wabah ini dan resiko-resiko sosialnya, terutama bagaimana mengatur dan membatasi bentuk-bentuk aktivitas tertentu  yang dianggap dapat memicu resiko penularan lebih luas dari virus yang berasal dari wilayah Wuhan, China ini.

Pemerintah Indonesia tentu saja sejauh ini tidak memberlakukan karantina total (lockdown) secara nasional, mengingat pertimbangan atas karakteristik kultural masyarakat Indonesia dan tingkat kedisiplinan yang sangat berbeda dengan masyarakat di negara-negara lain, selain bahwa kebijakan tersebut juga dibuat setelah melakukan evaluasi dan mempelajari kebijakan pandemik yang dijalankan berbagai negara lainnya.

Hal ini diungkapkan Presiden Jokowi ketika berpidato di Istana Bogor pada Senin (16/3) menyikapi kasus wabah ini. Jokowi  menegaskan tidak akan memaksakan karantina total secara nasional sekalipun sebaran kasus yang terkonfirmasi penyakit covid-19 meningkat dan muncul desakan dari berbagai kepala daerah agar pemerintah melakukan pengawasan lebih ketat terhadap  pergerakan masyarakat.

Kebijakan pengganti karantina total adalah mengajak masyarakat untuk tetap di rumah (stay home) dan menjaga jarak fisik (physical distance) dengan orang lain untuk mengekang persebaran wabah. Nampaknya, tidak berbeda jauh dengan Malaysia yang tidak menetapkan karantina total, tetapi lebih kepada "mengatur pembatasan pergerakan" (RMO) dan menghimbau masyarakat tetap di rumah. Kebijakan ini tentu lebih longgar dibanding di negara-negara lain yang secara total memberlakukan lockdown dan pada saat yang sama memberlakukan penjagaan jarak sosial (social distancing) dalam segala bentuk.

Kebijakan yang dianggap masih longgar ini terus mendapat tekanan dan kritikan dari banyak pihak, bahkan terdapat beberapa kelompok masyarakat yang gencar menyuarakan untuk karantina total dan penjagaan jarak sosial secara lebih ekstrem.

Berbagai tekanan politik ini, tentu saja membuat pemerintah segera mempersiapkan draft peraturan yang secara tegas akan membatasi atau melarang aktivitas sosial tertentu dalam wilayah atau waktu tertentu, sekaligus menetapkan batas-batas serta prosedur-prosedurnya. Demikian sebagaimana pernyataan Menkopolhukam, Mahfud MD dalam sebuah konferensi jarak jauh.

Kebijakan soal pandemik ini terus bergulir dan tak jarang menuai dukungan dan kritik. Beruntung, bahwa hampir tak ada kekuatan opisisi yang menolak kebijakan pemerintah ini, sehingga ritme sosial-politik dapat lebih terkendali dan kondusif. Namun demikian, desakan dari berbagai pihak yang terus menerus terhadap pemerintah, untuk melegalisasi kebijakan karantina total, semakin bertambah resiko sosial yang harus diantisipasi pemerintah.

Seperti terdapat anggapan dari beberapa pihak yang menyebut bahwa krisis yang diakibatkan covid-19 ini akan terus memburuk, terutama prediksi mereka yang dihubungakan dengan bulan Ramadan dan Idul Fitri, dimana kemungkinan akan ada 70 ribu orang terinfeksi korona saat event sosial-keagamaan terbesar itu berlangsung di Indonesia (thejakartapost.com 25/3/20).

Jika prediksi itu benar, maka lonceng kematian sepanjang sejarah Nusantara ini benar-benar nyata, karena jumlah 70 ribu orang yang terinfeksi tentu saja berpotensi  menularkan kepada puluhan ribu orang lainnya dan Indonesia dengan demikian akan kehilangan jutaan penduduknya dalam waktu cepat akibat pandemik yang dipicu oleh Ramadan dan Idul Fitri yang sejauh ini diyakini masyarakat Indonesia sebagai tradisi paling "sakral", sebab didalamnya solidaritas sosial meningkat sangat kuat, bahkan hubungan-hubungan sosial terkait dengan matarantai kekeluargaan yang sangat rumit, hanya terjadi dalam kedua tradisi ini.

Menjadi kekhawatiran berbagai pihak, di mana saat kebijakan "social distancing" diberlakukan, terlebih diperketat oleh cara-cara represif, seperti pelarangan bersosialisasi di Ramadan dan Idul Fitri, jelas akan memicu resiko baru lainnya yang tidak sekadar meledakkan social unrest, tetapi secara sistemik akan memperluas resiko-resiko sosial lainnya, bahkan mungkin lebih besar dari prediksi sebelumnya.

Sebuah analisis yang dibuat oleh Azyumardi Azra mengenai kebijakan politik ini cukup menarik, sebab ia pun seolah masih meragukan kebijakan lockdown sekalipun kebijakan ini diiringi bantuan insentif untuk membantu masyarakat yang terdampak kebijakan ini.

Menurutnya, akan sangat sulit mengimplementasikan dana kompensasi tersebut jika tanpa bantuan berbagai organisasi dan kelompok filantropi yang menjangkau hingga ke lapisan paling bawah masyarakat. "Untuk memelihara kohesi sosial, jaring pengaman sosial perlu menjangkau semua secara berkelanjutan. Jika tidak, social unrest bisa meledak" (Kompas, 26/3/20).

Politik korona, ternyata dalam implementasinya tetap masih menyisakan hal-hal yang pada tahap tertentu mengancam kohesi sosial, terlebih bahwa Indonesia merupakan masyarakat dengan karakteristik "religius" dengan tingkat solidaritas sosial yang sangat tinggi berasal dari semangat keagamaan setiap individunya.

Kebijakan karantina total sejauh ini belum tentu juga menjadi kebijakan efektif dalam menanggulangi suatu resiko karena tetap saja pada akhirnya, akan menimbulkan resiko lainnya yang mungkin saja lebih besar. Sebuah resiko pada umumnya, terkait secara khusus dengan segala hal yang berdampak kerugian, baik yang dihasilkan suatu aktivitas, kegiatan sosial tertentu atau rekayasa teknologi.

Dalam kasus pandemik korona, Indonesia tentu saja dihadapkan pada resiko-resiko sosial yang saling berkait atau bahkan berlawanan. Kebijakan penanganan pandemik ini, tidak hanya terkait secara langsung dengan aspek sanitasi atau kesehatan, tetapi secara sosial-psikologis, berdampak terhadap aspek kohesi sosial yang selama ini telah sangat baik tertata dalam rangkaian tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Belum jelasnya batasan-batasan waktu, kriteria, atau prosedur kebijakan pandemik ini,  dikhawatirkan berdampak lebih jauh terhadap seluruh sistem sosial yang ada.

Perlu juga dipahami, bahwa social unrest tidak selalu terkait dengan maraknya aksi sosial atau demonstrasi massa, sebagai bentuk penolakan atas suatu kebijakan tertentu. Hal-hal yang tidak pernah diprediksi sebelumnya, dapat memicu ledakan social unrest, tanpa harus dihubungkan oleh alasan terjadinya disfungsi sistem sosial. Sesuatu yang tak terduga, bahkan mungkin tak direncanakan, seringkali muncul secara spontan dan tiba-tiba, sehingga hampir tak sempat lagi melakukan pembatasan atau kontrol terhadap suatu sistem sosial (Schroter, et.all 2014).

Dalam konteks kebijakan penanganan wabah covid-19 ini, Indonesia tentu akan lebih banyak berhadapan dengan resiko-resiko tak terduga lainnya dan bahkan yang tak pernah diprediksi sebelumnya, mengingat resiko-resiko tertentu akibat suatu kebijakan akan banyak berbenturan langsung dengan aspek-aspek tradisi dan budaya masyarakatnya.

Sepanjang yang saya amati, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius yang dalam banyak hal, sangat peduli terhap nilai-nilai kohesivitas, seperti nyaman dalam satu kelompoknya, atau gemar berinteraksi dalam kelompok-kelompok aktivitas sosial-keagamaan tertentu karena kedekatan ideologis. Terutama masyarakat Muslim, tentu saja akan lebih terkena dampaknya, jika kebijakan karantina total, justru "memaksa" mereka meninggalkan sama sekali seluruh aktivitas sosial-keagamaannya diganti dengan aktivitas tertentu yang sangat individualistik.

Jika kebijakan yang diberlakukan tanpa mempertimbangkan resiko sosial lainnya, social unrest akan sulit dihindari. Ketidaknyaman sosial ini justru akan mengancam nilai-nilai kemanusiaan dan bahkan keagamaan pada akhirnya, sebab tingkat terendah dari social unrest dimulai dari "ketidakpuasan komunikasi" (communication of dissatisfaction) yang disebabkan oleh kebijakan yang gagal menjawab aspek kenyamanan, baik secara individual maupun sosial.

***