Sketsa Harian [14] Penaklukkan Kaffah

Ini model penaklukan yang kaffah dari ujung kaki sampai ujung kaki. Hanya, mantan lawan yang kini sudah jadi kawan saja yang ga menyadarinya, ga memahaminya.

Minggu, 3 November 2019 | 06:01 WIB
0
456
Sketsa Harian [14] Penaklukkan Kaffah
Joko Widodo dan Prabowo Subianto (Foto: BBC.com)

Lagi kepengen ngompol nih, ngomongin politik. Tapi kulitnya ajalah, ga sampai merasuk ke dalam, mumpung lagi kekinian aja dengan kulit salak yang lagi viral itu. Terus, mau ngompol apa? Ngompol soal oposisi saja ya, mumpung lagi kekinian juga meski ga seviral kulit salak.

Pertama, harus distabilo terlebih dahulu, bahwa urusan pulpras-pilpres sudah usai. Saya tidak sedang ingin mengorek-orek luka lama yang belum kering (kali aja kamu merasakannya). Toh sudah ada yang terpilih, bahkan yang kalah pun sudah dikasih. Ini yang bikin saya sedih...

Kalo saya Prabowo (sayangnya bukan), saya ga akan terima tawaran permen kekuasaan dari musuh besarnya itu, Joko Widodo. Mengapa? Ya, kesannya menghinakan diri sendiri aja, padahal Gerindra adalah partai besar, pun Prabowo. Tentu ada pertimbangan lain. Tapi mau jadi Menhan, Mentan atau apalah, tetap saja akan menjadi subordinat musuh besarnya yang mana dalam 10 tahun terakhir nama Prabowo menjadi tetap besar karena sateru politiknya itu.

Langkah gontainya Prabowo berjalan berdua Eddy ke Istana, sungguh adegan yang sangat vulgar, menohok, sekaligus miris, sebuah fragmen peristiwa yang menyimbolkan penaklukkan Jokowi secara terang-benerang terhadap rival politiknya di dua pilpres. Apa pertimbangannya, mana kita tahu, hanya Prabowo dan para malaikat yang paham.

Lelah, bisa ya. Capek, mungkin juga. Tetapi, ada 45 persen pemilih dan simpatisan Prabowo yang patah hati atas takluknya Prabowo hanya karena iming-iming permen kekuasaan. Mereka ambek dan lekas berpaling cari idola baru. Anies Baswedan ketiban rezeki. Dapet muntahan.

Alasan membangun bangsa dan negara bersama Jokowi, okay dan itu benar, agung, mulia. Tetapi, haruskah politik berakhir dengan suka sama suka seperti pasangan kumpul kebo? Padahal, rivalitas yang kelak melahirkan oposisi sangat penting dalam negara yang demokratis seperti Indonesia ini.

Rocky Gerung, "bapak dungu" (maksudnya yang mempopulerkan kata "dungu" ke seluruh Indonesia) yang tempo hari teriak-teriak kehilangan akun Twitternya (pasti bukan karena kedunguannya), adalah salah satu pendukung dan bahkan mungkin pemilih Prabowo yang kecewa atas sikapnya merapat ke Istana. Dan ada puluhan juta Rocky-Rocky lainnya, termasuk Rocky Mountain, yang kecewa atas keputusan politik Prabowo.

Kalo ga salah inget, Steve Jobs yang pernah ngomong (mohon dikoreksi kalo keliru), jadi pemimpin/CEO itu ga bisa memuaskan dua belah pihak, kalo mau semua senang, jualan eskrim aja.... begitu kira-kira.

Saya yakin, Pak Jokowi ga sedang jualan eskrim biar semua hepi, tapi ini lebih strategi politiknya yang sulit ditebak, zigzag seperti ambulans-nya Iwan Fals. Ini model penaklukan yang kaffah dari ujung kaki sampai ujung kaki. Hanya, mantan lawan yang kini sudah jadi kawan saja yang ga menyadarinya, ga memahaminya.

Kamu yang harus sadar sekaligus paham, son!

#PepihNugraha

***

Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [13] Jangan Berak di Tempat Kamu Makan!