Dokter Tifauzia Tyassuma Menanti Jawaban Presiden Jokowi

Kenaikan iuran tersebut diterapkan mulai 1 Januari 2020. Inikah jawaban Presiden Jokowi atas Surat Terbuka Dokter Tifauzia Tyassuma tersebut?

Rabu, 20 November 2019 | 16:21 WIB
0
6308
Dokter Tifauzia Tyassuma Menanti Jawaban Presiden Jokowi
Dokter Tifauzia Tyassuma. (Foto: Istimewa).

Seorang Dokter bernama dr. Tifauzia Tyssuma, President AHLINA Institute (Dokter dan Peneliti di Jakarta) pada 12 Oktober 2019 (pukul 4:23 PM) berkirim surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo perihal BPJS.

Pak Presiden Yth,

Perihal: BPJS

Feedback yang saya terima atas dua kali tulisan saya mengenai BPJS mencengangkan.

Beberapa Direktur Rumah Sakit kirim data dan fakta. BPJS hanya mampu bayar 5-10% dari tagihan per RS. Hutang BPJS Rp 20-800 miliar per RS. Ada 3000 RS di Indonesia. Belum tunggakan ke Puskesmas dan Klinik Pratama.

Vendor-vendor teriak-teriak dan menggedor-gedor pintu para Direksi menagih bayaran atas segala macam alkes yang digunakan. Peralatan medis modern yang harus dicicil mangkrak.

Bank-bank menawarkan kredit Dana Talangan (dengan bunga tidak sedikit) kepada RS-RS untuk membayar tunggakan. RS terpaksa menerima karena tidak tahan gedoran para vendor yang sudah semacam Debt Collector setiap hari nongkrong di depan Kamar Direktur.

Dokter dan Petugas Medis sudah 7-8 bulan tidak dibayar jasa medisnya. Tetapi mereka terus bekerja 12-36 jam setiap hari dengan penuh dedikasi (kisah pilu ini yang tak pernah digubris para pelanggan).

Gaji Karyawan RS dicari-carikan dari kredit dan kadang-kadang uang pribadi Direksinya yang sumbernya mungkin saja dari pegadaian sertifikat tanah RS atau BPKB mobil ambulans.

Asuransi-asuransi kesehatan swasta menjerit karena Nasabah lari sebanyak 70% ke Asuransi Kesehatan Swasta Milik Negara dengan pelayanan seadanya. Padahal apabila tarif baru diberlakukan maka sebenarnya tak ada beda dengan tarif asuransi kesehatan swasta yang memberikan layanan jauh lebih profesional.

Terjadi oligarki dan lama-kelamaan BPJS akan menjadi BUMN monopoli tirani totalitarian seperti PLN. PLN: Bayar atau pake lilin saja. BPJS: Bayar atau mati saja. Hmmm....sedikit demi sedikit kepingan puzzle mulai terkuak sebenarnya.

Banyak teman-teman pemilik RS-RS kecil gulung tikar. Lalu.... mulai bermunculan investor/ funder yang berminat membeli RS-RS yang gulung tikar itu. Hmm hmm.. Semua pihak jadi penunggak tertunggak dan ditunggaki jadinya ini?

Adakah yang tetap lancar jaya? Ada. Gaji Direksi dan Karyawan BPJS. Saya cuma pesan kepada Pak Jokowi:

Satu. Ganti Direksi dan rekrut profesional yang betul-betul jago bisnis Asuransi dan Keuangan. Dan jangan Dokter. Ngga ada hubungan bisnis asuransi dengan kecakapan Dokter. Walau ini bisnis Asuransi Kesehatan.

Dua. Pailitkan BPJS. Bubarkan. Ganti Lembaga baru dengan terlebih dahulu siapkan sistem dan manajemen yang perfecto.

Tiga. Kalau BPJS tetap mau diteruskan. Ganti undang-undangnya sehingga sistem kepesertaannya bersifat voluntary atau sukarela. Biarkan rakyat memilih mau ikut BPJS atau asuransi swata atau bayar biaya sakit secara out of pocket (bayar sendiri tanpa asuransi).

Agar Bisnis Asuransi Kesehatan baik yang dimiliki negara maupun swasta saling kompetensi dalam kualitas pelayanan dan tidak menjadikannya jadi oligarki dan akhirnya monopoli dan memberikan layanan terbatas dan sewenang-wenang karena merasa jadi anak emas yang manja, bebas teguran dan tuntutan.

Salam hormat

Tifauzia Tyassuma                                                                                                                

Salah Kelola

Apakah Presiden Jokowi sudah menjawab Surat Terbuka Dokter Tifauzia Tyassuma tersebut? Tampaknya Presiden Jokowi tidak memberikan jawaban secara khusus. Tapi, setidaknya, dia sudah menjelaskan persoalan yang menyangkut BPJS.

Melansir CNN Indonesia, Jumat (15/11/2019 14:59 WIB), Presiden Jokowi menyebut defisit BPJS Kesehatan karena kesalahan pengelolaan. Lebih spesifik dia mengatakan kesalahan ada pada pengelolaan iuran peserta mandiri.

Baca Juga: Diduga "Memeras" Rakyat, BPJS Sebaiknya Bubar!

Menurut Presiden Jokowi, peserta mandiri yang seharusnya membayar iuran per bulan, malah tidak memenuhi kewajibannya. Karenanya, dia menegaskan akan mengintensifkan penagihan iuran.  “Kami sudah bayari yang 96 juta peserta, dibayar oleh APBN,” ungkapnya.

Tapi, di BPJS Kesehatan terjadi defisit karena salah kelola saja. “Artinya apa? Yang harusnya bayar pada enggak bayar. Artinya, di sisi penagihan yang mestinya diintensifkan,” lanjutnya saat melakukan sidak ke RSUD DR H Abdul Moelok, Bandar Lampung, Jumat (15/11/2019).

Kunjungan tersebut untuk mengetahui pemanfaatan dan pelayanan BPJS Kesehatan yang diterima oleh para pasien. Presiden Jokowi menyebut sekitar 90% pasien telah menggunakan layanan BPJS Kesehatan.

Presiden Jokowi menuturkan, lebih banyak peserta BPJS Kesehatan yang membayar iuran secara mandiri. Padahal, jumlah peserta BPJS Kesehatan terbesar merupakan yang berasal dari kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang dibiayai oleh anggaran APBN.

Data BPJS Kesehatan per 31 Oktober 2019 menyebut bahwa terdapat 96.055.779 peserta BPJS Kesehatan yang dibiayai oleh APBN.

Sementara, peserta dari kategori PBI yang dibiayai anggaran APBD mencapai 37.887.281 orang. Artinya, lebih dari 133 juta peserta BPJS Kesehatan atau kurang lebih 60 persen dari total kepesertaan BPJS Kesehatan yang mencapai 222.278.708 ditanggung oleh negara.

“Ini yang mau saya lihat. Karena yang PBI itu kan banyak. Dari pemerintah itu 96 juta plus dari pemda itu 37 juta. Harusnya ini sudah mencakup 133 juta. Harusnya yang gratis 133 juta. Ada di mana? Siapa yang pegang? Saya hanya ingin memastikan itu,” tuturnya.

Jokowi mengatakan seharusnya defisit BPJS Kesehatan yang saat ini terjadi dapat diatasi dengan mengintensifkan atau memperbaiki sistem penagihan iuran peserta BPJS Kesehatan yang ditanggung secara mandiri oleh peserta.

Utang BPJS

Mengutip CNN Indonesia, Rabu (13/11/2019 09:11 WIB), Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) menyatakan, BPJS Kesehatan memiliki utang Rp17 triliun pada RS. Total utang BPJS Kesehatan ke RS merupakan data per 30 September 2019.

Pemerintah dan BPJS Kesehatan diminta untuk segera menyelesaikan utang itu. “Lebih baik dibayar. Biar nanti RS-nya enggak ikut sakit, karena semua kan perlu biaya,” kata Ketua PERSI Kuntjoro Adi Purjanto kepada CNNIndonesia.com di Jakarta, Selasa (12/11/2019).

Kuntjoro khawatir karena mulai bermunculan rumah sakit yang terancam “sakit”. RS tersebut menunggak biaya operasionalnya karena utang tersebut belum terbayarkan. Namun, Kuntjoro enggan menyebutkan persentase ataupun jumlah RS tersebut.

Menurutnya, sudah ada beberapa RS yang menunda pembayaran jasa dokternya, pegawainya, dan distributor obatnya. “Itu belum dibayar. Apalagi PMI bayar bank darah transfusi. Itu kan tertunda juga,” tuturnya.

Tak hanya untuk menyelamatkan operasional RS, Kuntjoro juga mengatakan pembayaran utang tersebut akan melancarkan pelayanan BPJS Kesehatan pada masyarakat. Terlebih, pemerintah sudah memiliki rencana untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Selain itu, terdapat anjuran dari Menteri Kesehatan Terawan Agus Pitranto untuk membantu pembayaran iuran bagi peserta mandiri kelas III, sehingga memungkinkan pertambahan peserta di kelas tersebut.

“Ada kemungkinan permintaan pasar kelas III meningkat karena permintaan penurunan kelas dari masyarakat. Tentu RS akan dan harus menyesuaikan. RS pemerintah harus segera menyediakan tempatnya. Masa didiemin saja,” ungkapnya.

Berdasarkan keterangan dari Kuntjoro, kenaikan jumlah peserta kelas III akan menuntut RS pemerintah untuk menyediakan ruangan RS untuk kelas III dalam porsi 30 hingga 40 persen. Dengan perkiraan ini, pelunasan utang diperlukan RS untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

“Kalau RS yang penting surplus, dibayar. Kalau ada dana yang mengucur setelah peraturan presiden turun, ini diharapkan banget,” pungkasnya. Kondisi keuangan BPJS Kesehatan sekarang ini memang masih dilanda masalah.

Mereka diperkirakan akan mengalami defisit keuangan sampai dengan Rp32 triliun. Untuk mengatasi masalah tersebut Presiden Jokowi menerbitkanPerpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Perpres berisi ketentuan soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri hingga dua kali lipat. Dalam keputusan itu, besaran iuran peserta mandiri kelas III naik Rp 16.500 dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per peserta per bulan.

Iuran kelas mandiri II dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu per peserta per bulan. Kelas I melonjak dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per peserta per bulan.

Kenaikan iuran tersebut diterapkan mulai 1 Januari 2020. Inikah jawaban Presiden Jokowi atas Surat Terbuka Dokter Tifauzia Tyassuma tersebut?

***