Polemik RKUHP: Istana Cuci Tangan, DPR Jadi Tumbal

Pasal pasal kontroversial bisa kita diskusikan, tapi tidak harus kita menolak semua RKUHP ini secara total lalu kita kembali ke zaman kolonial. Gimana kita bisa berpikir semundur ini?

Minggu, 29 September 2019 | 09:38 WIB
0
321
Polemik RKUHP: Istana Cuci Tangan, DPR Jadi Tumbal
Penolakan atas RUU KUHP (Foto: Merdeka.com)

Kita ini sudah terbiasa diajak berpikir dengan pola pikir inkonstitusional.

Kita terbiasa diajak menelan mentah mentah sebuah berita, padahal kualitas beritanya afiliatif dan monopolistik.

Polemik RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tidak lain karena kita kurang baca, malas baca, malas mikir, tidak bisa berpikir jernih, tidak punya daya analisa yang baik.

Hanya ada beberapa pasal saja dalam RKUHP yang mengandung polemik dan multitafsir, selebihnya banyak manfaat daripada mudhorot. Kenapa gak fokus buang mudhorot dan ambil manfaat daripada ribut yang tak berguna?

Cara kita berpikir inkonstitusional ini membuat kita memaklumi kalau ketua KPK salah misalkan. Tapi atas nama memberantas korupsi, lalu kita abai bahwa mereka juga manusia yang memang bisa salah.

Cara berpikir inkonstitusional membuat kita memaklumi kalau ada partai melanggar hukum atas nama dakwah. Atas nama dakwah yang haram jadi halal? Kapan kita mau sehat?

Cara kita berpikir ewuh pakewuh membuat kita membiarkan hukum warisan kolonial menjadi kitab suci kita, walaupun isinya sangat tidak manusiawi. Hanya karena 1 atau 2 pasal yang masih bisa kita revisi dengan kepala dingin.

Bagaimana kita menyalahkan DPR 100% sedangkan semua kekuasaan di negeri ini ada di meja presiden, begitulah konsekuensi kita karena kita menganut sistem presidensial.

Bagaimana kita bisa mengeruduk kantor DPR dan mengabaikan istana, padahal semua kerusakan dan amburadulnya negara ini saat ini berasal dari kantor kepresidenan.

Bagaimana kita memaklumi istana cuci tangan dan menjadikan DPR sebagai tumbal, padahal DPR hanya tukang stempel, sedangkan istana semua yang punya kepentingan di balik itu.

Coba anda pikir, salah satu pasal kontroversi dalam RKUHP adalah pasal penghinaan presiden, siapa yang order pasal ini? Istana jawabannya karena Jokowi sudah gak tahan dikritik.

Pasal penghinaan presiden akan disahkan oleh sebab itu terjadi penolakan, padahal dulu masa SBY ditolak oleh oposisi, anda pasti tau siapa oposisi saat itu. Partainya Jokowi saat ini.

Anggota DPR padahal banyak yang menolak pasal penghinaan presiden ini diaktifkan kembali, tapi siapa yang ngotot pasal ini aktif lagi? Menkumham Yasonna Laoly, siapa dia? Kepercayaannya Jokowi. Kenapa DPR yang kena getah nya?

Istana cuci tangan, padahal banyak pasal dalam RKUHP ini adalah orderan mereka, DPR jadi tumbal dan kita ikut saja permainan kotor ini?

Pasal pasal kontroversial bisa kita diskusikan, tapi tidak harus kita menolak semua RKUHP ini secara total lalu kita kembali ke zaman kolonial. Gimana kita bisa berpikir semundur ini?

Sekarang Istana ditekan oleh pihak pihak terkait untuk keluarkan Perppu, apa artinya? Begitu Perppu diteken Jokowi, maka Istana akan jadi pahlawan yang menganulir DPR, seolah olah DPR penjahat, rakyat korban, Istana pahlawan. Aneh luar biasa.

Sistem presidensial kita punya konsekuensi bahwa semua kekuasaan ada ditangan Presiden Jokowi, bahkan DPR meskipun sudah terjadi amandemen konstitusi, tapi realita di lapangan masih sebatas petugas Istana. Demokrasi kita masih banyak PR.

Sejak kapan kita lebih percaya kepada sistem kolonial ketimbang pakar bangsa kita sendiri para profesor hukum yang sudah lama bekerja keras agar warisan kolonial 100 tahun lebih ini bisa dihapus?

Apakah kita paham nalar demokrasi yang benar dalam hukum? Apakah sudah khotam bacaan kita soal soal mindset konstitusional sebelum kita melangkah maju memprotes sesuatu?

Kebiasaan kita malas baca dan malas deep thinking membuat kita mudah diperalat oleh pihak pihak tertentu yang ingin mengambil untung atas ruginya bangsa ini.

Kita mudah dipanas panasin, mudah digiring opini. Bahwa Yang benar adalah istana dan yang salah adalah anggota DPR terutama yang vokal seperti Fahri Hamzah. Padahal anggota DPR periode ini ada 560 kursi. Pimpinannya lebih dari satu, dan pimpinan dewan itu sifatnya hanya jubir bukan penentu sebuah keputusan.

Memang kita ini menganut sistem parlementer? Sejak kapan anggota DPR harus selalu dicurigai dan dianggap penjahat padahal Rp2000 triliyun lebih uang ada ditangan Jokowi dan korupsi paling besar angkanya ada di kementerian bukan di DPR, dan semua itu bisa ditutupi dengan mudah justru atas dasar sistem presidensial tadi.

Bagaimana nalar kita sehingga tiba tiba kita jadi pakar hukum dadakan dan suka menyalahkan yang belum tentu salah, lalu diam kepada pihak yang jelas jelas gak becus mengurus negeri ini 5 tahun belakangan yaitu eksekutif.

Tengku Zulkifli Usman, Pengamat Politik.

***