Agus Raharjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang telah kehilangan legitimasi dah seyogianya angkat kaki dari KPK, meninggalkan segala tugas dan fasilitas selama menjadi Pimpinan KPK.
Dunia ini dibangun dari kata-kata dan tindakan sebagaimana ungkapan Kenneth Gergen. Kata-kata dan tindakan berinteraksi dengan landasan kekuasaan. Maka kata-kata dan tindakan adalah hal yang sangat penting, dan mengandung makna yang penuh pertanggungjawaban.
Michel Foulcault bahkan menulis, suatu sistem yang rigid saja bisa bocor ketika manusia-manusia baik (secara normatif) di dalamnya tidak mampu menafsirkan discourse, apalagi jika manusia-manusia “baik” tidak menggunakan kata-kata dan tindakannya secara bijak.
Inilah yang menjadi duri dalam Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini.
Tiga orang Pimpinan KPK; Ketua KPK Agus Raharjo serta dua Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif dan Saut Situmorang mengembalikan Mandat selaku Pimpinan KPK kepada Presiden. Sebelumnya Saut Situmorang telah menyampaikan Pengunduran dirinya yang disampaikan melalui surat Elektronik ke jajaran pegawai KPK.
Mereka telah tersandra dengan egoisitas dengan menyampaikan pernyataan serta tindakan yang membuat integritas mereka dipertanyakan, karena telah tidak bersikap profesional dan amanah dalam menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya.
Alasan Penyerahan Mandat dan Pengunduran diri karena adanya Revisi UU KPK dan ketidakpercayaan secara subjektif terhadap seleksi Calon Pimpinan KPK merupakan tindakan yang tidak sportif dengan membangkang atas hasil penyeleksian yang sah dan hasil pembahasan dan pengesahan yang telah sesuai dengan peraturan Perundang-undangan.
Namun, seakan mempermainkan Lembaga Negara, Agus Raharjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang sampai saat ini masih “berkantor” di KPK dan menggunakan Fasilitas selaku Pimpinan KPK.
Pernyataan dan Tindakan mereka belakangan terlihat seperti gertakan belaka, hanya untuk menarik simpati dan menggiring opini publik karena ternyata hingga saat ini mereka belum rela meninggalkan KPK.
Kalimat Ketua KPK Agus Raharjo persisnya adalah “Menyerahan Tanggungjawab Pengelolaan KPK kepada Bapak Presiden RI”, sehingga jelas maksud dan tujuan penyampaian tersebut adalah Pengelolaan KPK tidak lagi dalam kekuasaan/kewenanganya, namun telah diserahkan kepada Presiden Republik Indonesia.
KPK semestinya clean dari perpolitikan yang akan menimbulkan preseden buruk masyarakat dari KPK. Sikap yang tidak profesional dan tidak amanah dengan pengunduran diri yang hanya gertakan semata, akan menjadi sikap yang ditiru pejabat-pejabat kelembagaan lain. Sehingga harus ada sikap dan tindakan tegas atas pengunduran diri mereka.
Baca Juga: Selama Ini KPK Menyimpan Rahasia yang Mengenaskan
Secara Hukum pada ketentuan Pasal 32 Undang-Undang KPK telah diatur alasan berhenti atau diberhentikannya pimpinan KPK, yang salah satunya adalah mengundurkan diri dari Jabatan. Sah secara hukum, meski pada pengaturannya Presiden lah yang menetapkan Pemberhentian tersebut.
Menyerahkan Mandat/Tanggungjawab Pengelolaan adalah sinonim dari mengundurkan diri.
Dengan demikian Agus Raharjo, Laode M. Syarif, dan Saut Situmorang telah kehilangan legitimasi dah seyogianya “angkat kaki dari rumah” KPK, berikut meninggalkan segala tugas dan fasilitas selama menjadi Pimpinan KPK. Serta segala tindakan yang dilakukan paska pengunduran diri tersebut haruslah dinyatakan batal demi hukum.
Sampai pada pelantikan Pimpinan KPK baru yang direncanakan pada Desember 2019 mendatang, kepemimpinan KPK akan tetap berjalan di bawah Pimpinan KPK yang tersisa yaitu Basaria Pandjaitan dan Alexander Marwata.
***
Dr. M. Kapitra Ampera, SH., MH.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews