Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo Sudah Dimulai Sejak Pertemuan Sumire

Rekonsiliasi sebenarnya wacana yang tidak diperlukan, lantaran kedua kubu sudah menjalin kesepakatan sejak Prabowo bertemu Luhut di restoran Jepang Sumire pada 6 April 2018.

Rabu, 10 Juli 2019 | 12:32 WIB
0
497
Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo Sudah Dimulai Sejak Pertemuan Sumire
Pertemuan Prabowo-Luhut di restoran Sumire Sumber CNNINdponesia.com

Jumat siang itu, 6 April 2018, Prabowo Subianto memasuki restoran Sumire. Ketua Umum Partai Gerindra ini diketahui menemui Luhut Binsar Panjaitan yang sudah 1,5 jam menunggunya. Di restoran Jepang yang berlokasi di salah satu lantai di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, kedua purnawirawan perwira tinggi itu menghelat pertemuan empat mata selama hampir 1,5 jam.

Karuan saja pertemuan tertutup itu menyerbakkan bebauan. Mulai dari yang wangi sampai yang anyir. Bebauan itu kemudian melahirkan sejumlah tanda Tanya. Apa yang dimaui Luhut dari veteran dua kali pilpres ini? Begitu juga sebaliknya, apa yang diinginkan Prabowo dari Luhut yang dikenal sebagai orang dekat Jokowi?

Dan, satu pertanyaan yang tidak kalah menggelitiknya, apakah pertemuan empat mata itu terkait Rapat Koordinasi Nasional Gerindra yang dijadwalkan digelar pada 11 April 2018 atau lima hari setelahnya?

Hanya berselang sehari setelah pertemuan tertutup itu, Luhut mengungkapkannya. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini tidak menyangkal isu yang menyebut pertemuaannya dengan Prabowo terkait Pilpres 2019. Malah, purnawirawan dengan empat bintang di pundaknya ini mengaku menyarankan Prabowo untuk kembali nyapres.

"Malah saya bilang, 'Pak Prabowo maju saja'," katanya saat ditemui pewarta seusai menjadi pembicara dalam acara Partai Golkar di Jakarta, pada 7 April 2018 sebagaimana yang diberitakan Kompas.com. 

 Pertemuan Empat Mata Pengusir Hantu

Meskipun elektabilitas Jokowi bawah 60 persen yang artinya belum berada di zona aman, tetapi mantan Gubernur DKI ini tetap saja calon presiden petahana. Sebagai calon petahana, Jokowi memiliki berderet kelebihan yang tidak dimiliki oleh calon-calon pesaingnya.

Selain itu, pasca-Pilgub DKI Jakarta 2017, dukungan partai politik Koalisi Indonesia Hebat semakin mengkristal. Dengan perolehan kursi 52,21 persen dan presidential threshold 25 persen raihan suara pada Pileg 2014, koalisi Jokowi hanya menyisakan satu lagi pasangan capres-cawapres. Situasi inilah yang melahirkan “hantu” capres tunggal.

 Sekitar pertengahan 2017, kekhawatiran pada “hantu” capres tunggal semakin menguat. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan “hantu” ini. Sebab, konstitusi di republik ini telah mengakomodasinya. Tetapi, pasangan tunggal tetap saja dipandang tidak elok jika melihatnya lewat kacamata politik. Apa kata dunia?

Skenario pun dibangun dengan Prabowo diposisikan sebagai penantang utama Jokowi. Prabowo diprioritaskan lantaran sejumlah survey menyimpulkan jika mantan menantu Presiden RI ke-2 HM Soeharto ini tidak mungkin sanggup mengalahkan Jokowi dalam Pilpres 2019.

Namun demikian, skenario sangat tergantung pada Prabowo. Mau tidak Prabowo nyapres hanya untuk dikalahkan? Karena skenario ini berpotensi berantakan. Prabowo harus dicarikan cadangannya. Ujung telunjuk pun mengarah ke Gatot Nurmantyo yang saat itu masih memegang tongkat komando Panglima TNI. Gatot pun kemudian dimainkan.

Masih ingat skenario “Gatot Nurmantyo Sekoci Jokowi” yang ditulis Syarwan Hamid? Dalam skenario yang memviral sekitar pertengahan April 2018 itu, Mantan Kasospol ABRI di akhir era Orde Baru ini mencium keanehan dalam sikap politik Gatot dan kubu Jokowi. Sayangnya, karena ada sejumlah informasi yang tidak valid, kesimpulan yang diambil purnawirawan berpangkat mayor jenderal ini pun meleset jauh.

Meskipun pemain cadangan sudah ditentukan, tetapi Prabowo tetap harus diprioritaskan. Sebab, bagi Jokowi, Gatot Nurmantyo lebih mengancam tenimbang Prabowo.

Popularitas Prabowo berada selevel dengan Jokowi. Tetapi, elektabilitas Prabowo jauh di bawah Jokowi. Sedangkan, meskipun elektabilitas Gatot rendah memang masih rendah, tetapi popularitasnya pun masih rendah. Jika dihadapkan dalam Pilpres 2019, Gatot bisa menjadi “Kuku Bima” yang berhasil menggasak pangsa pasar “Extra Joss”.

Mungkin Gatot Nurmantyo tidak menyadarinya. Sama seperti ketika Gatot tidak melihat adanya kejanggalan besar pada informasi 5.000 pucuk senjata yang dibongkarnya pada akhir September 2017.

Batas akhir pendaftaran paslon capres-cawapres semakin mendekat. Tetapi, alih-alih mendeklarasikan diri sebagai calon presiden, Prabowo malah lebih memilih menunjukkan dirinya ogah-ogahan. Sikap Prabowo ini dikuatkan oleh sinyal yang dipancarkan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hashim Djojohadikusumo. Adik kandung Prabowo itu menyebut dua faktor yang masih dipertimbangkan jika Prabowo kembali maju: kesehatan dan logistik.

"Kan, ada banyak faktor. Ada faktor kesehatan. Tentu cukup atau tidak logistiknya. Kan, harus begitu," ujar Hashim saat ditemui wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada 28 Maret 2018 sebagaimana yang dikutip Kompas.com. 

Sinyal yang dipancarkan Hasyim inilah yang ditangkap oleh kubu Jokowi. Untuk faktor kesehatan Prabowo masih bisa dibilang “oke”, tapi tidak dengan “kardus”.

Soal logistik, pada 8 Maret 2018, Mantan Kepala Staf Kostrad Majyen (Purn) Kivlan Zen yang juga sobat lama Prabowo mengatakan logistik yang dimiliki Prabowo kalah banyak dari yang dimiliki Gatot Nurmantyo..

Mendapat isyarat dari Hasyim, tanpa membuang banyak waktu, kubu Jokowi merancang pertemuan dengan Prabowo. Kesepakatan awal pun dicapai. Seminggu setelah sinyal “kardus” itu ditangkap, pertemuan Prabowo-Luhut digelar di Grand Hyatt, Jakarta.

Deal?

"Saya kira belum ya. Tanggal 11 belum deklarasi. Rapat koordinasi nasional, apel kader nasional dan intern, maaf tidak ada media," ujar Prabowo sebagaimana dikutip Kompas.com.

Ternyata tidak ada agenda deklarasi pencapresan Prabowo. Pada acara yang digelar di Hambalang itu, Prabowo hanya menerima mandate. Sementara rencana pendeklarasian baru akan digelar di Banyumas usai Pilkada 2018.

]Wacana pencapresan Prabowo pun meredup. Sebaliknya, “hantu” capres tunggal kembali gentayangan. Jokowi belum mendapat lawan yang menurut awam sebanding dengannya. Indonesia yang disebut-sebut sebagai Negara demokratis terbesar di dunia bisa jadi bahan tertawaan.

Skenario cadangan kembali dimainkan. Mau tidak mau Gatot Nurmantyo harus dimajukan. Jalan tol untuk mantan Panglima TNI yang sempat terhenti pembangunannya ini pun kembali dikerjakan.

Pada 18 April 2018 atau seminggu setelah sinyal pencapresan Prabowo meredup, Wiranto menemui Susilo Bambang Yudhoyono di Kuningan, Jakarta. Kedua purnawirawan Jenderal ini pun menggelar pertemuan empat mata.

 Karena Luhut Memegang Ekor Prabowo

Dua hari kemudian, 20 April 2018, Luhut Binsar Panjaitan yang kala itu tengah mengikuti pertemuan musim semi (Spring Meeting) Internasional Monetary Fund-World Bank di Washington DC, Amerika Serikat ditelepon Prabowo. Mendapat telepon dari Prabowo, Menteri Koodinator Kemaritiman ini pun langsung mengabarkannya pada wartawan.

Aneh, untuk apa Luhut menginformasikannya pada para pewarta? Luhut sepertinya sengaja menceritakannya agar publik mengetahuinya. Luhut seolah mengirimkan pesan pada seseorang yang tidak bisa dihubunginya.

Sama seperti pertemuan empat mata di restoran Sumire yang diungkap Luhut. Tidak mungkin Luhut menutupi pertemuan itu lantaran ada banyak saksi mata dan sejumlah kamera CCTV yang memantaunya. Tetapi pembicaraan empat mata Luhut-Prabowo tidak mungkin didengar oleh mata keenam, kedelapan, dan seterusnya.

Mungkin saja Luhut sedang memamerkan superioritasnya atas Prabowo. Lewat dua cerita yang dibeberkannya kepada wartawan itu, pebisnis mitra Jokowi ini seolah mengatakan bila ia memegang “ekor” Prabowo.

Seperti kesaksian Prayitno Ramelan yang ditulisnya sendiri di Pepnews.com, pada akhir 1999 Prabowo menemui Luhut di Singapura. Prayitno yang kala itu menjabat Kepala Dinas Pengamanan dan Sandi TNI AU (Kadispamsanau), Balakpus intelijen AU tengah ngopi bersama Kabais TNI, Marsdya TNI Ian Santoso di sebuah hotel di negara singa itu.

Kemudian datang Luhut yang waktu itu menjabat Dubes RI untuk Singapura. Ternyata Luhut tidak sendirian. Ia datang bersama Prabowo. Kata Luhut, Prabowo ingin menghadap Kabais.

Kepada Kabais, Prabowo mengungkapkan keinginannya untuk kembali ke tanah air.

"Baik kalau itu maksud dan tujuannya, tapi syaratnya satu, jangan macam-macam (bikin kacau) di Indonesia, kamu akan saya tangkap!" kata Kabais menjawab permohonan Prabowo.

Luhut yang berada di TKP pastinya menyaksikan pembicaraan antara Prabowo dengan Ian Santoso. Dan, dari tulisan Prayitno juga terungkap jika Luhut menjadi salah seorang yang berjasa telah membukakan jalan bagi kepulangan Prabowo.

Mungkin karena jasa dan kasaksiannya dalam pertemuan Prabowo-Kabais di Singapura itulah yang membuat Luhut dipilih mewakili kubu Jokowi untuk melobi Prabowo.

 Sandiaga Datang Bersama “Kardus”

Pilkada Serentak 2018 telah usah dihelat pada 27 Juni 2018. Hasilnya sudah diumumkan beberapa waktu setelahnya. Dan, pasangan-pasangan yang diterjunkan Prabowo dengan Gerindranya bertumbangan di banyak daerah.

Hasil pilkada ini semakin menguatkan analisa jika Prabowo merupakan lawan yang tepat bagi Jokowi dalam artian lawan tangguh yang bisa dikalahkan. Di sisi lain, Prabowo menyadari jika hasil Pilkada 2018 membuatnya semakin dibutuhkan kubu Jokowi. Deklarasi pencapresan Prabowo yang rencananya digelar setelah pilkada pun tidak pernah dieksekusi.

Memasuki awal Agustus 2018, mendadak nama Sandiaga Uno masuk ke bursa cawapres Prabowo. Sandi yang saat itu menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta dikenal sebagai pengusaha tajir sekaligus risk taker. Putra Mien Uno ini pada Agustus 2018 membukukan laporan kekayaannya ke KPK senilai Rp 5 triliun.

Meskipun sudah dipasangkan dengan Sandi sekaligus memastikan pasokan logistik untuk Pilpres 2019, Prabowo masih belum sepenuhnya diyakini akan maju. Karena bisa saja jelang detik-detik terakhir Prabowo membatalkan pencapresannya. Kekhawatiran kubu Jokowi menguat setelah rencana deklarasi Prabowo-Sandi yang semestinya digelar pada pukul 19.00 WIB, 9 Agustus 2018, batal.

Barulah setelah hampir menjelang tengah malam, Prabowo-Sandiaga menggelar deklarasinya. Deklarasi yang dilangsungkan di Kertanegara, Jakarta itu menandakan urusan logistik yang pernah disebut Hasyim Djojohadikusumo sebagai pertimbangan pencapresan Prabowo sudah beres.

Bau busuk logistik ini sempat merembes keluar. Ketika itu Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief mencuitkan “Jenderal Kardus” lewat akun Twitter-nya.

“Prabowo ternyata kardus, malam ini kami menolak kedatangannya ke kuningan. Bahkan keinginan dia menjelaakan lewat surat sudah tak perlu lagi. Prabowo lebih menghatgai uang ketimbang perjuangan. Jendral kardus,” kicau Andi.

Belakangan Sandi mengaku telah menguras Rp 1,4 triliun dari koceknya. Artinya, cawapres pasangan Prabowo ini sudah menghabiskan sepertiga dari total harta yang dilaporkannya ke KPK.

Tetapi, sekalipun urusan logistik dianggap sudah beres, kekhawatiran masih belum menyusut. Hantu capres tunggal masih gentayangan. SBY yang tidak menghadiri acara deklarasi sudah bersiap-siap menjalankan skenario cadangan. Untuk memenuhi persyaratan presidential threshold. Dua parpol pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin dikabarkan bersiap-siap berkoalisi dengan Partai Demokrat.

SBY baru menyatakan Demokrat mengusung pencalonan Prabowo-Sandiaga pada keesokan harinya pada 10 Agustus 2018, jelang kedua paslon tersebut mendaftarkan dirinya ke KPU.

Bergabungnya SBY dengan koalisi pendukung Prabowo-Sandi tentunya dengan sejumlah alasan. Salah satunya untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu Prabowo mengundurkan diri sebelum KPU menetapkan paslon capres-cawapres pada 20 September 2018.

Dan, pada akhirnya Pilpres 2019 berjalan sesuai dengan yang telah diskenariokan. Jokowi kembali menang, sementara Prabowo kembali menelan pil pahit kekalahannya.

Kalau sekarang muncul rebut-ribut soal rekonsiliasi, sebenarnya wacana itu sama sekali tidak diperlukan. Lantaran, kedua kubu sudah menjalin kesepakatan sejak Prabowo bertemu Luhut di restoran Jepang Sumire pada 6 April 2018.

Tentu saja tulisan di atas hanyalah teori konspirasi. Sebagai sebuah teori, tulisan di atas bisa benar, bisa juga salah.

***