Inikah Ujung Pengonsolidasian "212" yang Berpotensi Timbulkan Chaos?

Jumat, 22 Februari 2019 | 06:09 WIB
0
838
Inikah Ujung Pengonsolidasian "212" yang Berpotensi Timbulkan Chaos?
Reuni 212 (Foto: Tirto.id)

Tiga hari setelah reuni 212 yang digelar pada 12 December 2018, Prabowo meluapkan kemarahannya pada awak media yang coba mewawancarainya. Dalam luapan kemarahannya itu Prabowo menganggap banyak media yang tidak fair karena tidak memberitakan reuni 212 di Monumen Nasional

"Hebatnya media-media dengan nama besar dan katakan dirinya objektif, padahal justru mereka bagian dari usaha memanipulasi demokrasi. Kita bicara yang benar ya benar, yang salah ya salah. Mereka mau katakan yang 11 juta hanya 15 ribu. Bahkan ada yang bilang kalau lebih dari 1.000 minta apa itu, terserah dia," kata Prabowo sebagaimana yang dikutip Tribunnews.com.

Sebagian orang berpikir jika kemarahan Prabowo hanya terkait tidak tereksposnya kegiatan reuni yang digagas oleh Persaudaraan Alumni 212. Padahal tidak demikian.

Menurut data Nielsen, dalam katagori stasiun televisi pemberitaan, rating TV One yang berada di angka 7,5 ini jauh di atas stasiun-stasiun televisi berita lainnya, termasuk Metro TV dan Kompas TV yang masing-masing mengantongi angka 1,5.

Selain TV One yang dianggap sebagai corong kampanye Prabowo sejak Pilpres 2014, pasangan capres-cawapres nomor urut 02 juga didukung oleh militansi cyber army pendukungnya. Menurut sejumlah hasil pantauan, seperti GDILab, cyber army Prabowo-Sandiaga Uno lebih terkomando tenimbang netijen pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin.

Dengan begitu, sebenarnya tidak ada alasan bagi Prabowo untuk meluapkan kegeramannya kepada awak media.

Lantas, apa yang meresahkan Prabowo?

Bisa dibilang reuni alumni 212 merupakan aksi show of force. Sebagai sebuah aksi unjuk kekuatan, pastinya kekuatanlah yang menjadi faktor yang ingin dipertunjukkan. Dalam reuni 212, kekuatan yang ingin ditunjukkan adalah jumlah peserta. Semakin besar jumlah peserta, semakin besar pula kekuatan yang ditampilkan.

Itulah kenapa kelompok alumni 212 yang kemudian mengganti namanya menjadi Mujahid 212 mengklaim acara reuni yang digelarnya diikuti jutaan peserta. Bahkan, menurut Iwan Piliang, reuni 212 dihadiri oleh 13 juta peserta.

Kekuatan massa 212 yang ingin diunjukkan inilah yang ingin dinarasikan sebagai wujud terkonsolidasikannya umat Islam di Indonesia untuk memenangkan Prabowo dalam Pilpres 2019.

Karena banyak media yang setengah-setengah dalam memberitakan reuni 212. Dan, kalau pun memberitakan, media tidak menyebut jumlah peserta yang mencapai 11 juta, maka Prabowo menganggap upaya menarasikan telah terkonsolidasikannya umat Islam telah gagal.

Pengonsolidasian umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di Indonesia ini patut diwaspadai lantara upaya ini merupakan kelanjutan dari pengondisian umat Islam Indonesia yang disebut-sebut dalam situasi terancam, tertindas, teraniaya, terdzolimi, dan lain sebagainya selama era kepresidenan Jokowi.

Dalam upaya pengondisian tersebut dinarasikan bila telah terjadi kriminalissi terhadap ulama, ratusan masjid dibongkar demi pembangunan jalan tol, paham komunis yang diposisikan sebagai anti-Islam disebut-sebut mendapat keleluasaan gerak, dan lain sebagainya. Pengondisian ini pastinya menimbulkan keresahan, bahkan kemarahan dari sebagian umat Islam.

Energi yang ditimbulkan dari kemarahan sebagaian umat Islam inilah yang berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengacaukan jalannya Pemilu 2019 yang akan dilangsungkan pada 17 April 2019.

Sebenarnya, kelompok yang menamakan dirinya alumni 212 yang kemudian berubah nama menjadi Mujahid 212 memiliki tujuan menjegal langkah Jokowi untuk melanjutkan periode kedua masa pemerintahannya. Hanya saja karena kebetulan pesaing Jokowi hanya satu, yaitu Prabowo, maka kelompok ini pun memberikan dukungannya pada Prabowo.

Namun jika mencermati berbagai informasi terkait kelompok-kelompok Islam yang menjadi pendukung Prabowo, terbaca adanya agenda lain di balik keterlibatan kelompok-kelompok ini dalam sejumlah pemilu yang di gelar di Indonesia, termasuk pilgub dan pilwalkot/pilbup.

Agenda lain tersebut, tidak lain dan tidak bukan adalah membubarkan NKRI dan menggantikannya dengan bentuk kekhalifahan Islamiyah atau setidaknya menjadikan NKRI sebagai negara Islam yang mereka sebut dengan “NKRI Bersyariah”.

Tetapi, sekalipun sebenarnya agenda tersebut hanyalah utopia atau hanya sekadar halusinasi yang terus menerus digaung-gaungkan, gerakan kelompok-kelompok ini tetap harus diwaspadai. Sebab, sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara Timur Tengah, gerakan kelompok-kelompok ini sebenarnya hanya bertujuan untuk mengacaukan negara sasaran dengan menciptakan chaos. Sebut saja di Tunisia, Mesir, Libya, dan Suriah.

Setelah pengondisian yang dilanjutkan dengan pengonsolidasian umat Islam dilakukan, maka chaos hanya tinggal menunggu momentum. Dan, momentu tersebut dapat tercipta hanya dari percikan api kecil. Di Tunisia, chaos yang terjadi pada Januari 2011 hanya tercipta dari mem-viral-nya foto bakar diri Mohamed Bouazizi.

Jika mencermati perkembangan dari waktu ke waktu, kemungkinan besar chaos akan diletupkan saat hari-H Pemilu 2019. Ada sejumlah faktor yang berpotensi dapat menciptakan kerusuhan saat pelaksanaan pemilu 2019.

Pertama, keinginan kuat kelompok-kelompok Islam tertentu untuk menggati Jokowi. Kelompok-kelompok ini sudah sejak lama menyebarkan propaganda hanya dengan mengganti Jokowi maka pendzoliman terhadap umat Islam dapat diakhiri. Singkatnya, bagi kelompok-kelompok ini, mengakhiri masa pemerintahan Jokowi adalah harga mati.

Sayangnya, bagi kelompok-kelompok ini, mengganti Jokowi dengan Prabowo bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan, menurut sejumlah rilis survei, tingkat elektabilitas Jokowi masih jauh di atas Prabowo. Jika mengacu kepada hasil survei tersebut, sudah bisa dipastikan jika Jokowi akan kembali memimpin NKRI.

Kedua, adanya propaganda jika calon presiden petahana mencurangi pelaksanaan Pilpres 2019. Akibat dari propaganda ini, kelompok-kelompok Islam tertentu tidak akan menerima hasil Pemilu 2019, khususnya Pilpres 2019. Bagi kelompok-kelompok ini, kemenangan Jokowi sama artinya dengan memperpanjang penindasan terhadap umat Islam di Indonesia.

Ketiga, adanya seruan “Jihad Kawal TPS”. Gerakan ini dicanangkan oleh Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Relawan Ganti Presiden (RGP) Neno Wariswan.

Partisipasi masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan pemilu sesungguhnya sangat dibutuhkan. Namun demikian, “Jihad Kawal TPS” bukanlah partisipasi masyarakat pada umumnya dan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sejumlah LSM dalam pemilu-pemilu sebelumnya.

“Jihad Kawal TPS” merupakan bagian dari pengonsolidasian umat islam oleh kelompok-kelompok tertentu. Sementara kata “Jihad” yang digunakan adalah kepanjangan tangan dari pengondisian teraniayanya umat Islam Indonesia. Dengan demikian, makna jihad dalam gerakan yang dicanangkan Neno adalah perlawanan terhadap Jokowi.

Timbul pertanyaan, apa yang akan dilakukan oleh jihadis “Kawal TPS” jika Jokowi menang di TPS yang dikawalnya?  Pertanyaan lainnya, apa yang dilakukan kelompok jihadis ini jika mendengar informasi tentang terjadinya kecurangan?

Dan, perlu dicatat, seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, saat pelaksanaan pemilu, media sosial diseliweri konten-konten tentang terjadinya kecurangan pemilu.

Keduanya, baik itu kemenangan Jokowi maupun informasi tentang terjadinya kecurangan dalam pemilu berpotensi menimbulkan chaos. Belum lagi jika muncul gerakan-gerakan provokatif dilancarkan saat pelaksanaan pemilu.

Apakah chaos bisa dihindari? Jawabannya tentu saja bisa. Ada sejumlah cara yang bisa dilakukan. Selain lewat operasi senyap, chaos pun bisa dihindari dengan menyadarkan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, tentang bahaya intoleransi, radikalisme, dan terorisme yang diboncengkan dalam pelaksanaan pemilu.

Umat Islam Indonesia pun harus disadarkan jika ukhuwah atau persaudaraan sesama muslim merupakan sesuatu yang bersifat positif. Begitu juga dengan ghirah Islam. Namun demi agenda politik tertentu, ukhuwah dan ghirah umat Islam ini dilacurkan.

***