Tragedi Mei 98, PR Presiden Sepanjang Zaman

Tragedi 98 kemudian menjadi PR presiden sepanjang zaman. Lalu, sampai kapan energi setiap presiden terus terbuang untuk itu?

Rabu, 15 Mei 2019 | 21:28 WIB
0
423
Tragedi Mei 98, PR Presiden Sepanjang Zaman
Sumber gambar : tribunnews.com


"Siapapun Presiden RI-nya, pekerjaan rumahnya tetap Tragedi 98."

Adigium 'ngasal' saya itu sepertinya mendekati "kebenaran teori" berdasarkan data empiris dari rangkaian realitas politik dari dulu hingga kini yang kasad mata. Ini tidak main-main. Dan main-main sebaiknya tidak dilakuan terus menerus karena pertaruhannya adalah kesia-siaan energi presiden, keselamatan anak bangsa dan keutuhan NKRI.

Tragedi 98 sudah 21 tahun berlalu. Sudah melewati 5 orang Presiden RI. Dari Habibie, Gusdur, Megawati, SBY, hingga Jokowi. Namun tragedi itu tak pernah selesai, selalu ditagih oleh sejarah. Setiap presiden yang menjabat diposisikan sebagai Kreditor (tukang hutang) sejarah tragedi 98.

Tragedi 98 merupakan bagian sejarah yang  kelam bangsa Indonesia. Memuat beragam potret kekejaman yang sulit dimaafkan, mengoyak dimensi etika dan moral ruang kemanusiaan, keadilan dan  kebangsaan. Bila dirinci, akan menampilkan empat fenomena (kejadian) besar.

Pertama, demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran sepanjang sejarah republik ini. Demonstrasi itu membentuk People Power yang terstrukur dan masif berisi tuntutan perubahan politik dan pemerintahannegara RI.

Kedua, kejahatan kemanusiaan pembunuhan (penembakan) mahasiswa, penculikan aktivis dan pemerkosaan masal terhadap satu etnis tertentu. Selain itu juga penjarahan besar-besaran dengan pembiaran oleh aparat hukum.

Ketiga, hancurnya perekonomian rakyat dan negara yang mengakibatkan timbul pengangguran besar-besaran karena PHK massal tersebab krisis moneter dalam negeri. Selain itu, jatuhnya eksistensi Indonesia diantara bangsa-bangsa di dunia karena krisis multidimensi bangsa sehingga hilangnya kepercayaan luar negeri terhadap bangsa dan negara Indonesia.

Keempat, jatuhnya pemerintahan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Pemerintahan itu disebut-sebut sebagai rezim otoriter.

Tragedi 98 Memangsa Nilai Sejarah Induknya Sendiri

Dari tragedi 98 itu lahirlah Era Reformasi, sebuah era yang kini kita nikmati. Era kebebasan berpolitik, berserikat dan berkumpul. Namun disisi lain memunculkan banyak kritik terhadap kebebasan itu sendiri.

Kebebasan bersuara dan berpolitik sebagai anak kandung gerakan reformasi kini berbalik arah, yakni  menuntut ibu kandungnya untuk melahirkan reformasi reformasi lain. Sebuah reformasi yang tak lagi murni impian kolektif bangsa ini, melainkan ambisi kepentingan kelompok.

Penggeraknya justru sejumlah tokoh yang dulu aktif terlihat pada gerakan reformasi 98. Mereka "tak lagi seperti yang dulu" karena polarisasi kepentingan kelompok dimana mereka berpijak usai tregedi 98.

Celakanya, kelompok tersebut beranak pinak dan menjadikan era reformasi saat ini sebagai tunggangan perjuangan kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan mengatasnamakan kolektifitas rakyat Indonesia.

Disitulah simpul permasalahan terbesar yang menjadi PR yang tak pernah selesai bagi siapa pun Presiden RI yang berkuasa.

Sasaran Tembak Sepanjang Zaman

Setiap era presiden seolah ditakdirkan untuk menjadi penanggungjawab turunan sejarah tragedi 98. Presiden tersebut seperti menjadi tukang hutang PR (pekerjaan rumah) yang tak pernah selesai. Nasib kepresidennya seringkali berada dalam posisi kritis ketika memikul nasib sebagai tukang hutang turunan reformasi.

Persoalannya adalah sebagian elemen masyarakat menganggap empat fenomena besar Tragedi 98 belum selesainya, khususnya pada bagian persoalan kejahatan kemanusiaan. Sementara di sisi lain, waktu terus berjalan menjauhi momentum asli Tragedi 98. Kini jaraknya semakin lebar, yakni  21 tahun!

Apa yang bisa dilihat dari rentang jarak 21 itu? Kelahiran demi kelahiran berbagai perspektif sejarah!

Baca Juga: 21 Tahun Lampau pada 12 Mei 1998

Perpektif sejarah 98 merupakan sebuah keniscayaan karena perspektif sejarah selalu tumbuh dan berkembang bersama waktu yang terus berjalan.

Perpektif sejarah inilah kemudian menjadi bahan bakar yang selalu menghidupkan keabadian Tragedi 98. Salahkah? Sejatinya, Tidak. Karena perspektif sejarah menawarkan dimensi etis: rasa legowo, rekonsiliasi, dan pembelajaran anak bangsa terhadap masa lalu untuk menjadikan masa depan yang lebih baik.

Namun disisi lain, perspektif sejarah ini dimainkan oleh berbagai kelompok politik tadi menjauhi dimensi etisnya. Tujuan mereka untuk mendapatkan atau melenggangkan konsesi  kekuasaan,  ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Untuk meraih semua itu, maka mereka membutuhkan sasaran tembak.

Sasaran utama yang tampak jelas adalah presiden yang sedang berkuasa. Mereka beranggapan bahwa di jabatan inilah semua muara konsesi itu bisa dimainkan.

Sampai saat ini, hanya hanya satu era presiden yang "mati secara politis" (tumbang) karena menjadi sasaran tembak itu. Presidennya adalah Soeharto.

Sementara presiden era selanjutnya tetap berdiri tegak sampai habis masa pemerintahannya. Namun demikian, takdirnya sebagai sasaran tembak Tragedi 98 tak pernah berhenti.

98

Baca Juga: Kasihan Presiden, Rembuk Nasional Aktivis 98 Jadi Bahan Ledekan

Selama pemerintahan, sebagian energinya terkuras oleh kebisingan "bunyi tembakan", sementara sang presiden tak pernah mampu menyentuh inti sejarah itu untuk menghentikan "bunyi tembakan".

Dengan polarisasi politik era reformasi seperti sekarang ini, serta perspektif sejarah yang terus berkembang dalam aneka spekturm tanpa semua pihak mau bersatu dalam satu dimensi etisnya, maka sangat mustahil setiap era presiden bisa menghentikannya.

Tragedi 98 kemudian menjadi PR presiden sepanjang zaman. Lalu, sampai kapan energi setiap presiden terus terbuang untuk itu?

***