Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa untuk beribadah di rumah seiring adanya Pandemi Virus Corona baru atau Covid-19 menjelang bulan suci Ramadhan. Beribadah di rumah dianggap tidak mengurangi kekhusyukan beribadah. Masyarakat pun diharapkan mengikuti imbauan tersebut.
Virus COVID-19 tak hanya menyerang kesehatan seseorang, tapi juga menggoyang kestabilan ekonomi, pariwisata, dan lain-lain. Penyebabnya karena banyak orang yang memprioritaskan untuk membeli kebutuhan pokok.
Jadi, untuk mencegah penyebaran corona agar Indonesia selalu aman, diberlakukanlah kebijakan social distancing dan stay at home. Para pelajar diwajibkan untuk belajar di rumah dan orang tuanya juga diharap untuk bisa kerja secara remote alias work from home dengan menggunakan akses internet.
Ketika semua orang harus berada di rumah agar tidak tertular corona, maka kegiatan yang mengundang keramaian juga tidak boleh dilakukan. Misalnya ibadah Sholat jamaah dan Sholat jumat di masjid, kebaktian di gereja, dan lain-lain.
Masyarakat tentu sangat kaget dengan larangan ini, dan merasa diambil haknya untuk bisa berdoa dengan khusyuk di rumah ibadah. Padahal kebijakan ini dilakukan demi keamanan mereka sendiri.
MUI pun dengan tegas mengeluarkan fatwa bahwa untuk ibadah seperti Sholat dilakukan di rumah saja, tidak usah berjamaah di masjid seperti biasanya.
Untuk Sholat Jumat juga bisa diganti dengan Sholat Dzuhur biasa. Ketika pandemi sudah berlangsung selama lebih dari sebulan, berarti masyarakat muslim sudah tidak Sholat Jumat lebih dari 3 kali. Mereka tidak berdosa karena ini adalah keadaan genting yang menyebabkan adanya revisi aturan. Para muslimin tidak perlu takut dan merasa bersalah, karena jika fatwa MUI maka sudah dikeluarkan dari diskusi panjang dan matang, jadi tidak perlu sedih karena tidak bisa jumatan.
Pun dengan Sholat Idul Fitri yang biasanya dilakukan di masjid raya atau di lapangan, tidak boleh dilakukan. Memang jadinya lebaran terasa aneh karena tidak ada Sholat Ied, tapi kan hukumnya sunnah dan tidak wajib. Anda tidak perlu merasa galau karena tidak bisa Sholatberjamaah di hari raya.
Pencegahan Sholat Ied dan Sholat jamaah ini sebenarnya merupakan penerapan dari anjuran social distancing. Ketika Sholat, muslimin harus berdiri rapat, sedangkan di tengah pandemi corona, hal ini sangat berbahaya. Karena bisa menularkan virus satu sama lain. Anda pasti pernah membaca cerita tentang seseorang yang terkena corona, hanya karena nekat Sholat Jamaah di masjid. Jadi, jangan remehkan fatwa MUI dan menganggap pemerintah merampas kebebasan beragama.
Begitu pula dengan umat agama lain, dilarang untuk berkumpul di rumah ibadah untuk sementara. Di hari Paskah, biasanya umat kristen dan katolik melakukan kebaktian di gereja. Namun tahun ini hanya bisa dilakukan secara online. Pastur dan Paus memaklumi hal ini, karena mereka paham akan maksud dari pemerintah, agar corona tidak menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.
Umat Hindu, Budha, dan Konghucu juga memahami aturan ini. Mereka juga beribadah di rumah masing-masing. Karena tahu bahwa jika tertular corona akan sangat berbahaya, dan bisa menularkan penyakit ini kepada keluarga dan teman-teman.
Pencegahan untuk berkumpul di rumah ibadah dilakukan pemerintah setelah melalui proses panjang. Presiden tentu ingin rakyatnya sehat terus dan berupaya mencegah penularan virus COVID-19. Jika keadaan sudah aman, tentu larangan ini akan dicabut.
Anjuran untuk beribadah di rumah dan dilarang untuk Sholatj Jamaah serta jumatan bukan berarti membuat Anda jadi penuh dosa. Taatilah aturan ini, karena di tengah pandemi, berkumpul di tempat ibadah sangat berbahaya. Pemuka agama juga sudah memaklumi bahwa semua orang wajib untuk diam di rumah dan dilarang untuk berkumpul di tempat ibadah, untuk sementara.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews