Masa Depan Kebebasan [9] Tak Tumbuh Kelas Menengah, Tak Tumbuh Kebebasan

Jika di negara itu tak hadir kelas menengah yang kuat, civil society dan masyarakat pembayar pajak yang signifikan, negara itu tak menjadi lahan subur bagi tumbuhnya pohon demokrasi.

Rabu, 19 Februari 2020 | 13:12 WIB
0
270
Masa Depan Kebebasan [9] Tak Tumbuh Kelas Menengah, Tak Tumbuh Kebebasan
Ilustrasi China dan AS (Foto: matamatapolitik.com)

Ibarat pohon, demokrasi memerlukan iklim yang mendukung. Ibarat bunga, kebebasan memerlukan tanah yang cocok.

Walau negara itu kaya, tapi tak tumbuh banyak individu dan aneka kelompok masyarakat yang kuat secara ekonomi, tak hadir kelas menengah, tak semarak apa yang disebut kaum borjuis, civil society, maka demokrasi dan kebebasan cenderung tak hadir di negara itu.

Dengan kata lain, pemerintah yang memiliki kemudahan akses pada sumber uang, dan itu bukan berasal dari pajak dari ekonomi kelas menengah, negara itu cenderung terbelakang secara politik

Lihatlah Mesir. Lihatlah aneka negeri Afrika. Beragam negara itu dengan mudah mendapatkan uang tunai.

Mesir mendapatkan dana besar dengan pajak kapal yang melintasi kanal Suez. Banyak negeri Afrika memperoleh dana besar karena bantuan asing. Di kawasan ini, negara tetap terbelakang secara politik.

Uang yang diperoleh dengan cara mudah itu melahirkan pemerintahan yang terlalu kuat di atas masyarakat. Kemudahan keuangan itu tidak mendesak negara tersebut memikirkan perlunya menarik pajak dari penduduk.

Jika pemerintah tidak punya sumber pendapatan, dan satu-satunya sumber adalah pajak, maka ia harus menyediakan manfaat bagi penduduk. Terjadi negosiasi. Masyarakat akan menuntut kualitas pemerintahan. Mereka meminta akuntabilitas, dan kebebasan. Akhirnya mereka menuntut keterwakilan dan partisipasi politik.

“Kami tak minta banyak dukungan dari Anda secara ekonomis. Karena itu jangan minta banyak dari kami secara politis.” Kata-kata di atas adalah kutipan pernyataan Raja Saudi.

Sang Raja menjelaskan mengapa negerinya tidak merasa perlu transisi menuju demokrasi. Pemerintah kerajaan sudah sangat kaya dengan hasil ekspor minyak. Dukungan ekonomi penduduknya nyaris tak diperlukan. Tanpa pajak dari penduduk pun pemerintah kerajaan sudah bisa membiayai apa saja.

Sebaliknya, ini tidak berlaku bagi Amerika Serikat. Warganegara Amerika adalah elemen paling penting bagi kelangsungan negara Amerika.

Maka slogan yang terkenal di sana adalah “jika menghendaki keterwakilan, bayarlah pajak.” Tidak ada pajak, tidak ada representasi politik.

Di Mexico, demokrasi liberal dijalankan melalui rute reformasi ekonomi, baru kemudian reformasi politik.

Biasanya reformasi ekonomi memerlukan persyaratan berupa reformasi hukum dan pengendoran kekuasaan politik. Di Mexico liberalisasi ekonomi dipacu oleh negara otoriter.

Sejak 1980, partai penguasa, yaitu PRI (Partai Revolusioner Institusional) memutuskan untuk melakukan pembaharuan ekonomi. Ia membuka diri pada ekonomi dunia. Juga negara ini melonggarkan kontrol terhadap ekonomi domestik.

Hasilnya pada 1990, Mexico memiliki pendapatan per kapita sebesar $ 9.000. Lahir kelas menengah yang kuat. Dengan sendirinya, jika dibuka demokrasi, kondisi ekonomi membuat proses demokratisasi aman.

Mexico menjadi contoh. Ia Menunda demokrasi setelah ekonomi mantap, agar lahir kelas menengah yang kuat dulu. Setelah hadir kelas menengah lalu dibuka demokrasi. Ternyata rute ini sukses juga.

Cina adalah contoh lain bagaimana menunda demokrasi dengan mencangkokkan kapitalisme ke batang pohon negara fasis.

Cina tahu bahwa menempuh kapitalisme bukan sekadar menjalankan perombakan ekonomi tapi juga reformasi signifikan sistem administrasi dan hukum. Pemerintah Cina bahkan membiarkan dilangsungkannya pemilihan umum di beberapa wilayah dan mempersilakan kalangan bisnis bergabung dengan Partai Komunis.

Tetapi secara keseluruhan, sistem politik Cina masih dikontrol dengan sangat ketat. Misalnya Cina tak kenal ampun kepada pihak oposisi.

Para penguasa Cina sangat yakin demokratisasi prematur hanya akan berarti chaos. Tapi di balik semua alasan itu, kaum elite partai sangat kuatir demokratisasi akan membuat mereka kehilangan monopoli dan hak privilesenya.

Para pemimpin PKC diam-diam meniru Lee Kuan Yew. Mereka meyakini bisa mengimbangi liberalisasi ekonomi secara agresif sambil melakukan kontrol politik ketat.

Lee memang telah mencapai impian semua orang kuat: memodernisasi ekonomi, bahkan masyarakat, tetapi bukan politiknya. Semua otokrat liberal percaya mereka bisa melakukan itu, seperti Lee. Yakni mencapai modernitas tetapi menunda demokrasi. Tetapi sesungguhnya, dalam jangka panjang, mereka tidak bisa.

Sebenarnya tidak ada kebudayaan, agama, atau wilayah, yang secara inheren bertentangan dengan demokrasi, asal ...

Ya, ... asal prosesnya dilakukan dengan benar, dengan mengedepankan pembangunan ekonomi liberal sebagai basis politiknya.

Kita bisa menguji negara-negara berikut ini di masa depan. Perkembangan demokrasi akan terjadi karena secara ekonomi banyak negara itu sudah cukup kuat untuk menempuh rute aman demokratisasi.

Romania ($ 6.800), Belarusia ($ 7.550), Bulgaria ($ 5.530) dan Kroasia ($ 7.780). Ini kelompok negara-negara yang akan mengalami stabilitas demokratik di masa depan.

Negeri-negeri berikutnya, yang kebetulan mayoritas berpenduduk Muslim, juga mempunyai cukup basis ekonomi untuk menjadi negeri-negeri demokratis yang mapan. YaknibMalaysia ($ 8.360), Turki ($ 7.030), Tunisia ($ 6,090), dan Maroko ($ 3.410).

Seperti Cina, Rusia juga belum bisa disebut berhasil menjalankan demokrasi liberal.

Cina bergerak mantap menuju reformasi ekonomi dan, dengan sangat lambat, juga reformasi sistem hukum dan pemerintahannya. Kendati demikian, sangat sedikit yang dilakukan Cina untuk mengambil langkah-langkah untuk mengadopsi sistem politik demokrasi.

Rusia, sebaliknya pertama-tama mengambil langkah cepat untuk reformasi politik. Bahkan di bawah Gorbachev, ada lebih banyak glasnost (keterbukaan politik) ketimbang perestroika (restrukturisasi ekonomi).

Setelah komunisme, Rusia bergerak cepat melalui pemilu yang jujur dan bebas dengan harapan bahwa mereka bisa menciptakan demokrasi liberal model Barat. Rusia juga segera melakukan langkah untuk pembaruan ekonomi dengan asumsi bisa menciptakan kapitalisme ala Barat. Tapi hampir semuanya tidak jalan.

Dengan kata lain, jika Cina memperkenalkan reformasi ekonomi sebelum reformasi politik, Rusia melakukan sebaliknya. Tapi dua-duanya belum mencapai tahap yang layak disebut demokrasi liberal.

Dewasa ini, Rusia adalah negeri yang lebih bebas daripada Cina. Ada penghormatan yang lebih besar pada kebebasan individu dan kebebasan pers. Ekonomi Rusia jauh lebih terbuka pada kompetisi dan investasi asing.

Sebaliknya, Cina tetap merupakan masyarakat tertutup dan dikendalikan Partai. Meskipun negeri ini agresif sekali melakukan liberalisasi ekonomi dan pembaruan hukum.

Jalan yang mana yang kiranya lebih stabil menuju demokrasi liberal? Jika pembangunan ekonomi dan pertumbuhan kelas menengah menjadi kunci untuk mempertaankan demokrasi, maka Cina sedang bergerak ke arah yang tepat.

Pertumbuhan ekonomi Cina luar biasa cepat selama dua puluh lima tahun terakhir. Sebaliknya GNP Rusia merosot terus hampir mencapai 40% sejak 1991.

Tapi sampai tahap ini, baik Cina maupun Rusia tetap belum bisa disebut demokrasi liberal. Cina adalah negeri kapitalis tapi kurang liberal. Rusia liberal tapi kurang kapitalis.

Apa yang terjadi di Rusia pasca Komunis pada kenyataannya meniru versi yang terjadi di Amerika Latin.

Pemilu Rusia menghasilkan otokrat-terpilih. Pemerintah itu terkesan bebas dalam jargon tapi penuh pelanggaran dalam praktek. Juga korupsi tetap melekat dalam sistem ekonomi maupun politik. Negeri seperti ini demokratis tapi illiberal, tidak liberal.

Situasi ini mirip dengan apa yang umumnya terjadi di Amerika Latin pada 1960an dan 1970an. Di sana pemerintahan dijalankan melalui berbagai jenis aliansi elite. Persekutuan terjadi terutama antara elite bisnis dan elite militer.

Di Rusia, aliansinya antara oligarki dan kaum elite mantan petinggi komunis. Ini tipe yang terus bertahan di negeri-negeri bekas jajahan Soviet – Asia Tengah, Belarusia, dan Ukraina. Tetapi sedikit berbeda dengan yang terjadi di tiga negara Baltik – Estonia, Latvia, dan Lithuania.

Problem fundamental Rusia bukanlah bahwa negeri itu negeri miskin yang berjuang mencapai modernisasi. Sebaliknya, Rusia adalah negeri kaya yang ingin memodernisasi diri.

Sekolah taman kanak-kanak di Rusia selalu mengajarkan kepada para muridnya bahwa mereka hidup di negara yang paling kaya di seluruh dunia. Ini memang mewarisi propaganda Komunis.

Tapi itu memang benar. Rusia memang kaya sumber daya alam: cadangan minyak, gas bumi, intan, nikel, dan bahan-bahan mineral lain. Namun kekayaan Rusia belum berujung pada terbentuknya ruang publik yang demokratis dan bebas.

Bukan semata kekayaan negara. Bukan semata ekonomi. Jika di negara itu tak hadir kelas menengah yang kuat, civil society dan masyarakat pembayar pajak yang signifikan, negara itu tak menjadi lahan subur bagi tumbuhnya pohon demokrasi. Tak menjadi iklim bagus untuk lahirnya bunga kebebasan.

Tak ada kelas menengah, tak ada demokrasi. Tak ada civil society, tak ada kebebasan.*

(Bersambung)

Denny JA

***

Tulisan sebelumnya: Masa Depan Kebebasan [8] Kapitalisme Menjadi Ibu Kandung Demokrasi dan Kebabasan