JPO Kok untuk Swafoto?

Fungsi JPO sudah seharusnya memfasilitasi pejalan kaki untuk nyaman berjalan bukan untuk menikmati pemandangan dan digunakan untuk berfoto.

Jumat, 8 November 2019 | 19:17 WIB
0
644
JPO Kok untuk Swafoto?
Foto: Kompas.com

Soal JPO di jalan Sudirman yang tanpa atap akhirnya jadi polemik. Secara fungsional, JPO jelas untuk penyeberangan orang, makanya juga namanya Jembatan Penyeberangan Orang (JPO).

Atas dasar sense of aesthetics, untuk menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya, ada kepentingan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengubah bentuk JPO, yang tadinya tertutup menjadi terbuka.

Dan itu tidak semua JPO di jalan Sudirman dibuka atapnya. JPO yang terintegrasi dengan halte transjakarta tetap akan memakai atap. Hanya ditempat tertentu atas pertimbangan estetika yang buka atapnya.

Secara estetika memang terlihat Indah dan bagus, meskipun secara fungsional agak terabaikan. Dibukanya atap JPO tersebut pastinya bukan semata difungsikan untuk berswafoto, namun dengan dibuka atap JPO ditempat-tempat tertentu, masyarakat juga bisa berswafoto.

Seorang kepala daerah memang harus mempunyai inovasi, dan mau melakukan inovasi terhadap hal-hal yang dianggap perlu, dan Anies Baswedan punya hal itu.

Hal yang biasa setiap kebijakan akan menimbulkan pertentangan pendapat, tapi selama gagasan tersebut rasional, kenapa tidak dipertahankan.

Sebagai masyarakat, kita juga harus mau mendengarkan alasannya, dan ada hak untuk memberikan pertimbangan dan masukan yang lebih baik. Tapi semua keputusan tetap ada ditangan yang punya kebijakan.

Kalau menurut penulis, alasan dan pertimbangan yang disampaikan Pemprov DKI Jakarta, masih cukup masuk akal, dan dari hasil yang terlihat juga memenuhi persyaratan secara estetika.

Kepala Dinas Bina Marga DKI Jakarta Hari Nugroho mengatakan pada Tirto.id, tak hanya JPO itu yang atapnya dicopot. JPO yang ada di Jalan Sudirman-Thamrin memang akan dikonsep beratap terbuka.

"Jadi terbuka itu bisa melihat view dari Thamrin-Sudirman, trotoar yang sudah besar, lebar, dan bagus. Kemudian view ke gedung-gedung tinggi, menambahkan suasana dan pengalaman lain," katanya saat dihubungi Rabu siang.

Masih menurut Hari, pencopotan atap hanya berlaku pada JPO yang tak menyatu dengan halte Trans Jakarta.

"Konsep kedua, kalau memang dari awal tertutup seperti sebelahnya (JPO setelahnya yang terhubung dengan halte Trans Jakarta), menghubungkan ke halte, itu tetap kanopinya ditutup, bukan dibuka. Mosok orang mau naik TJ basah kuyup?"

Pencopotan atap JPO juga bertujuan agar masyarakat bisa swafoto dengan pemandangan itu.

"Pengalaman lain lagi nih. Selain untuk pejalan kaki, juga untuk swafoto, ber-selfie ria. Instagrammable-lah," katanya.

Kalau melihat alasan diatas, orientasi dari pembukaan atap JPO lebih kepada pemenuhan aspek Estetika, meskipun nilai fungsionalnya terabaikan. Tapi memang perlu dilihat terlebih dahulu problem kedepannya.

Yang perlu diantisipasi kedepannya, disaat musim hujan, jelas "ojek paying" akan marak disekitar JPO, karena mereka menjadi fasilitas alternatif bagi penyeberang yang ingin melintasi JPO.

Namun juga perlu dipikirkan, dimusim hujan lantai JPO akan terasa licin, faktor keselamatan pengguna JPO juga mesti dipikirkan, terutama dibagian tangga turun-naiknya JPO.

Pengamat tata kota Nirwono Ikut menanggapi pencopotan atap JPO di jalan Sudirman, menurutnya Pemprov DKI Jakarta harus lebih mengutamakan fungsionalnya JPO ketimbang aspek estetika-nya.

Fungsi JPO sudah seharusnya memfasilitasi pejalan kaki untuk nyaman berjalan bukan untuk menikmati pemandangan dan digunakan untuk berfoto. Fungsi utama JPO adalah untuk menyeberang bukan berswafoto.

"Sebaiknya JPO itu ada atapnya untuk menyesuaikan musim dan cuaca di Jakarta, sebentar lagi sudah masuk musim hujan, apa akan ada yang mau menyeberang Dengan JPO terbuka tersebut,?" kata Nirwono seperti dilansir Antara, Kamis 7 November 2019. Sumber