Golput Sekarang yang Sekadar Cari Perhatian dan "Baper"

Apa bedanya aktivis-aktivis LSM penganjur Golput itu dengan simpatisan HTI yang ingin mendirikan negara khilafah?

Kamis, 4 April 2019 | 13:49 WIB
0
325
Golput Sekarang  yang Sekadar Cari Perhatian dan "Baper"
Ilustrasi Pemilu (Foto: Vice)

Memilih atau tidak memilih dalam pemilihan umum (pemilu) bukan isu baru. Itu satu hal yang biasa saja. Dan dapat dialami siapapun. Dengan alasan masing-masing.

Fenomena warga negara yang tidak mau memilih dalam pemilu di Indonesia pernah menjadi sebuah gerakan politik. Dipelopori oleh Aktivis Angkatan 66 yang juga seorang dosen bernama Arief Budiman. Ia mengkampanyekan Golput, singkatan dari Golongan Putih, sebagai sikap pembangkangan untuk menolak ikut pemilu melawan penindasan dan pembungkaman suara di bawah Rezim Orde Baru Soeharto yang mengebiri hak rakyat berdemokrasi.

Selama Rezim Orde Baru berkuasa, dari tahun 1966 sampai tahun 1998, Soeharto hanya membolehkan tiga partai ikut pemilu: Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai representasi Islam, Golongan Karya (Golkar) sebagai partai pemerintah, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai partai kaum nasionalis yang mengusung roh Bung Karno.

Di tiap pemilu selama Orde Baru pemenangnya Golkar. Dan yang jadi presiden cuma Soeharto.

Ini yang digugat Arief Budiman dan teman-teman untuk Golput. Karena pemilu selama Orde Baru itu sudah diatur dan sudah pasti Soeharto yang jadi presiden. Sebutan Golput ini juga meledek Golkar.

Pada Mei 1998 kejayaan Soeharto berakhir. Rezim Orde Baru tumbang. Rakyat Indonesia lalu bersepakat untuk memilih demokrasi banyak partai untuk menampung berbagai aspirasi yang tumbuh di tengah masyarakat. Meski masih ada kekurangannya sistem banyak partai ini setidaknya terbilang ideal.

Suara dari kalangan Islam tidak hanya dari PPP. Banyak partai-partai baru sempalan dari Golkar. PDI kini kokoh menjadi PDI Perjuangan (PDIP) dengan Megawati Soekarno Puteri, anak Bung Karno, sebagai simbol sekaligus figur sentral. Lalu banyak bermunculan partai-partai baru. Pada pemilu tahun 2019 ini tercatat ada 20 partai politik peserta pemilu.

Itu artinya semua aspirasi suara masyarakat yang beragam sudah tertampung dalam partai-partai peserta pemilu. Dan siapapun bisa jadi presiden dan wakil presiden asal memenuhi persyaratan sesuai aturan undang-undang. Terbukti pada pemilu tahun 2014 lalu seorang tukang kayu, anak kampung yang rumahnya di pinggir kali, bisa jadi presiden.

Lalu mengapa sekarang ada yang mengajak Golput?

Golput sekarang tentu berbeda sangat jauh sekali dengan Golput yang digagas Arief Budiman. Golput yang dipelopori aktivis LSM saat ini hanya sikap “baper” (bawa perasaan) dan “caper” (cari perhatian) saja.

Tak ada alasan prinsip dari teman-teman LSM sekarang seperti yang diperjuangkan Arief Budiman dulu. Karena pemilu sekarang seluruh rakyat bebas memilih. Tak ada lagi kewajiban pegawai pemerintah, yang pada zaman Soeharto disebut abdi negara, untuk mencoblos partai politik dan presiden yang berkuasa (petahana).

Bahkan kita tahu saat ini banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang secara terang-terangan berani menghina, merendahkan, bahkan memfitnah presidennya. Kurang demokratis apalagi coba?

Selain itu pemilu tahun ini, khususnya pemilihan presiden, hanya dua kandidat yang kita akan pilih. Pilihannya cuma petahana dan satu penantang. Tidak sulit sebetulnya untuk memilih. Petahana sudah terbukti kerjanya dan hasil kerjanya dengan pendamping Kyai Khos NU yang ahli ekonomi syariah dan mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), sedangkan penantang adalah kandidat yang sama pada pemilu 2014 lalu dengan pasangan yang cuma modal tampang bergaya alay.

Kita semua tentu saja menghormati hak pribadi seorang warga negara untuk memilih atau tidak memilih. Tapi mengkampanyekan Golput di ruang publik kepada masyarakat luas pada pemilu tahun 2019 ini harus kita hentikan dan kita lawan!

Memilih Golput pada pemilu yang akan berlangsung pada 17 April 2019 ini seperti bunuh diri dengan cara memberikan leher kita kepada kelompok garis keras dan intoleran yang selama 15 tahun belakangan ini makin subur dan liar.

Aktivis-aktivis LSM yang menganjurkan Golput adalah orang-orang yang tidak bertanggungjawab akan masa depan Indonesia tapi masih mau hidup enak dan berak sembarangan di Tanah Air kita.

Apa bedanya aktivis-aktivis LSM penganjur Golput itu dengan simpatisan HTI yang ingin mendirikan negara khilafah?

Sejatinya aktivis-aktivis LSM penyebar Golput itu, yang kita semua tahu “cara mainnya”, adalah cuma sekerat daging tanpa ruh. Cuma mayat-mayat berjalan yang mau hidup seenaknya di Indonesia dengan alasan sudah ikut bayar pajak jadi bebas boleh mau ngapain aja.

Hanya satu kata buat aktivis-aktivis LSM yang bikin gerakan “Saya Golput” pada pemilu tahun 2019 ini: “J*nc*k!” (*)

***