Tagar #SandiwaraUno, Luka Ibunda atau Sandi Sendiri?

Rabu, 20 Februari 2019 | 14:39 WIB
0
359
Tagar #SandiwaraUno, Luka Ibunda atau Sandi Sendiri?
Sandiaga dan keluarga - Foto: Pojokartikel.com

Beberapa pekan lalu, tagar #SandiwaraUno sempat meramaikan ranah media sosial. Imbasnya, kencangnya tagar tersebut menghiasi linimasa, membuat ibunda Sandiaga Uno pun bersuara.

Ada nada ancaman yang kira-kira setara pesan, "Jangan main-main dengan nama Uno!" Nada inilah yang tertangkap dari respons Mien Uno sebagai ibunda Sandiaga. Terlontar karena ada perasaan tersinggung karena nama putra tercintanya jadi bahan mainan sebagian netizen. 

Satu sisi, respons ibunda Sandi tersebut terbilang wajar. Mana ada ibu yang membiarkan anaknya diremehkan atau jadi sasaran ledekan dan sejenisnya. Apalagi bagi sang ibu, embel-embel Uno itu terlalu sakral, sehingga tak ada yang boleh mempermainkannya. 

Maka itu, Mien Uno sempat "mengultimatum" para netizen untuk segera meminta maaf karena telah melakukan sesuatu yang melukai anaknya. 

Sayangnya, ada beberapa hal yang luput diperhatikan ibunda calon wakil presiden yang juga berpasangan dengan Prabowo Subianto tersebut. Bahwa ada budaya berbeda di ranah internet, dan juga implikasi yang bisa terjadi terhadap anaknya sebagai "orang politik" yang tak bisa keluar dari dua arus antara pecinta dan pembenci.

Bahwa di internet tidak berlaku "kasta" seperti halnya kehidupan di luar gawai (gadget). Di sini, entah Anda kaya raya, berasal dari keluarga luar biasa terpandang, atau bahkan raja sekalipun takkan begitu saja mendapatkan respek sebagaimana basa-basi yang sering ditemukan dalam dunia nyata.

Ketika sang ibu Sandiaga memamerkan umpatan terhadap para netizen yang menggerakkan tagar #SandiwaraUno, atau ancaman sekalipun, para warganet tersebut tetap pada sikapnya sendiri. Anda ingin mengatakan apa, mengancam seperti apa, sepanjang Anda hanya meminta dipahami, namun menolak memahami mereka, para warganet tetap bersikeras dengan sikap mereka.

Maka itu agak terkesan lucu ketika masalah tagar #SandiwaraUno tersebut justru terkesan direspons terlalu serius oleh sang ibu, walaupun di sisi lain sedikit dapat dimaklumi bahwa bagaimanapun dirinya adalah ibu bagi sosok Sandiaga.

Namun, implikasi terhadap Sandiaga pun juga tak bisa dibilang sederhana. Mengingat, ia adalah publik figur, bertarung di ranah yang terkenal keras (politik), namun kemudian sang ibu berbicara sesuatu yang berbau perasaannya sebagai perempuan. Takkan terlalu digubris warganet, atau bahkan dapat dikatakan gak ngaruh sama sekali. 

Bahkan bisa saja intensitas dan gaung semisal tagar #SandiwaraUno dapat saja semakin merebak. 

Apakah mereka yang menggaungkan tagar tersebut memang sama sekali tidak menghargai perempuan, tidak mendengar suara seorang ibu? Saya pikir tidak begitu. Sebab bisa jadi pula justru banyak dari mereka sejatinya sangagt menghormati perempuan, menghargai ibu-ibu. Namun karena ini ada kaitannya dengan politik, maka mereka akan cenderung melihat dari kacamata politik saja.

Sementara dalam politik ada kepentingan, nah kepentingan inilah yang jauh lebih dipentingkan dari sekadar sesuatu yang beraroma cerita keluarga. 

Terbukti, Presiden Joko Widodo sendiri, yang notabene memiliki kekuasaan lebih besar daripada seorang Sandi, pun tak pernah sepi dari hinaan, cercaan, hingga fitnah. Semua itu tidak saja menimpa dirinya saja, melainkan juga anak, istri, dan bahkan cucu pun kerap jadi sasaran sebagian warganet. 

Apa yang ditampilkan Jokowi adalah, dalam menyikapi hantaman keburukan atau bahkan berlebihan, ia berusaha terlihat biasa-biasa saja. Ia pun tak sampai meminta ibunya untuk turut bicara ketika ia dicela dengan tuduhan hingga hinaan bermacam-macam.

Sosok Jokowi, sedikitnya, mampu menampilkan bagaimana seorang lelaki dewasa sesungguhnya. Jika sang lelaki memilih bertarung, maka tidak ada cerita untuk membiarkan cara pandang yang mengharu biru dan sejenisnya. 

Laki-laki pantang cengeng. Kira-kira begitulah yang ditampilkan Jokowi, walaupun publik tahu bagaimana hantaman hatespeech tertuju kepadanya. 

Berbeda halnya dengan Sandiaga, walaupun mungkin ibundanya memiliki niat untuk menunjukkan peran dan suaranya sebagai ibu, namun itu justru dapat dibaca publik bahwa putranya tersebut belum mandiri. Sandi bukanlah petarung sebenarnya, karena di sini ia tidak terlihat sebagai seorang anak yang betul-betul telah matang sehingga saat ia "dicubit" ia masih tetap berteriak dan meronta melebihi rasa sebenarnya dari cubitan itu. 

Setidaknya inilah yang tertangkap oleh publik. Dapat saja akan semakin banyak yang melihat Sandi sebagai figur yang belum cukup matang untuk terjun ke dunia politik, dan masih terlihat sebagai "anak mami" alih-alih tampil sebagai figur yang betul-betul siap bertarung.

Ia lebih terlihat sebagai anak manja alih-alih sebagai calon pemimpin yang akan memimpin negara sebesar Indonesia. Sebab, luka kecil saja dialaminya telah membuat keluarganya meronta dan menjerit. Bukan mustahil, pandangan publik terhadapnya dapat saja semakin buruk.

Sebab, saat Mien Uno ingin berbicara sebagai seorang ibu, orang-orang dapat saja semakin yakin jika Sandi memang lebih tepat untuk bermanja-manja dengan sang ibu. Ya, daripada membuatnya bersedih karena pertarungan politik memang dapat saja melahirkan luka-luka melebihi hasil dari sebuah tagar #SandiwaraUno.

***