Apa Maksud "Love Story" Jokowi-Ahok-Amin dalam Cuitan Fahri?

Senin, 18 Februari 2019 | 05:46 WIB
1
816
Apa Maksud "Love Story" Jokowi-Ahok-Amin dalam Cuitan Fahri?
Fajri Hamzah (Foto: Tribunnews.com)

Sungguh luar biasa gerakan mematikan nalar dan logika itu, ini sama halnya dengan gerakan Cuci otak, sehingga mencerna sebuah kebenaran itu sudah tidak lagi dianggap penting, justeru mempercayai ketidakbenaran itu malah dianggap sebagai akal Sehat.

Secara logis tentang perggantian Ma'ruf Amin dengan Ahok, kalau seandainya Jokowi memenangkan Pilpres, itu adalah satu Hil yang Mustahal, karena secara logika konstitusional, maupun aturan hukum, tidak mungkin bisa terjadi, karena belum pernah terjadi dalam sistem presidential.

Bisa difahami kalau Fahri berada pada posisi sebagai bagian dari Oposisi, namun sebagai wakil Ketua DPR, tidak salah juga kalau dia mau ikut membantu menciptakan Pemilu yang Damai, bukan malah membuat cuitan yang bisa memancing kegaduhan Politik.

Cuitan Fahri dengan tagar #AhokGantiAmin, yang diposting di Twitter, bisa diasumsikan sebagai upaya menggiring opini, bahwa isu Ahok Ganti Amin yang viral itu adalah sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Berikut ini salah satu cuitannya, dari beberapa cuitan lainnya.

Pertanyaan terakhir, “Maka drama apakah yang telah terjadi dengan negara kita dalam kasus “love story dan cinta segitiga Jokowi-Ahok-Amin ini?” Lalu kenapa hukum sejak itu jadi plot dalam kisah sandiwara? Wallahualam. #AhokGantiAmin

Cuitan ini jelas ingin mengindikasikan adanya skenario dalam wacana penggantian Ma'ruf Amin dengan Ahok, yang erat kaitannya dengan hubungan Ahok dan Jokowi. Padahal bisa saja skenario ini justeru dibuat oleh pihak lawan Jokowi.

Seharusnya sebagai politisi dan anggota Dewan, Fahri tahu hal itu tidak mungkin terjadi. Ahok adalah mantan narapidana, artinya pernah dipenjara. Sementara syarat untuk menjadi Cawapres atau Wapres ada dua, tidak pernah dijatuhi hukuman dan tidak pernah dipenjara.

Seperti yang dijelaskan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, yang dilansir oleh Tribunews.com,

"Syaratnya itu sama, enggak boleh orang yang pernah dijatuhi hukuman. Jadi sekalipun itu terjadi sesudah Pak Ma'ruf Amin terpilih maka tak bisa Ahok yang menggantikannya," ungkap Mahfud MD.

Menurutnya, kabar Ahok yang akan menggantikan Ma'ruf Amin itu membuat gaduh masyarakat dan berusaha mengurangi kepercayaan warga atas integritas paslon nomor 01, Jokowi dan Ma'ruf Amin.

"Saya juga mau menambahkan jika ada cawapres yang mengundurkan diri sebelum pemilu maka ada ancaman pidana 5 tahun dan denda Rp 50 miliar, sedangkan Parpol terkena ancaman 6 tahun pidana dan denda Rp 100 miliar, sehingga mengganti-ganti itu tak mudah, ini negara dan UU udah mengatur secara tepat," ungkap Mahfud MD.

Menjelaskan hal seperti ini tidaklah mudah, apalagi ditambah lagi dengan opini-opini yang menyesatkan masyarakat. Seharusnya sebagai anggota Dewan ikut meluruskan pemberitaan tersebut, dan ikut berusaha untuk menciptakan Pemilu Damai.

Sulitnya menjelaskan pada masyarakat yang sudah terkontaminasi pikiran negatif, khususnya pada Pemerintah, sama sulitnya menjelaskan bahwa Mindanao itu adalah bagian dari wilayah Filiphina, dan Filiphina itu bukan Indonesia, karena memang nalar dan logikanya sudah tidak lagi berfungsi, akibat dari proses Cuci otak sejak Pilpres 2014.

Bisa dibayangkan yang seperti ini akan terus berkembang biak, dan melahirkan generasi yang sama dimasa depan. Akibat dari gerilya Politik yang meracuni pikiran masyarakat dalam rentang waktu yang sudah cukup lama.

Kalau yang dijelaskan orang-orang yang kurang pendidikannya ya gak masalah, lah ini hampir rerata pendidikannya sekolah menengah keatas, yang semestinya mengutamakan logika berfikir yang menggunakan nalar, bukan semata-mata nafsu.

Apalagi kalau yang ikut meracuni pikiran masyarakat tersebut, adalah orang-orang yang kedudukannya dipercaya, dan merupakan figur aktor Politik. Pernah gak terpikirkan oleh mereka, bahwa apa yang mereka tanamkam dalam pikiran masyarakat itu adalah racun, yang bisa merusak akal Sehat masyarakat.

Alangkah baiknya kalau aktor-aktor politik, ikut menciptakan Pemilu yang Damai, bukan malah memancing kegaduhan dengan pernyataan-pernyataan yang membuat bingung masyarakat.

Masyarakat harus kritis terhadap berbagai upaya untuk mendelegitimasi pelaksanaan Pemilu, tidak perlu takut untuk melakukan tindakan pencegahan, karena itu adalah bentuk antisipasi masyarakat untuk berperan serta dalam menciptakan Pemilu Damai.

***

Sumber