Soal Pasal 33 Saya Setuju Prabowo, Sayangnya Saya Tak Percaya

Jumat, 28 Desember 2018 | 21:50 WIB
0
377
Soal Pasal 33 Saya Setuju Prabowo, Sayangnya Saya Tak Percaya
Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno [Detik.com]

Pasal 33 UUD 1945 itu bagi saya salah satu pasal terpenting dalam UUD 1945. Pasal itulah bukti cita-cita sosialisme Indonesia yang diinginkan para pendiri bangsa, terutama Soekarno dan Hatta.

Karena itu saya senang sekali ketika Prabowo menjadikan janji menjalankan pasal 33 secara murni dan konsekuen sebagai salah satu tema sentral kampanye pencapresannya, sejak 2014 dan kini berulang pada pilpres 2019.

Seharusnya secara alamiah saya mendukung Prabowo. Bagaimana bisa saya mendukung gagasannya namun tidak serta-merta mendukung pencapresan Prabowo? Tentu saja bisa sebab saya tak percaya hal itu bakal sungguh-sungguh dijalankan Prabowo-Sandiaga.

Kata orang tak akan bersih lantai yang disapu dengan sapu kotor. Begitu pula soal ini. Bagaimana bisa hakikat pasal 33 sungguh dilaksanakan Prabowo jika Sandiaga Uno wakilnya adalah pelaku bisnis air bersih?

Dua ayat dalam pasal 33 menyatakan "cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara" dan "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."

Bagi saya, di tataran praksis kebijakan, dua ayat ini berkonsekuensi salah satunya adalah air bersih sebagai hajat hidup orang banyak tidak boleh dijadikan  komoditi.

Air bersih adalah hak asasi sebab tanpa air orang tak bisa menjadi manusia seutuhnya. Menjadikan air bersih sebagai komoditi berarti berpotensi meniadakan akses sebagian orang terhadapnya. 

Ini sudah pasti sebab harga bukan sekadar label dari nilai barang. Harga adalah juga mekanisme mengontrol akses. Penetapan harga atas suatu hal berarti pengontrolan akses terhadapnya. Akan ada sejumlah orang yang tidak cukup mampu membayar barang itu dan karenanya tidak bisa menikmati. Demikian pula yang terjadi dengan air bersih.

Yang namanya perusahaan swasta sudah pasti mencari untung. Semua produk perusahaan swasta adalah komoditi. Tidak ada perusahaan swasta di muka bumi ini yang dibebani obligasi memenuhi hak asasi rakyat. Hanya negara yang memiliki beban itu sebab negara mengelola uang rakyat berupa pajak.

Maka melibatkan perusahaan swasta dalam pengolaan air bersih--privatisasi--berarti mengubah hakikat air bersih dari sejatinya hak dasar rakyat menjadi komoditi. Privatisasi pengelolaan air bersih adalah kejahatan HAM

Di DKI Jakarta, sejak 1997 oleh kebijakan Soeharto penguasa Orde Baru, pengelolaan air bersih diprivatisasi, diserahkan kepada dua perusahaan swastas yang berafiliasi modal asing, dua raksasa swasta pengelola air bersih terkemuka dunia: PT Thames asal Inggris dan Sues Lyonnaise asal Prancis. Masing-masing perusahaan bermitra dengan kapitalis nasional.  Thames mendirikan PT Thames PAM Jaya (TPJ) yang selanjutnya mendirikan Aetra; sementara Sues Lyonnaise bermitra dengan Salim Group, mendirikan Palyja. Kepada Aetra dan Palyja, air bersih sebagai hajat hidup penduduk Jakarta diserahkan.

Pada 2007, Sandiaga Uno melalui perusahaannya Acuatico membeli Aetra dan menjualnya kembali ketika dilantik menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Sejak dikuasai swasta (Sandiaga di dalamnya), Anies Baswedan katakan tak ada pembangunan instalasi baru air bersih di Jakarta. Tentu saja sebab perusahaan swasta hanya menyasar permintaan efektif, istilah untuk orang-orang yang bukan saja butuh  air bersih tetapi juga memiliki kemampuan membayar.

Meski Sandiaga menjual saham di Aetra (September 2017) tidak lama setelah Mahkamah Agung (April 2017) memutuskan privatisasi air merugikan warga DKI dan Pemprov DKI harus menasionalisasi kembali pengelolaan air bersih; tindakan Sandiaga itu tidak mencerminkan sikap insyaf dan sadar bahwa menjadikan air bersih sebagai komoditi bertentangan dengan pasal 33 dan melanggar hak asasi penduduk Jakarta.

Hal ini diakui sendiri oleh Sandiaga. Menurutnya keputusan menjual kepemilikan saham di Aetra semata-mata agar tidak ada konflik kepentingan antara statusnya sebagai pemilik perusahaan Swasta yang menguasai pengelolaan air bersih DKI dengan jabatannya sebagai wakil gubernur.

Yang kedua, bertentangan dengan pengakuan pertama, keputusan penjualan saham di Aetra bukan keputusan Sandiaga melainkan keputusan manajemen Recapital, perusahaan investasi yang turut dimiliki Sandiaga. Sandiaga juga mengakui jika dirinya tidak terlalu mencampuri lagi urusan dan keputusan manajemen Racapital.

Meski dua pernyataan Sandiaga ini bertolak-belakang, keduanya sama-sama tidak mencerminkan kesadaran Sandiaga bahwa sesuai semangat Pasal 33 UUD 1945 air bersih seharusnya tidak dijadikan komoditi dan itu berarti ia tidak boleh dikelola perusahaan swasta.

Sandiaga malah menegaskan saat itu, Pemprov DKI yang dipimpinnya bersama Anies Baswedan akan mengoptimalkan kerjasama pemerintah dan swasta (public private partnership) dalam pengelolaan air bersih. Ketakutan saya, semangat inilah yang  Sandiaga bawa ketika mencalonkan diri bersama Prabowo Subianto dalam pilpres 2019.

Selain Sandiaga, Hashim Djoyohadikusumo, adik Prabowo dan pendiri Partai Gerindra juga berbisnis air bersih di Balikpapan.

Dengan begitu, apa yang Prabowo dan Gerindra suarakan, janji mereka untuk melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 secara murni dan konsekuen adalah janji politik yang sangat mungkin akan lancung.

Sumber:

  1. CNNIndonesia.com (31/08/2018) "Gerindra Ingin Murnikan Penerapan Pasal 33 UUD45 di Indonesia."
  2. Detik.com (05/09/2018) "Anies Bilang 12 Tahun Tak Ada Penambahan Pipa Air Bersih di Jakarta."
  3. Bisnis.com (31/08/2017) "Saham Sandiaga Uno di Acuatico Dilego ke Grup Salim Rp1,24 Triliun."
  4. Tempo.co (01/09/2017) "Grup Salim Akuisisi Saham Sandiaga Uno di Acuatico Rp 1,24 T."
  5. Kontan.co.id (23/02/2014) "Pasang surut bisnis putra sang begawan."
  6. Kalimantan.bisnis.com (10/02/2016) "Adik Prabowo akan Pasok Air Bersih ke Balikpapan."
  7. Kumparan.com (11/05/2018) "Adaro Investasi Bisnis Air Bersih di Kalimantan Tengah."

***