Sebut Kematian Disebabkan Covid-19, Alibi Agar Non-KIPI?

Meski telah divaksinasi, tetap disiplin prokes, karena seseorang masih berisiko terpapar virus Covid-19.

Rabu, 24 Februari 2021 | 23:26 WIB
0
1017
Sebut Kematian Disebabkan Covid-19, Alibi Agar Non-KIPI?
Eha Soemantri. (Foto: SuaraSulsel.id)

Selasa, 23 Februari 2021, beredar Press Release Komda KIPI Sulawesi Selatan: “Kematian Ny. ES Tidak Berhubungan dengan Vaksin”. Contact Person bisa hubungi​: Dr. dr. Martira Maddeppungeng, SpA(K).

Bahwa World Health Organization (WHO) telah menetapkan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai pandemi global pada Rabu, 11 Maret 2020. Indonesia merupakan salah satu dari 114 negara yang mengalaminya.

Saat ini kasus di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, per 22 Februari 2021 mencapai 54.209 kasus terkonfirmasi. Vaksinasi Covid-19, bagian penting dari upaya penanganan pandemi Covid-19 yang menyeluruh dan terpadu meliputi aspek pencegahan dan penerapan prokes.

Vaksinasi Sinovac sebagai upaya Pemerintah dalam melindungi seluruh rakyatnya, dilakukan sebanyak 2x dengan jangka waktu 14 hari. Kekebalan tubuh baru terbentuk maksimal setelah 28 hari sejak vaksinasi pemberian pertama diberikan.

Upaya penanganan pandemi ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan mengadakan vaksinasi Covid-19. Ny. ES di sini adalah inisial dari nama DR. Eha Soemantri SKM, MKes, Bendahara Persakmi Sulawesi Selatan.

Komisi Daerah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komda KIPI) Sulawesi Selatan mengadakan penyelidikan, almarhumah mendapat vaksinasi Covid -19 pada Kamis, 14 Januari 2021. Kemudian almarhumah pergi ke Mamuju, 5 hari sebelum vaksinasi Covid-19 ke 2 pada Kamis, 28 Januari 2021.

Doktor Eha diketahui mendapat gejala sesak, demam, batuk 3 hari pasca vaksinasi dan dinyatakan terkonfirmasi Covid-19 pada Senin, 8 Februari 2021. Setelah mendapat perawatan di RS Pelamonia kemudian dirujuk ke RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dinyatakan negatif PCR pada Kamis, 18 Februari 2021.

Kesimpulan:

1. Almarhumah kemungkinan tertular saat pergi ke luar kota sebelum vaksinasi kedua diberikan dan kontak dengan anggota keluarga lain terkonfirmasi Covid-19 yaitu suami beserta ketiga anaknya;

2. Gejala timbul setelah vaksinasi kedua. Kekebalan tubuh pada saat itu belum terbentuk maksimal;

3. Almarhumah sudah mendapatkan penanganan sesuai tatalaksana Covid-19 dengan hasil PCR swab nasofaring terakhir negatif. Namun pada beberapa kasus Covid-19, perburukan terjadi karena badai sitokin sehingga menyebabkan masalah sistemik berbagai organ sehingga terjadi gagal nafas;

4. Kematian disebabkan oleh Covid-19 bukan karena vaksin.

Bersama beberapa pejabat Pemprov Sulsel dan Forkopimda di Sulsel, pada 28 Januari 2021, Eha menerima vaksinasi tahap dua di RSKD Dadi. Eha juga sempat membagikan testimoni terkait vaksinasi, setelah divaksin beberapa waktu lalu.

Eha mengimbau masyarakat untuk tidak takut divaksinasi. “Saya telah mendapatkan suntikan vaksin pada tanggal 14 Januari setelah pencanangan vaksinasi Covid-19 oleh pak Gubernur,” ujarnya dalam video testimoni tersebut.

“Alhamdulillah, setelah divaksin saya tidak mengalami keluhan apa-apa. Ini salah satu bukti yang menunjukkan vaksin Covid-19 aman. Kepada masyarakat, mari kita mensukseskan pemberian vaksin ini, sebagai ikhtiar kita agar terlindungi dari virus Covid-19,” ujarnya.

Tapi, Jumat (19/2/2021) pagi, Eha dinyatakan meninggal dunia di RS Wahidin Sudiro Husodo, Kota Makassar. Yang dialami Eha sudah seharusnya dilakukan investigasi karena peristiwa itu termasuk dalam kategori KIPI Serius.

Sebelumnya, KIPI Serius lainnya dialami nakes RSUD Ngudi Waluyo, Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Erny Kusuma Sukma Dewi (33), yang meninggal setelah disuntik vaksin Covid-19, pada Minggu, 14 Februari 2021.

Nakes Erny menjalani vaksinasi tahap pertama pada Kamis, 28 Januari lalu. Sebelum disuntik vaksin Sinovac, ia juga menjalani screening seperti yang lain, dan dinyatakan sehat. Erny tak memiliki penyakit penyerta. Suhu tubuh juga normal.

Sembilan hari setelah vaksinasi (tahap 1), Erny tiba-tiba mengalami gejala sakit. Tubuhnya panas. Juga, muncul sesak yang itu membuat yang bersangkutan langsung dilarikan ke rumah sakit. Saat di swab ternyata positif (Covid-19).

Kabar terbaru, drg. Bernadi Into, Sp.Prost, meninggal dunia, Senin, 22 Februari 2021, karena Covid-19. Padahal, Rabu, 27 Januari 2021, CEO PT Mustika Keluarga Sejahtera, pemilik RS Mustika Medika, Kota Bekasi, posting foto di medsosnya sedang divaksin.

Bukan Vaksin?

Seorang dokter bercerita soal keluarganya yang dokter. Selama setahun pandemi, bulek-nya itu tidak terinfeksi Covid-19 sama sekali. Tapi, setelah keluarga dokter yang bekerja di sebuah RSUD ini divaksin semua, ternyata mereka terinfeksi Covid-19 dan diopname.

Di sana juga banyak perawat yang diopname setelah divaksin Sinovac. Agar tidak terlanjur parah, keluarga dokter ini minum suplemen dan lain-lain. “Alhamdulillah, ada hasilnya, gejala minimalisir di area lambung,” ujarnya.

Hanya suaminya yang ketularan, sedang sesak pneumoni, anak mantunya anosmi. Cerita dari dokter alumni sebuah PTN di Surabaya ini bukanlah hoax. Sekali lagi, bukan hoax! Cerita ini adalah fakta di lapangan yang mungkin tidak ada dalam berita.

Kembali ke soal meninggalnya Doktor Eha di Makassar tersebut. Ada dua point kesimpulan yang disampaikan Komda KIPI Sulawesi Selatan yang perlu disimak dengan jeli dan teliti. Yaitu:

1. Almarhumah (ES) kemungkinan tertular saat pergi ke luar kota sebelum vaksinasi kedua diberikan dan kontak dengan anggota keluarga lain terkonfirmasi Covid-19 yaitu suami beserta ketiga anaknya.

Dari sini tampak sekali Komda KIPI sebenarnya ingin mengatakan bahwa kematian Doktor Eha itu bukan karena vaksin. Jadi, seperti ditulis dalam kesimpulan ke-4, “Kematian disebabkan oleh Covid-19 bukan karena vaksin.”

Terkesan, Komda KIPI berusaha menutupi fakta, kematian Eha disebabkan suntikan vaksin. Bukankah prosedur vaksinasi itu diawali dengan menjalani screening atas kesehatan penerima vaksin?

Jika hasil screening Eha itu ternyata terpapar Covid-19, bukankah akan dilarang ikut vaksin? Bagaimana bisa seseorang yang terinfeksi Virus Corona tetap saja boleh divaksin? Bukankah seharusnya ditolak?

Tampaknya adanya nakes yang meninggal setelah divaksin tersebut membuat Komnas KIPI dan Kemenkes perlu menjelaskannya. Dan, “Pemerintah berharap, kejadian serupa tidak akan terulang kembali kedepannya,” kata Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Spa(K), MTropPaed.

Menurut Ketua Komnas KIPI itu, kekebalan tubuh tidak langsung tercipta pasca penyuntikan pertama, kalaupun ada, itu sangatlah rendah.

Kekebalan baru akan tercipta sepenuhnya dalam kurun waktu 28 hari pasca penyuntikan kedua. “Meskipun sudah divaksinasi, dalam dua minggu kedepan sangat amat rawan terpapar,” tutur Prof Hindra.

Prof Hindra menambahkan, vaksin Covid-19 ini membutuhkan dua kali dosis penyuntikan. Suntikan pertama ditujukan untuk memicu respons kekebalan awal. Sedangkan suntikan kedua, guna menguatkan respons imun yang terbentuk.

Oleh karena itu setelah diimunisasi tetap harus menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, dan menjauhi kerumunan, karena masih rawan, kalau kita lengah bisa saja terjadi hal yang tidak kita inginkan.

“Vaksin Covid-19 yang digunakan untuk vaksinasi dipastikan aman dan berkhasiat. Sebab, dalam proses pengujiannya telah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh WHO,” kata Prof Hindra.

“Dengan hasil pengujiannya di fase 1, fase 2 dan fase 3, kita hasilnya ringan,” tambah Prof Hindra

Hal ini merujuk pada uji klinis yang dilakukan oleh Tim Riset Uji Klinik Vaksin Covid-19 Universitas Padjajaran: efek samping yang ditimbulkan dari vaksinasi Covid-19 bersifat ringat dan mudah diatasi seperti reaksi lokal berupa nyeri, kemerahan atau gatal-gatal.

Untuk mengantisipasi timbulnya KIPI, pemerintah telah menyiapkan langkah penanganan termasuk menyediakan contact person di setiap pos pelayanan vaksinasi.

Prof Hindra mengungkapkan bahwa di Indonesia sendiri, proporsi efek samping serius yakni 42 per 1.000.000 sedangkan non serius 5 per 10.000.

Menurutnya, vaksinasi merupakan upaya tambahan untuk melindungi seseorang dari potensi penularan Covid-19, sehingga tetap membutuhkan prokes untuk memberikan perlindungan yang optimal.

“Vaksinasi itu tak menjamin 100 persen (tidak akan tertular), namun sebagai upaya tambahan untuk mengurangi risiko terpapar/terinfeksi,” katanya.

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes yang juga Direktur Pencegahan Penyakit Menular Langsung dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid, mengingatkan agar meski telah divaksinasi, tetap disiplin prokes, karena seseorang masih berisiko terpapar virus Covid-19.

“Bagi seluruh masyarakat saya berpesan, dengan adanya vaksinasi kita juga masih punya kewajiban menjalankan protokol kesehatan,” ucapnya.

***