Dan Amien Rais Pun Dicuekin Jokowi

Hingga ke depan kelak, semoga Indonesia dipimpin generasi baru Indonesia, yang bebas dari penyakit Orba.

Selasa, 18 Juni 2019 | 06:43 WIB
1
1956
Dan Amien Rais Pun Dicuekin Jokowi


Dalam acara buka puasa (30 Mei 2019) di rumah besannya, Amien Rais menyatakan ada pihak-pihak yang ingin mempertemukannya dengan Presiden Jokowi. Sayangnya, Amien tak bersedia menjelaskan pihak mana dan siapa namanya. Pernyataan model begini, tak bisa dipertanggungjawabkan. Karena nilai bohongnya tinggi.

Persis sebagaimana pihak BPN dan Partai Gerindra. Katanya, kubu Jokowi menawarkan kursi menteri untuk rekonsiliasi. Gerindra menolak. Nah, sayangnya pula, mereka juga tak mau menyebut siapa yang menawari. Konon untuk menjaga etika. Padahal, jika tak mau menyebut nama, akan lebih etis jika tak dinyatakan ke publik. Karena bisa mengundang fitnah.

Amien menyatakan tak ingin datang ke istana. Tak ingin dianggap sowan menemui Jokowi. Karena khawatir diplintir sebagai upaya Amien mendukung Jokowi. Amien Rais meminta Jokowilah yang menyambangi rumahnya di Yogyakarta.

Tak lebih dari seminggu kemudian, Jokowi ke Yogya. Menyambangi Amien Rais? Boro-boro. Padahal selama dua hari kunjungan ke Yogyakarta, acara Jokowi tidaklah padat. Ia lebih banyak ngendon di Gedung Agung. Jika pun ada yang dikunjungi, menemui Sri Sultan Hamengku Buwana X.

Baca Juga: Amien Rais Terbangun dari Tidur Panjang

Acara Jokowi, setiba di Yogyakarta Kamis (6/6), adalah ngajak Jan Ethes ke Malioboro Mall, ke Kraton Yogyakarta, shalat Jumat di masjid Syuhada, Kotabaru (7/6), dan mengajak keluarga belanja batik di Pasar Beringharjo (8/6), kemudian kembali ke Solo. Tak ada acara lain. Dalam waktu longgar itu, tak sedikit pun disinggung soal Amien Rais.

Realitas sosial dan politik, Jokowi adalah Presiden. Juga pemenang Pilpres yang baru saja berlangsung (17 April 2019). Sedang Amien Rais, bukan presiden, bukan siapa-siapa. Meski dia adalah sesepuh PAN, penasihat PA-212, pengusaha pendidikan di Budi Mulia, dan seterusnya. Tapi apa pun, pada sisi itu, Jokowi dalam acara santai dua hari dua malam di Yogya, tak menggubris Amien Rais sama sekali. Apalagi menyambangi sesuai permintaan Amien.

Kita tak tahu, bagaimana Amien Rais, sesama wong Solo, memaknai hal itu. Namun membandingkan berbagai pernyataan verbal dan kasar Amien pada Jokowi, dari soal bebek lumpuh, ingin mengantarkan pulang ke Solo, hingga Tuhan yang malu; Amien sama sekali tak dianggep. Jokowi yang dibebeklumpuhkan, men-cuekbebek-innya.

Orang salah mengira. Dengan latar belakang paria, Jokowi dianggap anak bodoh, tak ngerti apa-apa. Tapi sebagai pembelajar yang cepat, dari kasta a politik di tengah para serigala haus-darah, Jokowi menjadi mahir bagaimana berkelit di antaranya. Hingga ketika menjadi Presiden, bisa dipecundanginya para kakap yang hendak menjebak.

Ia pribadi matang dan tegar. Pengambil keputusan yang berani dan mandiri. Teguh karena tulus. Kuat karena nothing to lose. Ia gambaran berbeda dibanding para lawannya, yang kebanyakan sarat agenda dan tendensi. Manusia-manusia penuh trik dan manipulasi, baik dengan pengetahuan dan agama. Jokowi membuat para seniornya kelicutan karena segan.

Para penghina, penghujat, pemfitnah Jokowi akan tahu, bahwa mereka berada di ruang hampa udara. Melayang-layang tak menyentuh bumi pijak.

Sementara, Jokowi, yang jika kelak usai periode ke-dua, kemungkinan besar kembali ke Solo. Sebagai rakyat biasa. Menjadi kakek dari cucunya. Jalan-jalan ke mall atau iseng mendisain meubel gaya milenial.

Akan susah kita lenyapkan dalam sejarah politik kita, Jokowi sebagai sang nothing to lose. Tak terkena post power syndrome. Jokowi seolah diselipkan Tuhan. Numpang lewat dalam sejarah kekuasaan Indonesia. Sebagai pembanding dari begitu banyak politikus, akademikus, budayawanikus, para mereka yang di ruang hampa udara. Dengan gelembung-gelumbung udara bernama ngomdo.

Mungkin ini berlebihan, khususnya bagi yang membenci berlebihan pada Jokowi. Meski kaum pembenci takkan pernah bisa menjelaskan; Mengapa, juga karena apa, dan demi apa kebencian itu. Karena Jokowi adalah mimpi ideal sebagian besar rakyat Indonesia.

Yang menginginkan pemimpin amanah dan fatonah. Yang kesidiqan dan tablighnya harus diterjemahkan dengan cara berbeda. Bukan dengan cara Rocky Gerung, Effendy Ghazalie, atau apalagi model kyai-kanjengan. Jokowi mesti dibaca dengan cara rakyat jelata yang tulus mencintai tanah air kebudayaannya.

Hingga ke depan kelak, semoga Indonesia dipimpin generasi baru Indonesia, yang bebas dari penyakit orba. Generasi masa depan yang lebih berani bersikap pada manusia-manusia ruang hampa udara, yang hanya sibuk sok milsuf, sok agamis, sok budayawan, sok penyair, sok nu, sok muhammadiyah, sok ulama, sok politikus, sok akademikus.

Karena begitu banyak warna dipakai sebagai legitimasi, sementara syaraf otaknya cuma item-putih mulu. Yang intinya, tak beda jauh dengan Rizieq.

***

Keterangan: Artikel telah ditayangkan sebelumnya di Blog Sunardian Journal dengan judul yang sama.