Sumbangan Terburuk Prabowo

KPU juga mesti ketat menyeleksi. Misal, capres baperan nggak boleh ikut. Yang ngamukan karena kalah, langsung diantar ke psikiater.

Senin, 22 April 2019 | 12:58 WIB
0
431
Sumbangan Terburuk Prabowo
Prabowo dan Din Syamsuddin (Foto: Kantor Berita Pemilu)

Pernyataan-pernyataan Prabowo mengenai quick count dan exit poll (wa bil khusus Pilpres 2019 dan hasilnya), sangat negatif. Meski itu reaksi normal orang kalah, hal itu menunjukkan ketakpantasan orang yang ingin jadi pemimpin. Apalagi Presiden negara heterogen seperti Indonesia.

Sumbangan terburuk Prabowo adalah mendelegitimasi ilmu pengetahuan yang diinisiasi masyarakat. Di mana janji perubahan, jika yang ditanam justeru kejumudan, alias involusi? Bukannya revolusi (moral)? Mendelegitimasi QC dan EP, sama saja tak mempercayai bagaimana peradaban mencari jalan memperbaiki masa depannya.

Lihat dampak ekorannya. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) menghimbau media televisi tidak menayangkan update quick count. Bagaimana bisa KPI yang dilahirkan untuk penguatan civil society, justeru menegasi inisiasi warga negara? Sementara KPI bungkam pada pelanggaran UU Penyiaran yang nyata. Dien Syamsudin, dari MUI, mengatakan sebaiknya quickcount ditiadakan. Ini soal kemanfaatan dan kemudharatan. Beberapa yang menyebut dirinya ustad dan ulama, membenturkan QC pada nilai agama.

Dengan bahasa njlimet, Rocky Gerung mengatakan QC memang kegiatan ilmiah, akademik, pure sciencetifik. Namun, katanya, karena yang menjalankan manusia, pada sisi itulah manusia bisa punya agenda lain (yang bertentangan dengan misi ilmiah dan netral). RG berhenti pada logika itu. Tak meneruskan dalam logika kaum positivis, dengan membangun sistem dan mekanisme. Membentuk organisasi profesi, aturan etik dan hukum, bahkan mekanisme dan administrasi untuk legalitas, kredibilitas, integritas.

RG konon mengajak kita bernalar, tapi nalarnya ternyata juga penuh tendensi dan partisan. Menjadi partisan sebenarnya tak apa, tetapi tidak jujur dengan memposisikan diri cendekiawan (padahal cuma jurkam), itu nilai kekampretannya sama. Persis Bambang Widjojanto, ngaku aktivis pergerakan padahal bagian dari tim kampanye.

Quick count justeru bertujuan untuk menjaga demokrasi dengan kontrol dan perbandingan. Sistem hitung cepat memberi kepastian para pelaku ekonomi, skala lokal dan global. Jarak waktu yang panjang dalam ketidakpastian, bukan hanya berbahaya dari sisi demokrasi, tapi juga memberikan dampak instabilitas dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat. Termasuk kinerja pemerintah yang sedang berjalan.

Post factum, atau jika kita mengambil sisi positifnya, blessing in disguise, sumbangan terburuk Prabowo bisa dibalik. Justeru bisa untuk mendesak KPU, atau Parlemen dan Mahkamah Konstitusi, memasukkan QC dan EP sebagai bagian dari instrumen Pemilu yang formal, agar (1) menekan manipulasi dari penyelenggara maupun kandidat, (2) memberi kepastian pasar atau dunia ekonomi, (3) meredam risiko instabilitas akibat kontestasi yang panjang.

KPU juga mesti ketat menyeleksi. Misal, capres baperan nggak boleh ikut. Yang ngamukan karena kalah, langsung diantar ke psikiater, atau RSJ terdekat. Lagian, ndak tuman!

***