Pilpres tinggal 4 bulan lagi. Waktu yang relatif ; bisa dianggap masih lama dan juga bisa singkat. Semua tergantung rencana dan aktivitas yang ingin dilakukan setiap kontestan Pilpres dan tim nya.
Pada selang masa kampanye ini, pasangan Prabowo/Sandi belum menampakkan program-program andalan yang mengandung kebaruan (novelty) bila kelak menjadi pemimpin negeri ini. Belum ada rincian program yang bisa meyakinkan masyarakat pemilih bahwa mereka bisa/mampu dan layak membawa Indonesia ke arah lebih baik dibandingkan yang sudah dikerjakan Capres petahana Jokowi.
Sampai saat ini, Prabowo/Sandi lebih banyak berkutan pada "itu-itu saja", yakni banyak membuat pernyataan yang tidak sesuai kenyataan di masyarakat.
Sebut saja soal Indonesia bubar tahun 2030, tempe setipis ATM, Prabowo menyatakan ekonomi saat ini merupakan ekonomi kebodohan, 99 persen rakyat Indonesia miskin, isu PKI dan kriminalisasi ulama, kasus kebohongan Ratna Sarumpaet, dan seterusnya. Kalau hal itu sebagai bagian upaya kampanye negatif--dan itu dianggap masih dalam koridor kampanye, lalu apakah hal ini akan terus dilakukan selam 4 bulan ke depan, hanya untuk menggerus kepercayaan publik terhadap petahana Jokowi?
Persoalannya adalah pada image berbagai pernyataan negatif itu yang kemudian terbangun di dalam masyarakat, bukan lagi semata menciptakan gambaran negatif terhadap petahana Jokowi, namun juga image negatif pada Prabowo/Sandi sendiri di masa depan.
Katakanlah bila mereka memenangkan Pilpres 2019, maka semua yang pernah mereka nyatakan dan lakukan selama kampanye akan melekat di diri mereka. Semua itu menjadi handicap mereka selama memimpin negeri ini.
Handicap itu menjadikan segala program yang mereka buat dan akan kerjakan di kemudian hari tak akan lepas dari ingatan publik, khususnya pada semua kampanye negatif itu--dibalik gaya kepemimpinan mereka kelak. Ini yang mungkin tidak disadari. Ataukah mungkin sudah disadari namun tidak dijadikan persoalan utama karena menganggap rakyat Indonesia "bodoh" dan "permisif" terhadap taktik tak etis serta kesalahan masa lalu?
Semakin hari, rakyat semakin cerdas dalam melihat realitas para pemimpinnya bekerja. Ada pembelajaran dari cara rakyat melihat pemimpin di wilayahnya, baik itu walikota, bupati, hingga gubernur. Dari cara itulah mereka melihat calon presidennya. Akankah si Pemimpin itu tampil dan bekerja memberi manfaat bagi kehidupan mereka beserta anak cucunya kelak?
Mungkin sebagian publik masih secara membabi buta mengidolakan "kegagahan Prabowo" dan "kegantengan Sandi" untuk menjadi pemimpin negeri ini. Disisi lain publik tersebut juga menikmati atau senang dengan pernyataan dan berita "bohong" yang keluar dari Prabowo/Sandi terhadap realitas publik itu sendiri karena adanya unsur pengidolaan (kultus personal) tadi.
Tapi di realitas kehidupan lain, mereka tidak juga bisa kenyang dan tak nyaman oleh kegagahan dan kegantengan. Mereka tidak bisa tenang menjalani hasil kepemimpinan Prabowo/Sandi tersebut yang tak jelas arah dan bentuknya sejak kampanye Pilpres sampai jadi pemimpin.
Pada saat itulah handicap yang pernah Prabowo/Sandi lakukan (bikin) kemudian menjadi batu sandungan yang tak berkesudahan dalam masa kepemimpinan.
Membuat pernyataan-pernyataan "bohong" --yang berkebalikan dari yang dilakukan pemerintahan Jokowi hanya akan mendegradasi citra kepemimpinan Prabowo/Sandi itu sendiri, terutama Sandi yang masih punya peluang maju di pilpres 2024.
Kelak Sandi akan sulit lepas dalam citra negatif dari berbagai blunder politik saat masih bersama Prabowo di Pilpres 2019. Sementara terhadap Prabowo, sejarah akan mencatatnya dengan cara yang tidak lagi segagah saat masih jadi kontestan Pilpres 2019.
Kalau orang gagah dan ganteng seperti aku sih rapopo, heuheu.....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews