Radikalisme Islam yang Mengebom Gereja?

Senin, 29 Maret 2021 | 00:47 WIB
0
220
Radikalisme Islam yang Mengebom Gereja?
Gereja Foto: Disway.id)

Makassar, dan juga Sulawesi Selatan merupakan rumah bersemainya keberagaman dan juga keberagamaan yang pelbagai.

Tidak hanya itu, Islam tumbuh dan diterima sebagai keyakinan yang dipeluk oleh sebagian besar bukan melalui jalur peperangan.

Kalaupun ada peperangan yang kemudian disebut musu selleng (perang dalam rangka pengisalaman) semata-mata karena ikrar di tempo sebelumnya. Ada kesepakatan untuk saling memberitahu ketika ada satu pihak yang menemukan maklumat, maka kewajibannya menyampaikan kepada pihak yang berikrar.

Negara utama Bugis di masa itu kemudian menerima Islam, dan dengan pimpinan karaeng Matoaya dicapai aturan-aturan persekutuan.

Penyebaran agama di Sulawesi Selatan, tak hanya Islam. Sebelum itu Kristen-pun sampai di Suppa (kini wilayah kabupaten Pinrang).

Begitu pula Toraja dan Palopo, dimana kelompok-kelompok masyarakat menerima agama selain Islam.

Sehingga di Soppeng pula dapat dijumpai kampung, bahkan sampai tiga lokasi dimana Bugis dan juga Kristen.

Tidak saja dalam memotret kebugisan dimana bersanding antara Bugis dan Islam ataupun Makassar dan Islam. Ada pula potret dimana sebangun antara Bugis dan Kristen. Juga, Makassar dan Kristen.

Ini semata-mata untuk menggambarkan bahwa dalam masyarakat Bugis ataupun Makassar, tidak saja Islam menjadi agama yang dianut tetapi juga Kristen.

Dalam satu kesempatan pula, Matoaya (1593-1610) mempelajari baik Islam maupun Kristen.

Noorduyn (1956) mengemukakan bahwa ada proses berpikir dan berulang-ulang terkait pilihan dan keputusan penerimaan Islam sebagai agama. Dimana dalam perkembangan selanjutnya, juga akan dianut oleh masyarakat.

Walaupun Islam yang diyakininya, belum dilaksanakan secara utuh dan menyeluruh. Ketika menganut Islam, tetap saja berjudi dan juga meminum ballo (tuak).

Kita melihat apa yang terjadi hari ini.

Saat duduk di Ballaq Barrakkaka ri Galesong (Rumah Berkah di Galesong), kawan yang duduk di sisi kiri baruga menyampaikan “ada bom bunuh diri di Katedral Makassar”.

Kita semua terdiam sejenak, dan kemudian melanjutkan percakapan di jelang dhuhur. Sembari mempersiapkan diri untuk pamit ke tuan rumah, karaeng Prof. Dr. H. Aminuddin Salle.

Kalaupun pelaku bom bunuh diri di kawasan Karebosi itu adalah muslim, dapat dipastikan bahwa bukan karena doktrin Islam yang menjadikannya pelaku bom bunuh diri.

Semata-mata pemahamannya yang tidak didudukkan dalam konteks yang sesuai dengan pesan keagamaan sehingga membawanya pada perilaku yang harus menghabisi nyawa orang lain.

Kalaupun mengakhiri nyawanya sendiri, itu juga satu masalah tersendiri. Hanya saja, dengan melakukan Tindakan seperti itu membuat masalah tidak hanya untuk dirinya sendiri. Tetapi menjadi stigma bagi agama yang dipeluknya.

Baik kini, maupun jejak dari masa lampau sama sekali tidak ada gambaran terkait rekaman radikalisme Islam ataupun muslim di Sulawesi Selatan.

Hanya saja, di masa lalu berita terkait dengan bom bunuh diri hanya menjadi berita dimana lokasinya terjadi di tanah yang jauh dari Makassar.

Hari ini, berita yang menyebar bukan lagi dari tempat yang tak terlihat dengan mata Ketika berdiri di kota ini.

Bahkan kota ini, menjadi “rumah” bagi pelaku kekerasan dengan mewujudkan tindakannya di rumah ibadah.

Ketika yang melakukannya itu muslim, maka bolehjadi mencemari agama yang dianutnya sendiri. Dimana Islam tidak memerintahkan perilaku itu. Bahkan memesankan bahwa membunuh satu nyawa sesunggunya menghabisi kehidupan itu sendiri.

Pemaknaan teks yang terbatas akan memberikan dampak buruk. Sehingga perlu dipahami secara luas dan juga lugas untuk memberi sokongan bagi penghidupan.

Atas nama apapun, bunuh diri, dan juga membunuh orang lain, tidak pernah mampu dipahami.