2021, Bukan Disuriahkan, tapi Digusdurkan

Bagi saya 2021 adalah apa yang disebut oleh rezim Orde Lama di bawah Sukarno dulu sebagai: vivere pericoloso. Tahun-tahun yang paling menegangkan dan menjebak.

Selasa, 29 Desember 2020 | 10:53 WIB
0
897
2021, Bukan Disuriahkan, tapi Digusdurkan
Gus Dur dan Jokowi (Foto: tribunnews.com)

Sampai saat ini, saya masih sering heran adanya wacana bahwa Indonesia itu akan di-Suriah-kan. Satu hal yang menjadi "barang dagangan" seorang pengamat HI dari Unpad. Hingga ketika kemarin seorang staf khusus Kedubes Jerman berkunjung ke Petamburan. Tiba-tiba banyak orang berbicara tentang white helmet di Suriah, peristiwa sejenis dalam demo di Hongkong, peran vital Jerman di NATO dsb dsb-nya.

Tapi umumnya mereka lupa, pada satu hal yang paling sederhana. Pada waktu sekarang kaum agamawan Indonesia yang sudah telanjur berorientasi "materi". Menjadi agamawan adalah pekerjaan dan itu berbayar. Nyaris tanpa kecuali!

Semua kaum agamawan di hari ini, kembali ke masa sebelum Renaisance. Tempat pengakuan dosa, mengeliminasinya, dan untuk itu orang harus membayar mahal. Saya tidak melihat kehidupan agama yang ada saat ini bersifat ideologis, lebih seperti proses jual beli belaka.

Karena itu-lah, kemudian ISIS diciptakan!

Dibutuhkan suatu gerakan yang seolah-olah sangat ideologis, berjuang atas nama agama secara sangat ekstrem. Namun bila, kita mendengar dari penuturan para eksil yang sekarang dalam tawanan. Mereka merasa tertipu dan terperangkap, karena mula-mula mereka tak lebih dari TKI yang dijanjikan kehidupan yang lebih baik. Hal-hal yang serba mudah, indah, dan gratis. Gak tahunya yang laki-laki jatuh sekedar canon target, sedangkan yang perempuan jadi budak seks.

Menurut saya, Indonesia di-Suriah-kan itu hanya ilusi. Indonesia, gak punya padang pasir. Dan minyaknya sudah hampir habis. Indonesia terlalu kaya untuk sekedar di-Suriah-kan. Indonesia itu kaya dalam nyaris segala hal, kecuali integritas dan kredibilitas...

Tapi lain cerita, kalau akhirnya Indonesia akan di-Gus Dur-Kan!

Dalam arti, akan muncul kudeta merangkak, yang didesain sedemikian halus. Hingga publik, tidak mengerti dan menemukan semua alasan datang secara tiba-tiba. Persis peristiwa menjelang tahun 1998, dan terulang lagi tahun 2001. Situasi tantrum, kompleks, dan absurd yang tak mudah dipahami.

Namun bertahun-tahun kemudian, kita baru menyadari bahwa ada situasi salah yang kita terlibat berkontribusi juga sangat salah di dalamnya.

Dan setelah, ressuffle itu terjadi. Publik bukannya makin sadar akan bahaya itu, sial mereka malah memberikan pembenaran ini itu. Bukankah itu yang juga terjadi pada menjelang kejatuhan Pak Harto, lalu demikian pula menjelang kejatuhan Gus Dur?

Mari kita urai satu persatu, minimal ini menurut penglihatan batin saya. Kenapa saya sedemikian jengkel dengan Jokowi, walau coba saya tepis. Tapi akhirnya juga gagal paham.

Pertama, naiknya pencalonan Gibran dan Bobby. Secara hukum, tak ada yang dilanggar di sini. Satu-satunya pejabat yang mencoba memberi penjelasan, hanya Luhut Panjaitan, yang mengatakan bahwa semula Jokowi pun kurang setuju. Tapi akhirnya menyerahkan hal tersebut pada keputusan anak dan mantunya itu.

Bagian yang publik, kesampingkan adalah masalah etika. Semua etika dilanggar di sini! Etika sosial, etika politik, dan etika demokrasi. Tonggak tertinggi seorang pemimpin tertinggi itu etika...

Silahkan dilihat ulang, apa hasil akhir dari seorang Presiden yang memaksakan diri melakukannya? Suharto di akhir masa jabatannya yang ngawur dan putus asa memilih Tutut anak sulungnya sebagai Mensos, dan kita tahu apa hasil akhirnya? Lenyap semua jasa baiknya selama 32 tahun.

Dan ini terulang lagi, pada masa SBY, ketika memaksakan anak sulungnya keluar dari karier militernya dan ikut dalam pencalonan Gubernur DKI. Hal ini bukan saja mengubur habis prestasi 10 tahunnya, tapi setelah itu parpol-nya tengkurap habis tak punya momentum untuk bangkit lagi!

Saya yakin, tak ada "turning back, titik balik" bagi kedua keluarga ini dalam peta politik Indonesia di masa datang.

Orang Jawa bilang, wahyune wis ilang. Ora bakal bali...

Kedua, saya tidak bosan untuk mengingatkan digantinya dr. Terawan Agus Putranto sebagai Menteri Kesehatan. Saya melihat dia satu-satunya menteri di dalam Kabinet Jokowi yang masih memiliki asketisme, kedalaman rasa. Bukan sekedar karena ia orang Jawa, yang penuh kerendahan hati. Tapi ia adalah orang, yang rela bersikap bekerja dalam diam.

Tak satu pun media yang datang membelanya, justru merupakan petunjuk bahwa ia bekerja dengan tulus. Ia sama sekali tidak tertarik pada gempita publikasi media.

Ia dianggap salah pada nyaris semua hal. Dianggap mengabaikan bahayanya pandemik Covid-19 ini, dianggap lambat dalam penyerapan anggaran, dan terutama gagal menjalankan fungsinya sebagai komunikator dengan media. Salah satu statementnya yang paling sering dikutip ulang dan disalahpahami adalah: masker itu untuk orang sakit, bukan orang sehat!

Dan itu terus diulang-ulang! Pemberhentiannya, sialnya seolah-olah dipahamkan sebagai bentuk kekalahannya dari seorang presenter lebay seperti Najwa Shihab.

Nah dalam hal ini, Jokowi justru ngilangne pulung. Menghilangkan sisi baik keberuntungannya...

Ketiga, penunjukan menteri-menteri baru yang sama sekali tidak mencerminkan pro-wong cilik! Penunjukkan Sandiaga Uno dan Mohammad Lutfi, hanya untuk menggenapkan "Trio Sekawan Pebasket", yang notabene anak Jakarta sungguh mengecewakan.

Saya tidak habis pikir, dengan kenyataan bahwa Jokowi jatuh harga dan terlihat sangat inferior terhadap anak Jakarta. Mereka adalah tiga serangkai yang punya karakter sama, para pengejar rente. Pembeli perusahaan murah, dipoloes dijual mahal. Atau minimal pencipta trend setter pemain pasar modal dan jual beli komoditi.

Saya melihat Jokowi tiba-tiba tumpul otaknya? Kreatifitas berpikirnya hilang. Kenapa tidak menunjuk Budi Waseso yang terbukti berhasil membenahi Bulog sebagai Menteri Perdagangan? Atau sebaliknya menunjuk Helmi Yahya, yang berhasil membenahi TVRI sebagai "substitusi" Wisnutama. Atau misalnya menunjukkkan teman sekelas saya Tri Mumpuni sebagai Mensos, kalau memang inginnya memerangi korupsi di Kemensos.

Satu-satunya pilihan yang saya pahami adalah penunjukkan Gus Yaqut sebagai Menteri Agama. Itupun dengan catatan ingin menyisihkan kakaknya sendiri: Gus Yahya.
Di mata orang Jawa, di sini Jokowi mendadak jadi gumunan...

Justru di sinilah puncak, pemahaman bahwa ia memiliki kekhawatiran ia sangat potensial di-Gus Dur-kan. Ia lebih memilih Gus Yaqut daripada Gus Yahya. Karena, posisinya sebagai Ketua GP Anshor yang memiliki organ Banser! Organisasi otonom NU yang memiliki reputasi baik sebagai benteng Islam tradisionalis yang lebih ramah pada semua aliran agama.

Tapi, bukankah ini justru menunjukkan bahwa ia tak yakin-yakin amat dengan posisi TNI dan Polri yang semestinya menjadi organ pertahanan keamanan yang lebih legal dan mendasar!

Sekali lagi, ia lupa bahwa ini bukan perjuangan melawan kolonialis. Ini area perjuangan melawan saudara setanah air. Sesuatu yang bahkan Gus Dur sebagai anak rahim NU yang paling otektik sekalipun tak mampu melakukannya. Not worthed, tak sepadan bila harus mengorbankan sesama anak bangsa sendiri.

Saya yakin, bahkan NU akan lebih memilih jalan kultural dan dialog. Jika hal ini terjadi, saya pikir sebagaimana Gus Dur. Jokowi akan memilih lebih baik mundur secara damai. Dan kita tahu apa yang akan terjadi bukan? Buah Simalakama!

Lalu apa jalan untuk Jokowi di-Gus Dur-kan? Terlalu banyak!

Salah satu yang paling logis, adalah tekanan dari media dan kelompok oposisi jalanan. Hal-hal kecil yang digangsir dan terus menerus dipolitisir. Contohnya terkait gagalnya Jokowi untuk mengatasi pandemik yang entah kapan berakhirnya. Sinyalemennya terlalu banyak. Pilihan vaksis Sinovac sendiri terlalu mengkhawatirkan, bila dilihat ternyata efektifitasnya sangat rendah dalam kasus Brazil. Jika kasusnya dibandingkan dengan di Turki? Saya tidak tahu, bagaimana cerita sesungguhnya. Dalam konteks ini, saya tidak tahu bagaimana kelak gaya kepemimpinan Menkes yang baru ini.

Walau pun, konteks nya sumir sinyalemen lain bahwa JK akan menawarkan diri jadi juru damai dengan Taliban. Harusnya dibaca dengan cara lain, bahwa ia justru memiliki akses langsung kepada kelompok Taliban. Saya selalu bilang bahwa FPI dan HRS itu hanyalah pion terlemah yang ada di media. Orang selalu mengingat JK sebagai juru damai dalam banyak pertikaian yang melibatkan gerakan separatis. Baik itu di GAM, Poso, Mindanao, atau dimana pun. Orang lupa, bahwa justru di sanalah kecerdikannya, dia jadi tahu di mana saja akses senjata itu berada....

Saya tidak melihat, bahwa Jokowi bisa mengendalikan JK sejauh ini. Ukuran saya sederhana bahwa salah satu orang terkuatnya, figur yang justru selama ini terindikasi menjadi sosok di balik aksi-aksi banyak penyalahgunaan fungsi dan bagi-bagi lahan. Menteri Agraria, Sofyan Djalil itu tetap berada di tempatnya. Kalau sejauh ini, baru Karni Ilyas yang tersentil bukankah masih ratrusan lain yang sebenarnya menunggu dikuak kasusnya. Bagi saya, dialah menteri nomer satu yang paling patut diganti. Tapi nyatanya tidak!

Bagi saya 2021 adalah apa yang disebut oleh rezim Orde Lama di bawah Sukarno dulu sebagai: vivere pericoloso. Tahun-tahun yang paling menegangkan dan menjebak. Orang akan bilang, bukankah tahun-tahun sebelumnya juga begitu? Bukankah Jokowi juga pernah melewati masa-masa yang jauh lebih sulit? Kali ini lain dan jauh lebih kompleks. Apalagi ada pemeo lokal yang juga sama menyesakkannya: sepandai-pandai tupai melompat, ia akan kepleset juga....

Tentu saya berharap orang lain tidak sepesimistis dan seputus asa saya. Tidak baik tahun yang baru kok ngomongin segala hal yang serba gelap.

Tapi....

***