Semoga dalam menghadapi Covid-19 ini Jejaring Harapan lebih dominan dan memupuskan Jejaring Amarah maupun Jejaring Anarki yang biadab.
Di saat bangsa Indonesia dan seluruh dunia dicekam momok Pandemi Covid-19, saya tiba-tiba teringat istilah "Jejaring Harapan" (Networks of Hope) yang diciptakan Begawan Masyarakat Jejaring (Network Society), Prof Manuel Castells.
Kita perlu menciptakan Jejaring Harapan sebagai Bangsa untuk mengatasi bencana global yang juga menghajar negara dan bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Bukan cuma dengan mengkritik, mengecam dan bahkan mencaci maki Presiden Joko Widodo.
Apalagi ada pula Jejaring Kebiadaban (Networks of Outrage) seperti Anarko dan lain-lain yang tercium Polri sudah merencanakan dan akan melakukan rangkaian kegiatan anarkis pada bulan April ini. Mereka akan menciptakan chaos dan pada ujungnya adalah penjungkalan Pemerintahan yang sah.
Tanggal 13 Agustus 2019 lalu saya belum beruntung bertemu Prof Manuel Castells yang memberikan kuliah pembuka APRiSSH (Asia Pacific Research in Social Sciences and Humanities) IV di Hotel JS Luwansa, Jakarta.
Saya punya hampir semua buku Castells. Tapi saya paling suka "Networks of Outrage and Hope - Social Movements in the Internet Age", baik edisi pertama (2012) maupun edisi kedua (2015).
Di cover buku edisi pertama ada gambar orang membawa tulisan 99%, maksudnya adalah slogan gerakan Occopy Wall Street di AS yang mengecam penguasaan 99 persen kekayaan warga AS oleh cuma 1 persen orang-orang terkaya di negeri itu. Di cover buku kedua, sudah tidak ada lagi tulisan 99%. Jadi gerakan protes lewat Jejaring Amarah menjadi lebih generik dan bukan cuma fenomena di AS saja.
Di buku ini dipaparkan Arab Spring yang berhasil melengserkan diktator tiran Presiden Tunisia Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mobarak.
Kedua revolusi berhasil karena ada martir dan kekuatan jejaring media sosial, utamanya adalah Facebook. Di Tunisia yang menjadi martir adalah Mohamed Bouazizi. Di Mesir, martirnya adalah Khaleed Said. Bouazizi membakar diri sebagain protes atas kezaliman polisi. Sementara Khaleed Said mati akibat digebuki polisi di sebuah warnet kota Alexandria. Kematian mereka berdua menyulut gelombang protes dan jejaring amarah. Networks of Outrage.
Baik revolusi Tunisia tahun 2010 maupun revolusi Mesir tahun 2011 coba dijiplak dan dicopypaste di Jakarta pada 21-22 Mei 2019 lalu untuk menganulir keputusan KPU yang memenangkan Jokowi Widodo sebagai Presiden terpilih periode 2019-2024. Modus menciptakan martir dan mendiskreditkan Polri gagal.
Pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin unggul 11 persen atau hampir 7 juta suara karena lebih kuatnya Jejaring Harapan (Networks of Hope) ketimbang Jejaring Kebiadaban.
Semoga dalam menghadapi Covid-19 ini Jejaring Harapan lebih dominan dan memupuskan Jejaring Amarah maupun Jejaring Anarki yang biadab.
Caranya bagaimana? Saya mengusulkan, agar Dewan Pariwara Nasional/Sosial dihidupkan lagi. Lembaga yang dahulu digagas almarhum Ken Sudarto dan almarhum Bondan Winarno ini sayangnya sudah lama mati. Padahal lembaga ini amat strategis untuk Kampanye Publik dan menggalang Solidaritas Nasional dan Gotong Royong hingga di akar rumput.Lembaga ini terdiri atas tiga komponen: 1) Industri media (siaran, cetak dan online, serta bisa diperkuat oleh media sosial); 2) Industri Kreatif, utamanya perusahaan-perusahaan Periklanan yang memiliki banyak talenta orang-orang kreatif untuk menciptakan iklan-iklan layanan masyarakat dan kampanye publik; 3) Perusahaan-perusahaan swasta/BUMN yang bisa ikut mendanai media placing bagi ILM tentang penanggulangan Covid-19.
Misalnya tentang agar warga rajin cuci tangan dan bermasker, menjaga jarak fisik, imbauan agar tidak mudik, dan berdonasi bagi mereka yang paling terdampak. Konser Didi Kempot dinKompas TV semalam dalam 3 jam menghasilkan donasi Rp 4,8 Miliar. Sahabat saya, Agus Sudibyo mengusulkan agar Didi Kempot dijadikan Duta bagi Kampanye Publik dan ILM memerangi Covid-19.
Yes, We Can!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews