Soe Hok Gie, Si Kritikus yang Gemar Mendaki Gunung

Berdasar amanat tersebut, akhirnya pihak keluarga menyepakatinya. Gie pun dikremasi dan abunya disebar di Puncak Gunung Pangrango.

Rabu, 1 Januari 2020 | 15:38 WIB
0
550
Soe Hok Gie, Si Kritikus yang Gemar Mendaki Gunung
Soe Hok Gie (Foto: liputan6.com)

Tokoh Tionghoa yang satu ini, pasti sudah tak asing bagi kebanyakan masyarakat Indonesia. Terlebih kisah hidupnya pernah diangkat ke layar lebar oleh sutradara kenamaan tanah air, Riri Riza pada 2005 silam.

Dia adalah Soe Hok Gie. Sosoknya begitu identik sebagai tokoh Tionghoa yang menentang kediktatoran pemimpin Indonesia di era Presiden Soekarno dan Soeharto.

Salah satu bentuk perlawanannya dituangkan melalui karya sastranya. Kedekatan Gie pada dunia sastra sebetulnya telah terpupuk sejak kecil.

Memang sang ayah, Soe Lie Pit atau lebih dikenal dengan panggilan Salam Sutrawan adalah penulis. Namun terlepas dari itu, Gie terbiasa membaca buku sejak masih duduk dibangku sekolah.

Bersama sang kakak, Soe Hok Djin alias Arief Budiman, Gie berkunjung ke perpustakaan umum dan taman bacaan di Jakarta. Saking cintanya, saat masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) Gie malah sudah membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer.

Kecintaan akan sastra kian mencuat saat Gie masuk ke SMA Kanisius jurusan sastra. Disinilah tulisan penuh kritik tajam mulai terasah, termasuk kesadarannya soal politik.

Berlanjut hingga ke jenjang perguruan tinggi. Ia menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) dengan jurusan sejarah pada 1962-1969.

Usai menempuh pendidikan, pria yang leluhurnya berasal dari Hainan, Republik Rakyat Tiongkok ini, berprofesi sebagai dosen sejarah di kampusnya sendiri. Selama itu pula, Gie aktif mengkritik pemerintahan lewat tulisannya yang dimuat di pelbagai media seperti Kompas, Harian Kami, dan Sinar Harapan.

Banyak kebijakan Presiden Soekarno dikritisi Gie. Dalam catatan hariannya yang dibukukan "Catatan Seorang Demonstran" tertulis mengenai politik adalah barang paling kotor, tetapi suatu saat tidak dapat menghindari maka terjunlah.

Ini pula yang terjadi ketika Gie meyakini bahwa rezim Soekarno tak lagi dapat diruntuhkan. Maka ia bekerja sama dengan para tentara dari Angkatan Darat.

Gie berhubungan baik dengan para perwira anti Soekarno. Sehingga gerakan mahasiswa yang ingin menumbangkan pemerintah mendapat pasokan materi hingga back up keamanan saat demonstrasi.

Kendati demikian ia tetap menjaga jarak dengan tentara anti Soekarno. Ia mewaspadai adanya tendensi militerisme dan fasistis dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia.

Terlebih ketika Gie, sebagai perwakilan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) diminta mengonfirmasi sebuah info intelijen penting dari telik sandi Kudjang (kesatuan khusus Kodam Siliwangi) kepada dua perwira Siliwangi anti-Sukarno, yakni Mayor Jenderal TNI H.R. Dharsono dan Brigadir Jenderal TNI Suwarto di Bandung. Ia diminta berpendapat tentang kerja sama mahasiswa dan ABRI.

Gie lantas menolak dan tak akan mempertahankan kerja sama dengan ABRI, bila jenderal-jenderalnya masih hidup bermewah-mewahan. Kemudian ketika Indonesia memasuki rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto turut dikomentarinya.

Salah satunya lewat artikel bertajuk "Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali" yang diterbitkan oleh Mahasiswa Indonesia Jawa Barat pada Desember 1967. Ia mengkritisi perlakuan tidak manusiawi yang dilakukan pemerintah Orde Baru kepada anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Contoh artikel lainnya berjudul “Wajah mahasiswa UI yang bopeng sebelah” dimuat dalam harian Indonesia Raya, 22 Oktober 1969. Isinya soal oknum-oknum mahasiswa UI yang membawa kepentingan politik.

Mereka berkedok sebagai aktivis ormas berusaha menyusup dan mendominasi Dewan Mahasiswa. Perkara itu membuat Gie sempat mengajukan pengunduran diri sebagai dosen muda.

Akan tetapi ditolak oleh Harsja Bachtiar, Dekan Fakultas Sastra. Dan secara tersirat, Harsja tetap mengizinkan Gie untuk bersuara.

Karya-karya lain Gie diantaranya adalah "Zaman Peralihan" yang telah diterbitkan dan dibukukan pada 1995 oleh Yayasan Bentang. Skripsinya yang berjudul "Di Bawah Lentera Merah" dan "Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan" pun turut dibukukan.

Disamping mengkritik pemerintahan, Gie ternyata gemar mendaki gunung. Dia bahkan menjadi salah satu pendiri organisasi mahasiswa pecinta alam (Mapala) UI.

Dalam pendakian gunung, Gie tak segan untuk membiayai lewat honor tulisannya. Bila butuh dana besar, ia pun bakal berusaha mencari sponsor.

Gie juga sosok yang luwes berinteraksi dengan masyarakat. Ia hormat dan patuh dengan peraturan setempat.

Dia dikenal sebagai pencerita ulung berwawasan luas. Mulai dari seni, sejarah, politik, teori, hingga soal percintaan bisa jadi bahan ceritanya.

Sebagai pendaki aktif, Gie rutin mendaki ke Gunung Gede, Gunung Salak, dan Gunung Pangrango di Jawa Barat. Lembah Mandalawangi yang ada di Gunung Pangrango menjadi spot favoritnya.

Saking sukanya, Gie mengabadikan lokasi itu dalam banyak catatan ataupun sajaknya. Gunung Slamet di Jawa Tengah dan Gunung Semeru di Jawa Timur pun dijajalnya.

Namun sayang, Gunung Semeru menjadi tempat terakhir dalam catatan perjalanan hidup Gie. Sehari jelang ulang tahunnya yang ke-27, yakni pada 16 Desember 1969, Gie tutup usia lantaran menghirup gas beracun.

Dia meninggal bersama sang kawan, Idhan Dhanvantri Lubis di Mahameru atau Puncak Gunung Semeru. Lalu ada 24 Desember 1969, ia dikubur di pemakaman Menteng Pulo dan dua hari kemudian dipindah ke Pekuburan Kober, Tanah Abang.

Pada tahun 1975, Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober dan jasad Gie pun terpaksa dipindah kembali. Sempat ada penolakan dari pihak keluarga, namun teman-temannya ingat permintaan Gie yang ingin dibakar dan abunya ditebar di gunung.

Berdasar amanat tersebut, akhirnya pihak keluarga menyepakatinya. Gie pun dikremasi dan abunya disebar di Puncak Gunung Pangrango.

Sony Kusumo

***