Kalau UUD 1945 saja boleh diamandemen, masak UU KPK tidak boleh direvisi. Toh keberadaan KPK bersifat ad-hoc atau untuk tujuan tertentu.
Masyarakat terbelah menjadi dua dalam menyikapi terpilihnya lima pimpinan KPK yang baru dan revisi UU KPK. Ada yang setuju dengan revisi UU KPK dan ada yang tidak setuju. Bahkan mereka saling berhadap-hadapan saling adu argumen dan saling tuduh.
Seolah-olah hitam dan putih. Yang setuju dengan revisi UU KPK dituduh sebagai pro atau pembela koruptor. Dan pendukung revisi UU KPK disimbulkan warna hitam. Sedangkan yang tidak setuju dengan revisi UU KPK dianggap orang-orang yang anti korupsi dan orang bersih, suci tanpa noda. Dan disimbulkan warna putih.
Padahal yang sebenarnya terjadi tidak begitu. Orang-orang yang setuju dengan revisi UU KPK bukan berarti pendukung atau pembela koruptor. KPK harusnya juga jangan anti kritik. Dan setiap kritik kepada KPK jangan dinarasikan melemahkan dan membela koruptor.
Kalau UUD 1945 saja boleh diamandemen, masak UU KPK tidak boleh direvisi. Toh keberadaan KPK bersifat ad-hoc atau untuk tujuan tertentu.
Seolah-olah KPK tidak mau diawasi sebagai check and balance atau saling mengontrol dan sebagai keseimbangan dalam kekuasaan. Mereka merasa bisa mengatur dirinya sendiri tanpa peran dari pihak lain. Mereka merasa tidak perlu dewan pengawas karena secara sistem sudah saling mengawasi. Itu kata mantan ketua KPK Abraham Samad.
Mengapa KPK begitu alergi dengan revesi UU KPK dan seolah-olah kalau melakukan revisi dianggap tidak anti terhadap korupsi dan dianggap pro koruptor?
Bagaimana bisa seorang penyidik Novel Baswedan menuduh Presiden Jokowi berutang budi dengan koruptor kalau setuju dengan revisi UU KPK. Hanya karena setuju revisi UU KPK langsung menuduh dan memberi stigma berutang budi kepada koruptor.
Siapakah sebenarnya yang berhutang budi; Presiden Jokowi atau Novel Baswedan? Novel Baswedan-lah yang seharusnya berutang budi kepada presiden Jokowi!
Baca Juga: Siapa Mafia Hitam dan Orang Besar di Balik Kasus Novel?
Sejak mata Novel Baswedan disiram air keras, pengobatan yang dijamin oleh KPK tidak cukup karena membutuhkan biaya yang sangat besar. Apalagi ia hanya seorang pegawai yang fasilitas pengobatannya terbatas dan tergantung jabatannya. Akhirnya pimpinan KPK mengajukan biaya pengobatan kepada presiden. Dan presiden setuju dan menaggung biaya pengobatan mata Novel baswedan.
Dibawalah ke rumah sakit Singapura. Novel Baswedan sendiri pernah mengucapkan terima kasih kepada Presiden karena sudah dibantu biaya pengobatannya.
Lha ko sekarang tidak tahu terimakasih dan menuduh presiden Jokowi hutang budi dengan koruptor-hanya gara-gara presiden setuju revisi UU KPK.
Novel, kamulah yang berutang budi dengan Presiden Jokowi. Seorang penyidik sudah berani melakukan tuduhan kepada presiden. Harusnya, seorang penyidik itu bekerja dalam senyap. Bukan malah seperti LSM atau politisi.
Kadang-kadang ada sesuatu yang aneh. Menuduh DPR brengsek dan pro koruptor. Padahal lima pimpinan KPK yang sekarang yang dianggap berhasil dan bersih tanpa cela adalah yang pilihan anggota DPR komisi III. Artinya,DPR yang dinggap brengsek dan pro koruptor masih bisa memilih lima pimpinan KPK yang bersih.
Dan anggota DPR komisi III yang memilih lima pimpinan KPK yang baru dengan ketua Firli Bahuri adalah anggota DPR komisi III yang sama yang memilih lima pimpinan KPK dengan ketua Agus Rahardjo.
Berlaku adilah. Beri kesempatan lima pimpinan KPK yang untuk membuktikan kinerjanya. Toh dulu lima pimpinan KPK dengan ketua Agus Rahardjo juga sempat diragukan kinerjanya diawal-awal terpilihnya mereka.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews