Darwinisme Kuasa dalam Demokrasi

Dalam kacamata historis tadi, Darwinisme kekuasaan semacam itu akan terus berdinamika, bergerak estafet, dan beregenerasi.

Minggu, 2 Juni 2019 | 14:19 WIB
0
464
Darwinisme Kuasa dalam Demokrasi
Ilustrasi kerusuhan (Foto: Kompas.com)

Demokrasi pascareformasi memang lahir atas asumsi kecurangan kekuasaan. Ada begitu banyak tuduhan yang dilontarkan ke batang hidung penguasa Orde Baru ketika itu.

Namun, toh setelah Soeharto tak lagi jadi presiden, tak ada yang mampu membawanya ke penjara atas berbagai asumsi tuduhan yang dialamatkan kepadanya jauh hari sebelum reformasi dan jauh hari setelahnya.

Tokoh-tokoh yang membesarkan namanya dengan pernak-pernik reformasi tampaknya hanya mengincar apa yang dinikmati oleh Soeharto dan kroni-kroninya dengan jurus-jurus antibranding.

Mereka selalu menjual keburukan Orde Baru untuk melegitimasi posisi yang mereka duduki dan pelan-pelan menjiplak cara-cara Soeharto dalam mereaksi berbagai hal yang muncul.

Nyatanya, memang begitulah logika di balik proses transisi dari satu kekuasaan menuju kekuasaan lainnya.

Perbedaan mencolok hanya terdapat pada cara yang digunakan. Ketika ditumbangkan, Soeharto belum lama memgumumkan kemenangannya atas Pemilu 1997. Artinya, cara pergantian rezim yang diambil oleh publik adalah dengan "kengototan massal" yang inkonstitusional.

Ditambah lagi dengan ekonomi yang mulai memperlihatkan gejolak negatif, antipati publik yang mulai masif, pun oportunisme elite-elite yang mulai goyang keyakinannya terhadap penguasa kala itu.

Jadi, perpaduan antara "pertunjukan masif" dari antipati publik dan "pengkhianatan" elite pendukung Orde Baru menjadi awal dari runtuhnya rezim Soeharto.

Terlepas dari puja-puji kita kepada Bacharuddin Jusuf Habibie atau Wiranto, misalnya, keduanya jelas-jelas adalah bagian aktif dari Orde Baru.

Begitu pula dengan Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyono, yang memang sudah menikmati posisi lumayan strategis ketika itu.

Adapun Megawati Soekarnoputri cs adalah bagian pasif yang menjadi "korban" politik rezim karena dianggap sebagai bagian terdekat dari rezim pendahulu Orde Baru.

Baca Juga: Ketika Demokrasi Dirudapaksa

Berbagai rekayasa politik sudah barang tentu pernah diujicobakan kepada gerbong Megawati, terutama di saat ia mulai ikut berpolitik. Memang begitulah kekuasaan berlaku di sini.

Jadi takala penguasa hari ini dicurigai macam-macam oleh banyak pihak yang kurang mendukungnya, maka secara "historis" dan secara logika politik, aroma kebenarannya masih bisa diterima oleh hidung kita.

Mengapa demikian? Karena memang begitulah kekuasaan berlaku.

Bukankah demokrasi terpimpin ataupun demokrasi Orde Baru pada mulanya dianggap sebagai solusi, lalu pada akhirnya dianggap sebagai masalah?

Adagium standar mengatakan bahwa power tends to corrupt and absolut power tends to corrupt absolutely.

Korup yang dimaksud tentu bukan hanya soal "memakan" uang yang bukan haknya, tetapi menggunakan kekuasaan di luar batas-batas yang seharusnya.

Jadi apa pun rumusnya, watak dasar kekuasaan memang seperti itu.

Demokrasi mencoba menyiasatinya dengan membagi atau memisahkan beberapa jenis kekuasaan, sehingga terdapat mekanisme check and balances di antara cabang-cabang kekuasaan tersebut.

Kendati demikian, demokrasi tidak akan mampu mengubah "watak dari kekuasaan". Demokrasi hanya instrumen yang bisa digunakan untuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan, dalam batas-batas yang mampu dilakukan oleh tatanan sosial politik yang ada.

Di saat yang sama, cabang-cabang yang seharusnya memang mempunyai wewenang untuk membatasi itu sebenarnya juga memiliki kekuasaan.

Dengan mudah bisa kita bayangkan, bagaimana jika semua cabang-cabang kekuasaan itu, atau sebagian besar cabang-cabang kekuasaan itu, bersepakat untuk saling menyelamatkan watak kekuasaan yang mereka miliki?

Yang terjadi kemudian adalah munculnya "kuncian-kuncian" kekuasaan yang membuat "watak dasar kekuasaan" dari masing-masing aktor ataupun institusi tetap bisa eksis tanpa harus mengorbankan proses demokrasi.

Yang dibutuhkan hanyalah sedikit basa-basi, prasyarat-prasyarat minimal, tekanan-tekanan negatif, yang kemudian melegitimasi penguasa-penguasa untuk bermain kayu dengan kekuasaannya.

Watak yang demikian bukan hanya milik kekuasaan formal. Cara-cara nakal yang dilakukan penantang kekuasaan formal, bukan tidak mungkin, adalah refleksi dari reaksi atas perilaku dan sikap kekuasaan formal terhadap mereka selama ini.

Dalam kacamata historis tadi, Darwinisme kekuasaan semacam itu akan terus berdinamika, bergerak estafet, dan beregenerasi. Tak terkecuali, kekuasaan presiden hari ini berikut dengan semua elemen pendukungnya juga berada dalam pusaran logika sejarah yang demikian.

Maka dalam konteks inilah, publik harus pandai-pandai mencari celah terbaik agar kehidupan dan kepentingan orang banyak tetap mendapat porsi keberpihakan yang lebih dalam setiap keputusan yang ditelurkan di rumah-rumah kekuasaan, meskipun rasanya akan sangat sulit.

***