Pemilu yang Damai Demi Kejayaan Bangsa

Minggu, 24 Februari 2019 | 10:00 WIB
1
420
Pemilu yang Damai Demi Kejayaan Bangsa
30 Blogger Mendeklarasikan Penulis Pemilu Damai


Tanggal 17 April 2019 besok bangsa Indonesia akan menggelar Pemilihan Presiden dan Wakil Rakyat. Pemilu yang dilakukan secara serentak itu menjadi ajang pesta lima tahunan. Bahkan keriuhan itu terjadi setahun sebelum Pemilu digelar.

Seluruh rakyat sangat antusias menantikan gelaran Pemilu tanpa kecuali. Gaung tentang Pemilu hampir terdengar di seluruh pelosok Nusantara. Sepanjang ingatan saya, baru dua kali Pemilu ini yang memang agak ramai.

Sedikit amat disayangkan keramaian Pemilu nyaris ke arah perpecahan. Buktinya, Pemilu tahun 2014 lalu meninggalkan bekas yang buruk yaitu munculnya dua kubu dengan sebutan nama hewan.

Padahal, harapannya setelah Pemilu selesai dan Presiden terpilih disahkan maka semua rakyat bersatu. Bersatu untuk melanjutkan kerja dan aktivitas yang sempet tertunda beberapa waktu karena Pemilu. Seluruh rakyat pemilih harus bahu membahu, bergandeng tangan melanjutkan pembangunan negri ini.

Tapi nyatanya, semua itu tidak mudah untuk direalisasikan. Meskipun semua tidak dapat dilihat dengan kasat mata, tapi saya merasakan. Setelah Pemilu berlalu nampak kedua kubu bukannya bersatu malah semakin berjarak.

Dan kini, setelah empat tahun berlalu kedua kubu itu kembali memperlebar jarak. Hal ini sangat nyata di media sosial, media yang seharusnya bisa digunakan sebagai wadah kampanye malah jadi ajang pertempuran.

Senjata yang digunakan memang bukan senjata api atau senjata tajam tapi lebih dahsyat dari itu. Kata-kata yang tertulis di laman media sosial mampu menembus jantung bagi pengikutnya. Miris? Memang, sangat miris malah.

Saya sendiri merasa sulit agar semua bisa menahan diri agar tidak saling menyerang. Padahal media sosial bisa digunakan sebagai ajang diskusi mengenai program, kinerja atau visi misi para calon. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, saling hina dan caci maki antar kubu.

Terkadang timbul rasa malas untuk berinteraksi di media sosial segala plafond, mulai dari facebook, Instagram atau Twitter. Akan tetapi kita juga tidak bisa membiarkan semua itu terjadi. Harus ada yang mau berbuat dan bergerak untuk mengatasinya.

Tentu saja, langkah yang akan dijalankan semata-mata demi kejayaan Bangsa Indonesia. Bangsa yang sudah memberikan tumpangan hidup dan menjalani kehidupan. Bangsa yang terkenal karena multikulturalnya ini harus terus dirawat dan dijaga.

Nah, ternyata apa yang saya pikirkan terjawab juga. Tanggal 17 Februari lalu sebuah platfond media online berbasis politik mengadakan acara gathering bertajuk “Deklarasi Pemilu Damai”. Adalah PepNews, sebuah media online berbasis politik tergerak untuk menggelar acara tersebut.

Adapun dasar dari digelarnya acara ini, semata-mata ingin merawat persatuan dan perdamaian. Menurut Pepih Nugraha, founder dari PepNews mengatakan,”Bahwa pemilu damai itu menjadi tugas semua rakyat Indonesia. Jadi nggak salah kalau kita juga ikut membantu aparat mewujudkan pemilu damai.

Acara yang diadakan di hotel Santika Premier, Jakarta itu juga menghadirkan dua pembicara lain yaitu Zulfikar Akbar dan Eli Salomoh. Seperti diketahui, Zulfikar Akbar pernah terlibat kasus persekusi di internet karena kritik yang disampaikan kepada Ustad Abdul Somad tahun 2017 lalu.

Namun, pada hari itu ia memberikan pendapatnya tentang Freedom of Speech. Menurutnya, saat ini kebebasan pendapat sudah jauh melenceng dari batas normalnya. Banyak pengguna internet yang melanggar batasan-batasan itu.

Saya sendiri merasakan hal itu, banyak status yang isinya berupa ujaran kebencian, perkataan kotor, menghasut dan lainnya. Bagi saya, membaca status di media sosial seperti membaca buku komik kelas rendahan.

Dan paling menyedihkan, bahwa status kebencian itu berasal dari teman-teman yang saya kenal. Kalau mereka tidak menulis, mereka ikut membagikan status yang konotasinya negative.

Menurut saya pribadi, ada baiknya sebelum men-share harus dibaca berulang-ulang. Apakah kalimatnya itu baik atau tidak, menyakitkan atau tidak. Padahal sebagai manusia kita semua tahu, bahwa setiap perkataan dan perbuatan akan dipertanggungjawabakan pada Allah SWT.

Adapun inti pemaparan Zulfikar Akbar yang dapat saya tangkap adalah bahwa boleh saja menyampaikan pendapat tapi jangan melanggar batas-batas norma dan etika. Tanpa kita tahu soal undang-undang pun seharusnya kita sudah bisa menyaring baik dan buruk perkataan.

Pada sesi terakhir, Eli Salomo yang seorang aktivis 98 memaparkan tentang perjalanan demokrasi bangsa Indonesia. Tentu saja demokrasi yang ia maksud pasca terjadinya Tragedi Mei 98. Menurutnya, sia-sia saja demokrasi yang diperjuangkan oleh para mahasiswa pada waktu itu jika sekarang ini kaum milenial memilih perpecahan. P

erpecahan yang merupakan dampak dari terciptanya, pemilu tidak damai. Bahkan, jika kita throwback ke masa perjuangan meraih kemerdekaan akan lebih menyedihkan lagi. Betapa tidak, para pejuang dengan mati-matian merebut Negara ini dari kaum penjajah tapi sekarang dihancurkan dalam sekejap saja.

Makin miris bahwa kehancuran itu hanya disebabkan oleh kondisi politik ketika pemilu damai tidak tercipta. Rasanya, sekarang inilah waktu yang tepat agar baying-bayang kehancuran dapat sirna dari bumi pertiwi.

Sedangkan Pepih Nugraha, yang akrab disapa Kang Pepih memberikan clue-clue tentang kepenulisan. Acara yang dihadiri oleh blogger, media dan wartawan itu diharapkan dapat mengkampanyekan Pemilu Damai dengan nuansa berbeda. Harapan Kang Pepih, kampanye pemilu damai yang ditulis dalam blog atau kanal media online menyebarkan berita positif.

Berita yang disampaikan bisa lebih pada pendapat pribadi penulis atau blogger. Apa yang dirasakan ketika melihat maraknya status-status tentang kondisi pemilu yang akan digelar April 2019 nanti. Tulisan harus mengalir sesuai dengan kondisi yang sedang terjadi. Dengan begitu, para pembaca tidak merasai digurui jika beda pendapat tapi tepat sasaran.

Sebagai orang yang sudah malang melintang di dunia kata-kata, ia masih merasakan kekuatan penulis. Baginya, seorang penulis bisa menjadi pahlawan tapi juga sebaliknya bisa menjadi pecundang. Pesannya, bahwa tulisan yang akan diposting di media sosial nanti berdampak pada kondisi baik.

Ia meyakini, sekeji apapun seseorang pasti memiliki sisi kebaikan. Tak dapat dipungkiri, jika kondisi prapemilu sekarang ini cukup mengkhawatirkan. Tapi bukan berarti tidak bisa dipulihkan dengan ribuan kata-kata yang baik. Siapa sih yang tidak menginginkan nuansa damai? Jawabnya, semua orang pasti mengingankannya.

Thanks.

***