Cerita tentang Ulama yang Jadi Cebong

Said Aqil Siradj berharap akan muncul kedamaian di mana para ulama, kiai dan habaib bergandengan tangan demi menciptakan persatuan umat.

Sabtu, 4 Mei 2019 | 18:05 WIB
0
830
Cerita tentang Ulama yang Jadi Cebong
Pertemuan ulama (Foto: Kompas.com)

Kalau saja kalimat ini diucapkan oleh orang biasa, hampir pasti orang tersebut akan dituding sebagai penista ulama. Untungnya kalimat itu meluncur dari ulama senior Slamet Maarif, tentang Ulama yang Jadi Cebong.

Terkaget-kaget juga hati ini mendengar istilah baru “ulama dan tokoh yang jadi cebong”. Dan kata itu diucapkan pekan lalu oleh seorang ulama senior dalam jumpa pers tentang siapa saja yang akan diundang untuk menghadiri pertemuan para ulama, Ijtima Ulama III - yang digelar di Hotel Lorin Sentul, hotel bertaraf internasional milik Tommy Soeharto- pada Rabu, 1 Mei 2019.

“Semua yang (dulu) diundang di Ijtima Ulama I dan II akan kami undang, kecuali ulama dan tokoh yang sudah menjadi cebong tidak akan kami undang,” ujar Slamet Maarif, Ketua Organizing Commitee Ijtima Ulama menegaskan hal itu, dalam jumpa pers di Resto Hayam Wuruk Tebet, Jakarta, Senin (29/4) silam. Kalimat Slamet Maarif ini menjadi judul berbagai berita pada hari jumpa pers di Tebet, pekan lalu itu.

Istilah cebong merupakan sebutan untuk para pendukung paslon 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang diberikan oleh pendukung paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno. Sementara pendukung Prabowo-Sandi disebut kampret oleh pendukung Jokowi-Ma’ruf.

Percaturan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pilpres 2019 setidaknya selama delapan bulan terakhir sejak awal Kampanye Oktober 2018 sampai hari coblosan pada 17 April 2019, sangat hiruk-pikuk diharu-biru pertarungan di dunia maya antara kelompok yang menyebut lawannya “dasar cebong otaknya sekolam!” dan “dasar kampret otaknya terbalik!”. 

Seru sekali. Sampai-sampai cebong dan kampret melekat di sembarang predikat. Ada artis cebong, ada emak-emak kampret. Bupati Cebong, Gubernur (Gabener) Kampret. Musisi Cebong, Seniman Kampret dan kemana saja cebong dan kampret bisa dilekatkan.

Kupikir hiruk pikuk ini sebatas masa kampanye, sampai hari coblosan 17 April, habis perkara. Eh, ternyata ketegangan kembali dilanjut pasca coblosan, pada saat orang pada tegang menunggu hari kritis pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) 22 April. Pengumuman tentang siapa yang mendapat suara rakyat terbanyak dalam coblosan, dan akan menjadi Presiden Republik Indonesia 2019-2014,  setelah resmi dilantik Oktober 2019.

Dan tidak tanggung-tanggung, predikat Cebong itu kali ini dilekatkan pada derajat terhormat... ulama.

Ya sudah. Karena ini soal percaturan ulama, diucapkan oleh ulama pula, maka biarlah kaum ulama yang menyelesaikan persoalan sebutan “Ulama yang Jadi Cebong” yang muncul menjelang Ijtima ulama di hotel Lorin milik anak keluarga Soeharto, Presiden RI ke-2, di Sentul, Bogor 1 Mei lalu itu.

Gara-gara ucapan Slamet Maarif itu, publik Pilpres Indonesia membelalakkan mata ke Sentul, siapa saja sih “ulama-ulama yang bukan cebong” yang menghadiri Ijtima 1 Mei 2019 itu.  Atau, pikiran orang lalu menggerayang, siapa ya ulama-ulama dimaksud “yang jadi cebong” seperti kata Slamet Maarif?

Tidak berani saya membahas siapa saja “ulama yang jadi cebong” yang kini bergabung dengan pihak paslon Capres Cawapres, Joko Widodo-Ma’ruf Amin - yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) namun nonaktif selama mencawapres pada Pilpres 2019 kali ini.

Yang pasti, seruan Ijtima III Ulama di Hotel Lorin Sentul ini menuai reaksi meluas. Tidak hanya di kalangan para pendukung paslon Capres Cawapres 01 Jokowi-Ma’ruf Amin, akan tetapi juga di kalangan pengambil kebijakan di negeri ini, serta ulama-ulama senior lainnya di Tanah Air.

Tidak kurang dari Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pun merespon cukup keras Ijtima III di Sentul, yang menghasilkan lima rekomendasi, di antaranya Ijtima menyimpulkan bahwa “telah terjadi berbagai kecurangan dan kejahatan bersifat terstruktur, sistematis, dan massif dalam proses penyelenggaraan Pemilu 2019,” serta “Mendesak KPU dan Bawaslu untuk memutuskan membatalkan atau mendiskualifikasi pasangan calon Capres Cawapres 01.”

Haedar Nashir Ketum PP Muhammadiyah berpendapat, bahwa semestinya  “peran ulama itu merekatkan dan mempersatukan masyarakat”, ketika ditanya apa reaksinya terhadap rekomendasi Ijtima Ulama III di Sentul Bogor itu. Haedar mengungkapkan komentarnya itu usai acara tablig akbar menjelang Ramadan di Masjid AR Fachruddin, Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Kamis (2/5/2019) malam. (DetikNews, Jumat 3 Mei 2019).

“Ulama itu kan warosatul anbiya, dan dalam konteks Indonesia, ulama harus menjadi uswah hasanah sebagaimana Nabi..,” ungkap Haedar Nashir. Maksud dia, dalam berpolitik ya politik yang berkeadaban sekaligus konstitusional, kata Haedar Nashir pula.

“Jika ada kecurangan, selesaikan secara konstitusional. Tapi juga masyarakat perlu direkatkan dan dirajut,” katanya. Disitulah, kata Haedar,tugas ulama adalah menyatukan masyarakat dengan memberi nilai-nilai  yang bermakna dan kemudian menjadi uswah hasanah dalam berkehidupan umat, bangsa dan negara...,” kata Haedar Nashir pula. 

Masih hari Jumat yang sama. Lebih dari seribu ulama, kiai dan habaib dari beragam daerah se-Indonesia pun menghadari sebuah pertemuan ulama nasional yang disebut sebagai Multaqo, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Jumat (3/5/2019).

“Pemilu sudah selesai, mari kita percayakan hasilnya siapapun yang terpilih pada Komisi Pemilihan Umum (KPU),” kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj,” saat memberi sambutan dalam Multaqo seribuan ulama di Kartika Chandra tersebut.

Dalam pertemuan yang digagas ulama sepuh, KH Maimun Zubair ini, Kiai Said berharap akan muncul kedamaian. Semua ulama, kiai dan habaib harus bergandengan tangan demi menciptakan persatuan umat.

Sementara Ketua Ikatan Gus Gus Indonesia, IGGI, KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur) mengatakan, semestinya acara seperti ini (Multaqo), diadakan di setiap daerah guna menebar kedamaian dan mencegah provokasi menjelang pengumuman KPU pada 22 Mei 2019 mendatang.

Sedemikian parahkah perpecahan yang terjadi di tengah masyarakat, setelah hari coblosan Pilpres 2019 dan Pemilu Legislatif 17 April itu? Bagi pendukung kedua paslon Capres Cawapres, ya. Cukup parah. Apalagi, hari-hari ini Indonesia serasa dipimpin oleh dua orang Presiden.

Yang satu, Presiden Kertanegara (dideklarasikan Prabowo Subianto di depan halaman rumahnya di Jalan Kertanegara Kebayoran Baru Jakarta Selatan, Kamis 18 April 2019) yang mengklaim memenangi Pilpres kali ini menurut hitungan internal BPN Prabowo-Sandi atas formulir C1 nasional yang mengunjuk kemenangan 62 persen atas Jokowi-Ma’ruf Amin. Prabowo juga menyatakan bahwa dirinya dan Sandiaga Uno, sudah dan akan jadi Presiden dari seluruh rakyat Indonesia.

Di lain pihak, saat ini Indonesia masih resmi memiliki Presiden Petahana Joko Widodo, yang mencalonkan diri kembali jadi Capres untuk periode kedua. Dan sampai saat ini ia masih menjabat Presiden, sampai ditetapkannya Presiden baru Indonesia yang dilantik Oktober 2019 nanti.

Rakyat saat ini seolah terbelah. Lantaran kubu pendukung 02 di berbagai tempat atau provinsi kemenangan, menyambut Prabowo Subianto seolah sudah jadi Presiden. Pekikan Prabowo Presiden membahana dalam beberapa pertemuan akbar, di antaranya di Surabaya dan di Aceh pada Jumat 3 Mei kemaren.

Belum lagi pada pertemuan ulama, Ijtima Ulama III di Hotel Lorin Sentul, yang merekomendasikan agar KPU dan Bawaslu mendiskualifikasi paslon 01 JokoWidowo-Ma’ruf Amin, karena menurut mereka Pilpres diwarnai kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif. Di depan massa hari buruh 1 Mei di Lapangan Tenis Tertutup Senayan pun, pekik “Prabowo presiden membahana di tribun...”

Hari Jumat (3/5) yang panas itu juga, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo –Sandiaga melaporkan KPU dan lembaga survei yang merilis Quick Count (hitung cepat Pilpres dan Pileg yang ditayangkan di televisi nasional), atas tuduhan pelanggaran adminstrasi, kata Direktur Advokasi dan Hukum BPN, Sufmi Dasco Ahmad, kepada pers di Bawaslu Jalan MH Thamrin, Jumat (3/5/2019). Dasco Ahmad mendesak Bawaslu untuk membentuk Dewan Etik guna menindak lanjuti laporan BPN. Untuk mendiskualifikasi paslon Capres Cawapres 01 tentunya.

Apa reaksi Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas ontran-ontran pertentangan pendapat pasca coblosan Pilpres ini?

“MUI meminta setiap pihak menghormati lembaga negara dan tidak mendelegitimasinya, seiring perkembangan sosial kemasyarakatan pasca Pemilu yang mengkawatirkan,” kata Asrorun Niam Sholeh, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Jumat (3/4/2010).

“Lembaga negara yang diberi tugas dan kewenangan oleh konstitusi hendaknya dihormati,” kata Asrorun Niam Sholeh, “Rapat Pleno Komisi Fatwa MUI juga menyerukan, mempercayakan kepada lembaga yang memiliki kewenangan dan kompetensi untuk menjalankan tugas secara baik terkait dengan proses Pemilu hingga tuntas..,” kata Niam pula, dalam siaran persnya hari Jumat itu pula.

Sebelumnya, masyarakat juga dirisaukan dengan seruah pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab, yang mendesak agar kepesertaan Capres dan Cawapres nomor urut 01, Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 didiskualifikasi.

Sebagai gantinya, kata Rizieq dalam rekaman video yang diunggah channel YouTube, Front TV pada 29 Maret 2019 (diputar ulang dalam acara Ijtima Ulama III di Hotel Lorin, Sentul Bogor pada 1 Mei 2019), Capres Cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno harus dinyatakan KPU sebagai pemenang pilpres, “tak peduli berapa pun suara pemilih diperolehnya,” kata Rizieq dalam video tersebut. Rizieq, yang tinggal di Arab Saudi sejak 2017 itu juga menyerukan, “Kepung KPU, Kepung Bawaslu! Demi mengawal suara,” katanya.

Apa reaksi KPU dan Bawaslu akan seruan dari kubu paslon Capres 02 ini? KPU mengatakan tak gentar akan desakan (ancaman) tersebut.

“Jangan menekan-nekan KPU karena KPU tidak bisa ditekan siapa pun. KPU juga tidak akan tunduk kepada pihak manapun. KPU tidak tunduk pada 01, tidak tunduk pada 02, kami tunduk pada undang-undang,” kata Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, Kamis (2/4).

“Soal Kecurangan pun harus dibuktikan lewat mekanisme hukum yang berlaku,” kata Wahyu Setiawan, “Jadi laporkan saja ke Bawaslu jika ada kecurangan. Tidak bisa kemudian, dugaan kecurangan itu hanya klaim sepihak. Ada aturannya...,” tegasnya. (MediaIndonesia.com).

Tentang Maklumat Mekkah, berupa rekaman video yang direkam Rizieq Shihab di Mekkah yang ramai digunjing masyarakat politik Indonesia (ditayangkan Front TV), menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Romli Atmasasmita, bisa dimasukkan sebagai tindak pidana.

“Maklumat Mekkah Habib Rizieq yang mengajak pendukung dan simpatisan Paslon 02 untuk menduduki KPU jauh sebelum hasil hitungan KPU diumumkan, merupakan hasutan dan ancaman untuk melakukan tindak pidana dan pelanggaran sistem demokrasi, Pancasila dan UUD ’45,” kata Prof Romli, dalam wawancaranya dengan SindoNews, Selasa (30/3/2019).

Bagi para pemilih Pilpres, pengalaman yang menggelisahkan pasca coblosan ini adalah ulangan kegelisahan yang terjadi lima tahun lalu. Pada Pilpres 2014 silam, pasangan nomor urut 01 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa juga menggugat KPU dan Bawaslu bahwa telah terjadi kecurangan massif, dan mendesak agar paslon 02 Joko Widodo – Jusuf Kalla, didiskualifikasi.

Baca Juga: Multaqo Ulama dan Habaib Menolak Provokasi Inkonstitusional

Dan tidak berhenti sampai desakan. Kubu 01 Prabowo-Hatta Rajasa juga meneruskan gugatan akan dugaan kecurangan yang dilakukan kubu Jokowi-Jusuf Kalla sampai ke Mahkamah Konstitusi. Yang dimenangkan oleh pihak Joko Widodo dan Jusuf Kalla, tentunya.

Nah, apakah akan kembali terulang seperti lima tahun lalu? Belajar dari kekalahan lima tahun lalu, nampak kubu Prabowo Subianto yang kini berpasangan dengan pengusaha kaya, Sandiaga Salahudin Uno, tidak akan mengalah begitu saja. Selain kesempatan kali ini adalah “It’s now or never..,” juga, lantaran gerbong di belakang Prabowo, ada berbagai kepentingan yang kuat mengemuka.

Gerbong yang lantang bersuara sebelum Pilpres, namun setelah Pilpres diam, adalah kelompok “2019GantiPresiden” yang dimotori pemimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera dengan figur terdepan seniman Neno Warisman, Ahmad Dhani dan kawan-kawan. Di samping juga, berbagai kepentingan lain, di antaranya adalah keluarga mantan Presiden Soeharto, dengan Partai Berkarya pimpinan Hutomo Mandala Putra (Tommy) Soeharto, Titik Prabowo bersaudara.

“Per 13 April saya sudah mengharamkan diri tidak boleh lagi teriak ganti presiden. Sudah selesai. Kenapa? Karena hari itu sudah hari terakhir kampanye,” kata Mardani Ali Sera, “Sudah tutup buku setelah pelaksanaan Pemilu 2019 berakhir,” katanya.

“Kalau sekarang (tinggal menunggu pengumuman KPU), apalagi? Sudah selesai kompetisinya. Kita kembali normal. Ganti Presiden sudah tutup buku...,” kata Mardani pula. Tinggal menunggu, siapapun presiden yang terpilih nanti.

Nah. Berbeda dengan kubu Gerindra dengan dua Capres Cawapresnya. Maka Partai Keadilan Sejahtera, justru meraih sukses versi Quick Count lembaga Survei maupun Real Count KPU.

“Alhamdullillah patut kami syukuri bahwa di tahun politik 2019, PKS mendapatkan penambahan (jumlah kursi) yang signifikan,” kata Ketua DPW PKS Jawa Barat, dalam sebuah acara di Jalan Soekarno Hatta, Bandung, Jumat (3/5) kemaren. Selain memimpin di beberapa DPRD provinsi, juga di Jawa Barat kenaikan PKS terlihat signifikan. Di raihan suara nasional pun meski kemungkinan disalip Gerindra, PKS diperkirakan naik lebih 2 persen jika dibandingkan dengan Pemilu 2014 yang hanya  6.79 persen.

Soal gunjang-ganjing Prabowo Subianto-Sandiaga Uno vs Joko Widodo – Ma’ruf Amin yang nampaknya masih akan panjang berlangsung, PKS sepertinya tenang-tenang saja. Tak bersuara lantang. Tunggu saja KPU nanti.

Didiskualifikasi, atau tidak didiskualifikasi kah Jokowi-Ma’ruf? Marilah menghitung suara tokek. Atau silakan percaya saja, pada hitungan cepat, Quick Count 10 lembaga survei, serta Real Count KPU yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin dengan kisaran 56-57 persen. Yang pasti, Gerindra sudah tak sabar menunggu KPU nanti 22 April 2019.  Belum diumumkan pun, kubu 02 sudah punya Presiden Kertanegara.

***