Blunder Kampanye Akbar di GBK yang Tak Mampu Ditebus di Debat Capres

Dua blunder besar di depan publik dalam waktu seminggu menunjukkan dirinya tidak layak untuk memimpin bangsa yang besar seperti Indonesia.

Senin, 15 April 2019 | 08:21 WIB
0
586
Blunder Kampanye Akbar di GBK yang Tak Mampu Ditebus di Debat Capres
Pria mengenakan kacamata Prabowo-Sandiaga (Foto: Pikiran Rakyat)

Prabowo tampaknya sudah kehilangan akal sehat atau kehabisan energi pada debat capres/cawapres terakhir. Akibatnya, justru menambah keterpurukan dirinya. Lagi-lagi blunder besar dia tampilkan dalam debat capres/cawapres terakhir pada Pilpres 2019 ini. 

Padahal moment debat capres/cawapres merupakan kartu terakhir di depan rakyat Indonesia untuk menunjukkan dia layak menjadi Presiden RI.  Namun yang terjadi justru sebaliknya. Prabowo tidak layak menjadi presiden RI.

Baru sekitar seminggu dia melakukan blunder besar saat kampanye akbar di stadion Gelora Bung Karno (GBK). Dalam kampanye itu, Prabowo menampilkan keberpihakannya pada golongan tertentu yang berlawanan dengan semangat Kebhinekaan Tunggal Ika Indonesia. Ter;lihat dari peserta yang hadir dan berbagai atribut  di dalam dan luar stadion. 

Bahkan pak SBY secara terang-terangan melalui suratnya kepada elit demokrat menyatakan kampanye itu terlalu menonjolkan politik identitas, bersifat eksklusif pada golongan agama tertentu saja.

Selain itu, sikap Prabowo yang permisif terhadap para koruptor. Dia justru ingin bersekutu dengan koruptor atas nama "tobat" dengan cara memberi "pensiun" dari hasil  korupsi, sehingga mengundang reaksi dari KPK.

Blunder dalam Debat Capres Kelima

Sejatinya blunder kampanye akbar di GBK itu bisa dijadikan bahan evaluasi yang komprehensif sebagai bekal untuk lebih baik pada penampilan di debat capres/cawapres terakhir. Namun nyatanya, lagi-lagi Prabowo menunjukkan dirinya tidak mampu dan tidak layak menjadi Presiden RI. Ada tiga hal yang jadi blunder Prabowo.

Pertama, ketidakmampuan dia menguraikan secara jernih konsep ekonomi untuk membangun bangsa dan negara ini. Pihak Prabowo/Sandi tidak menguasai alur ekonomi makro dan mikro. Akibatnya, campur aduk permasalahan antara ekonomi makro dan mikro hanya berdasarkan keluhan "Ibu Nurjanah dan Ibu Mia". Sandi mengeneralisasi pengalaman kedua ibu tersebut sebagai kondisi agregat perekonomian.

Menanggapa hal itu, Jokowi sampai harus mengingatkan Prabowo/Sandi bahwa membuat kebijakan ekonomi makro, pemerintah harus melihat perekonomian secara menyeluruh dan komprehensif, tidak bisa berdasarkan keluhan orang per orang.

Mengelola ekonomi makro berbeda dengan mikro, karena makro agregat produksi dan sisi permintaan dan penawaran harus dijaga kebijakan pemerintah. Sementara kalau mikro hanya terkait jual dan beli.

Bila melihat latarbelakang pendidikan Sandi, tanpa penjelasan Jokowi sekalipun, tentu dia paham dan mengusai wawasan ekonomi makro dan mikro tersebut. Namun dia mengabaikan ilmunya untuk menekan Jokowi/Ma'ruf Amin dengan cara menampilkan drama keluhan Ibu Mia dan Ibu Nurjanah. Harapannya, publik tersentuh dan menyalahkan kebijakan Jokowi dalam hal ekonomi.

Dramatisasi keluhan Ibu Mia dan Ibu Nurjanah secara dangkal bisa diterima publik yang awam dengan masalah ekonomi. Efek drama tersebut, disatu sisi bisa menjatuhkan kredibilitas Jokowi, sementara di sisi lain Sandi telah melakukan pembodohan publik.

Prabowo/Sandi sendiri tidak punya konsep besar untuk memecahkan masalah makro-mikro ekonomi. Mereka berdua memakai ilmu "Pokokologi" yang memuat pokoknya harga ini turun, pokoknya harga itu turun.

Kelak, andai Prabowo/Sandi menang Pilpres dan berkuasa, justru akan menjadi bumerang bagi mereka. Lebih daripada itu, akan membuat perekonomian negara secara menjadi kacau. Bisa jadi, akan menempuh jalan pintas dsengan subsidi besar-besaran terhadap kebutuhan rakyat.

Uang negara "habis" untuk susbsidi dan menyenangkan hari rakyat. Tidak ada pembangunan untuk masa depan dalam bentuk investasi dengan segala perangkat dan persiapannya. Cara-cara seperti itu adalah cara Orde Baru yang menghabiskan uang untuk konsumsi semata. Itulah mengapa, negara kita tidak pernah bisa bersaing dengan negara lain di luar negeri. Berbagai parameter dalam bentuk indeks menunjukkan nilai yang tidak kompetitif untuk membangunkan perekonomian rakyat secara keseluruhan, dan kita kalah dalam persaingan global.

Lihat saja negara Venezuela yang perekonomiannya saat ini hancur. Pemimpinnya atas nama nasionalisme-patriotisme memberi kemanjaan subsisdi besar-besaran kepada rakyatnya. Akibatnya perekonomian negara hancur. Rakyatnya sengsara. Kita mengalami hal serupa hingga puncaknya tahun 1998 mengalami keterpurukan ekonomi. Ini jangan sampai terulang!

Kedua, pernyataan Prabowo yang menyebut bahwa orientasi ekonomi Indonesia dibawah pemerintahan Jokowi salah arah. Kemudian hal itu "diralat" Prabowo dengan mengatakan tak ingin menyalahkan Jokowi, melainkan menyalahkan presiden-presiden sebelumnya. Kata Prabowo :

 "Saya tidak menyalahkan Bapak. Ini kesalahan besar, kesalahan besar presiden-presiden sebelum Bapak. Kita semua harus bertanggung jawab. Bener, itu pendapat saya"

Pernyataan Prabowo tersebut membuat partai Demokrat tersinggung berat karena pak SBY selama 10 tahun berkuasa sebelum Jokowi. Demokrat yang merupakan rekan satu koalisi Prabowo/Sandi merasa tidak dihargai. Prabowo dianggap melecehkan pemeritahan SBY selama 10 tahun. Kontan saja hal itu membuat beberapa elit partai demokrat meninggalkan acara debat.

Persoalan kepemimpinan presiden terdahulu yang belum bisa memberikan hasil optimal dalam perekonomian bukanlah untuk dipersalahkan di ruang debat capres. Cara Prabowo mempersalahkan ini seolah melempar tanggungjawan dari ketidakmampuan pemerintahan masa kini andai dia berkuasa. Cara berpikir pemimpin seperti itu sulit untuk membuat kemajuan bagi bangsa, negara dan rakyatnya.

Jokowi selama ini telah bekerja keras memperbaiki dan meningkatkan perekonomian negara. Bisa jadi Jokowi mempelajari kebijakan presiden terdahulu menemukan banyak kesalahan, namun dia tidak pernah menyalahkan pemerintahan terdahulu karena hal itu sangat tidak etis. 

Jokowi lebih fokus memperbaiki, sekaligus menerapkan solusi meningkatkanperekonomian bangsa dan negara berdasarkan pemetaan tantangan masa kini dan masa depan. Ini cara berpikir Pemimpin yang Optimis dan Etis.

Dalam memberikan argumentasinya, Prabowo keceplosan menyalahkan presiden terdahulu. Dia tidak mampu mengendalikan emosi di dalam penyampaian pikirannya (argumentasi) sehingga logikanya melompat-lompat, tidak terstruktur, keluar dari topik utama, dan dangkal.

Dalam diri Prabowo sebenarnya mengakui berbagai keberhasilan pemerintahan Jokowi di berbagai bidang. Mustahil Prabowo tidak membaca berita yang valid dan mengetahui berbagai apresiasi lembaga dunia dan negara-negara tetangga terhadap kebangkitan ekonomi Indonesia dibawah kepemimpinan Jokowi.  

Bisa jadi, apa yang dicapai pemerintahan Jokowi saat ini adalah serupa impian Prabowo untuk menjadikan Indonesia Macan Asia. Saat ini, Indonesia sedang bertransformasi menjadi Macan Asia. Maka impian Prabowo itu tercapai, walau tidak dibawah kepemimpinannya. Don't worry, general...be happy. Negara ini milikmu jua....

Dua blunder besar Prabowo di depan publik dalam waktu seminggu telah menunjukkan dirinya tidak layak untuk memimpin bangsa yang besar seperti Indonesia. Bangsa yang kaya sumberdaya alam dan budaya. Bangsa yang memiliki wilayah satu dengan lainnya secara geografis relatif sulit, dari Sabang sampai Marauke. Dari Miangas sampai Rote.  

Untuk negara besar seperti Indonesia, butuh pemimpin yang bisa berpikir jernih, mau mendengar semua komponen bangsanya. Pemimpin yang paham ekonomi makro dan mikro. Pemimpin yang fokus bekerja, bukan sibuk mempermasalahkan presiden masa lalu.

Pemimpin seperti itu tidak ada dalam diri Prabowo, melainkan Jokowi.

***