Manajemen Reputasi PPP

Senin, 18 Maret 2019 | 23:21 WIB
0
472
Manajemen Reputasi PPP
Romahurmuziy (Foto: Media Indonesia)

Petaka kembali menerpa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akibat terciduknya Ketua Umum Romahurmuziy (Rommy) oleh KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) terkait dugaan kasus jual beli jabatan di kementerian agama. Kasus ini, sekonyong-konyong mengingatkan kita pada kasus korupsi Al-Quran oleh Surya Darma Ali ketika ia menjadi orang nomor satu PPP.

Tertangkapnya Rommy di Surabaya, 15 Maret kemarin, mengindikasikan masalah serius yang mesti diselesaikan PPP dalam waktu dekat ini karena akan berefek pada beberapa hal penting:

Pertama, elektabilitas PPP diperkirakan bakal merosot. Terlebih, di tengah elektabilitas yang belum jua beranjak dari dua koma. Dari 8 lembaga survei yang merilis hasil suvei pada September 2018 lalu, elektabilitas PPP masih cenderung di bawah 4 persen. Hal ini akan berpengaruh pada peluang PPP untuk menembus parliamentary threshold (PT) yang sudah ditetapkan 4 persen.

Kedua, memburuknya citra partai lantaran kembali diingatkan pada kasus korupsi yang juga pernah dilakukan ketum sebelum Rommy. Luka lama konstituen maupun simpatisan kembali menganga, padahal di era Rommy, citra partai sudah cukup membaik. Meskipun kini Rommy sudah dipecat dan digantikan Suharso Monoarfa Pelaksana Tugas, bukan berarti citra partai akan segera membaik sebab jabatan Rommy yang dulu ketum partai tetap memiliki efek domino bagi partai.

Masalah ini, menuntut para politisi PPP dan seluruh stakeholders untuk mengembangkan model komunikasi interaksional dan transaksional dengan cermat, tepat dan proporsional. Manajemen konflik harus dijalankan oleh PPP guna mengamankan reputasi partai yang kini tengah dianggap buruk.

Dalam perspektif teori informasi organisasi dari Karl Wieck dalam The Social Psychology of Organizing (1979), dikenal dua strategi komunikasi agar organisasi mampu mengurangi ketidakpastian terutama saat konflik seperti dialami PPP saat ini. Kedua hal tersebut adalah siklus perilaku komunikasi dan aturan bersama (Gun Gun Heryanto: Problematika Komunikasi Politik, 2018).

Siklus perilaku membutuhkan prosedur aksi (act), interaksi atau respons (interact), dan penyesuaian (adjustment). Siklus komunikasi ini memungkinkan para politisi yang bertikai atau sedang dalam masalah, melakukan klarifikasi terhadap hal-hal yang belum jelas yang tengah dipertanyakan publik.

Selain itu, dalam tahap menghadirkan aturan bersama menyagkut dua hal. Pertama, aturan durasi.Partai harus menyelesaikan masalah ini dalam waktu singkat. Meski langkah cepat sudah dilakukan dengan memecat Rommy, tapi PR berikutnya masih ada yakni efek domino dari kasus ini, seperti perkara elektabilitas yang kini mengkhawatirkan dan mungkin saja akan memburuk lagi pasca OTT Rommy.

kedua, aturan keberhasilan. Biasanya menggunakan rujukan proses komunikasi di masa lalu yang terbukti efektif dalam mengurangi ketidakpastian informasi.

Gonjang-ganjing informasi yang berseliweran ini juga perlu dipantau, jangan sampai ada kelompok lain yang menunggangi kasus ini sekaligus adanya upaya pembusukan citra partai.

***