Memandang Omnibus Law Sebagai Solusi Penyederhanaan Regulasi

Banyaknya pasal yang termuat di dalam undang-undang yang menggunakan teknik omnibus law dikhawatirkan akan mengurangi kecermatan pembentuk undang-undang

Selasa, 21 Juli 2020 | 06:45 WIB
0
3518
Memandang Omnibus Law Sebagai Solusi Penyederhanaan Regulasi
Ilustrasi UMKM (Foto: kemenkeu.go.id)

Belakangan ini, istilah omnibus law menjadi sangat populer di Indonesia. Hal itu bermula dari RUU Cipta Kerja inisiatif pemerintah yang menggunakan omnibus law sebagai teknik pembentukannya. Kepopulerannya ditengah masyarakat sebenarnya dipicu oleh polemik materi muatan RUU Cipta Kerja yang dinilai tidak adil bagi kalangan pekerja dan proses pembentukan yang tidak mengikutsertakan masyarakat yang terdampak. Padahal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat menjadi sangat penting sebagaimana diatur dalam pasal 96 UU No.12 Tahun 2011.

Dalam tulisan ini, saya mau menekankan bahwa saya tidak membahas polemik RUU Cipta Kerja tetapi mengupas omnibus law sebagai teknik pembentukan undang-undang. Kemudian saya juga membahas permasalahan regulasi yang ada di Indonesia, khususnya masalah obesitas regulasi yang tengah terjadi. Akhirnya tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan, apakah omnibus law dapat menjadi solusi bagi obesitas regulasi di Indonesia.

Memahami Omnibus Law

Seperti yang saya katakan diatas bahwa omnibus law merupakan teknik pembentukan undang-undang. Teknik ini biasa digunakan di negara-negara yang menganut tradisi sistem hukum common law seperti Amerika Serikat. Dengan membentuk undang-undang menggunakan teknik omnibus law, memungkinkan satu RUU secara terpadu berisi perubahan dan penggantian undang-undang sekaligus dalam satu kesempatan. Selain itu dengan teknik ini satu undang-undang bisa membahas lintas sektor dan tidak terpaku pada judulnya.

Ini tentu berbeda dengan teknik pembentukan undang-undang secara konvensional yang biasa digunakan di negara-negara yang menganut tradisi sistem hukum civil law, seperti negara Indonesia. Dengan teknik konvensional, materi muatan undang-undang hanya membahas satu tema dan satu sektor sesuai dengan judulnya. Sementara untuk merubah dan mengganti banyak undang-undang harus dilakukan dengan merubah dan menggantinya satu persatu yang akan memakan waktu yang sangat lama.

Meskipun omnibus law biasa digunakan di negara yang menganut tradisi sistem hukum common law, akan tetapi bukan berarti teknik ini tidak bisa dan terlarang untuk diadopsi di negara yang menganut tradisi sistem hukum civil law. Penggunaan omnibus law di negara yang menganut tradisi sistem hukum civil law adalah negara Vietnam. Omnibus law digunakan ketika membentuk Law Amending and Supplementing a Number of Articles of the Law on Value-Added Tax, Law on Excise Tax and the Law on Tax Administration.

Bila ditimbang manfaat dan kelemahan dari penerapan omnibus law, kedua sisi memiliki poinnya masing-masing. Dari sisi manfaatnya adalah menghemat waktu dan tenaga dalam pembentukan undang-undang, baik pembentukan undang-undang baru ataupun perubahan dan penggantian banyak undang-undang. Sedangkan kelemahannya adalah karena undang-undang ini memuat banyak topik yang beragam maka akan mengurangi ketelitian dalam proses pembuatannya.

Obesitas Regulasi

Ada banyak masalah regulasi yang tengah dihadapi Indonesia saat ini. Masalah tersebut misalnya obesitas regulasi, regulasi yang tumpang tindih, materi muatan yang tidak sesuai, ego sektoral pembentukan regulasi, dan masalah proses pembentukan yang tidak partisipatif sehingga regulasi yang dibuat ditolak oleh masyarakat. Dalam tulisan ini saya hanya menyorot masalah obesitas regulasi.

Dalam hal masalah obesitas regulasi, saya melampirkan database dari laman resmi yang kredibel yang menunjukkan bahwa regulasi yang ada di Indonesia baik ditingkat pusat maupun daerah sudah terlalu banyak. Laman yang saya akses tersebut adalah pangkalan data di peraturan.go.id dan jdihn.go.id yang disediakan oleh BPHN. Kedua-keduanya saya akses bersamaan pada tanggal 17 Juli 2020.

Berdasarkan pangkalan data di peraturan.go.id, terdapat 8555 Peraturan ditingkat pusat dengan peraturan pemerintah yang memegang angka tertinggi dengan 4590 peraturan. Disusul oleh peraturan presiden sebanyak 2093 dan undangundang dengan angka 1690. Sementara peraturan menteri menembus angka 15177 dengan rincian tertinggi terjadi pada tahun 2014 yang mencapai angka 1742. Kemudian peraturan daerah terdiri dari 15967 peraturan dengan rincian tertinggi pada tahun 2011 sebanyak 1990 peraturan.

Sementara dilaman lain, yakni jdihn.go.id yang saya akses dalam waktu yang sama merinci peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia sebanyak 47.501 produk hukum ditingkat pusat dengan memasukkan peraturan kementerian menjadi bagian dari peraturan ditingkat pusat. Kemudian 166.055 produk hukum ditingkat daerah dan 24.064 produk hukum era kolonial.

Jumlah yang ada saat ini sangat mungkin untuk terus bertambah dikemudian hari, mengingat hal itu pasti akan terjadi. Terlalu banyaknya regulasi ini tentu memiliki dampak buruk bagi kualitas regulasi dinegara kita. Dampak tersebut mulai dari potensi ketidakharmonisasi regulasi, tumpang tindih, sampai dengan memicu konflik antar regulasi. Buruknya sistem regulasi akan berdampak buruk juga bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh yang paling mudah ditemukan adalah sektor berusaha yang tidak mudah karena harus berhadapan dengan banyaknya regulasi dan instansi yang menangani sangat banyak. Kondisi demikian tidak hanya terjadi di sektor berusaha tetapi terjadi juga diberbagai sektor kehidupan.

Bila ditelusuri dan diamati, obesitas regulasi di negara kita sebenarnya terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena adanya pemikiran bahwa dengan membentuk regulasi maka masalah-masalah hukum pasti bisa diselesaikan. Padahal masalah hukum tidak harus diselesaikan dengan pembuatan regulasi, tetapi juga bisa diselesaikan dengan instrumen lain. Kedua, para pemeriksa dan penegak hukum, baik itu BPK, Kejaksaan maupun Kepolisian dalam menjalankan tugas selalu mempersoalkan ada tidaknya payung hukum. Bila tidak ada aturan yang mengatur, maka buntut masalahnya akan panjang. Ketiga, Kementerian Keuangan seringkali menjadikan ada tidaknya regulasi sebagai acuan untuk meloloskan anggaran kementerian atau lembaga.

Omnibus Law Sebagai Solusi Obesitas Regulasi

Setelah membicarakan obesitas regulasi yang terjadi dan membahas secara singkat konsep omnibus law, maka kita mendapati titik temu antara keduanya. Titik temu itu adalah berkaitannya antara manfaat omnibus law dengan masalah obesitas regulasi yang tengah terjadi. Dengan kata lain, teknik pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law bisa menjadi solusi praktis dari obesitas regulasi yang saat ini terjadi.

Seperti telah diterangkan diatas bahwa obesitas regulasi akan berdampak buruk bagi kualitas regulasi dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka dibutuhkan solusi untuk melakukan penyederhaan. Jika penyerdehanaan itu dilakukan dengan mengubah dan mengganti undang-undang lama dengan undang-undang baru melalui cara biasa, maka akan memakan waktu yang sangat lama, bahkan bertahun-tahun. Sehingga sangat tepat bila dikatakan bahwa teknik omnibus law adalah solusi penyederhanaan regulasi.

Untuk melakukan penyederhanaan regulasi ini, terlebih dahulu harus dilakukan inventarisasi masalah. Setelah dilakukan inventarisasi, langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah mengevaluasi pelaksanaan suatu regulasi. Evaluasi ini menjadi penting karena berguna untuk mengetahui efektivitas dari pelaksanaan suatu regulasi. Barulah setelah itu penyederhanaan berupa pencabutan, perubahan dan penggantian dilakukan menggunakan teknik pembentukan omnibus law.

Akan tetapi dalam prosesnya nanti, omnibus law harus tetap tunduk terhadap mekanisme pembentukan undang-undang yang sudah diatur di dalam UU No. 12 Tahun 2011 terutama berkenaan dengan partisipasi masyarakat.

Hal ini menjadi penting dan mendesak mengingat RUU Cipta Kerja yang telah menggunakan teknik omnibus law ditolak masyarakat salahsatunya karena minimnya keterbukaan dan partisipasi masyarakat. Selain itu juga banyaknya pasal yang termuat di dalam undang-undang yang menggunakan teknik omnibus law dikhawatirkan akan mengurangi kecermatan pembentuk undang-undang, sehingga keterbukaan diharapkan mampu membuka masukan dari segala pihak.

***