Jangan Karena Protes , Remisi 115 Napi Harus Dibatalkan

Senin, 4 Februari 2019 | 08:00 WIB
0
415
Jangan Karena Protes , Remisi 115 Napi Harus Dibatalkan
Wartawan Bali yang dibunuh (Foto: BBC.com)

Kurang lebih seminggu yang lalu Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi perubahan kepada 115 napi atau warga binaan dalam kasus pembunuhan. Yang awalnya hukuman seumur hidup, berubah menjadi hukuman 20 tahun.

Dasar pemberian remisi perubahan tersebut yaitu Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2018 tentang Remisi Berupa Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup menjadi Pidana Penjara Sementara. Jadi bukan grasi, karena sifat dari grasi itu sendiri yang mengajukan adalah narapidana atau warga binaan. Sedangkan kalau remisi itu adalah hak narapaidana tanpa harus mengajukan.

Ke-115 narapidana yang mendapatkan remisi perubahan dari hukuman seumur hidup menjadi hukuman 20 tahun semuanya adalah dalam kasus pembunuhan.Tidak ada kasus seperti narkoba atau terorisme.

Bahkan di Lapas klas 1A Tanjung Gusta Medan ada 20 narapidana yang mendapatkan remisi perubahan tersebut. Semuanya kasus pembunuhan. Mereka sangat kaget dan terkejut mendapat remisi dari Kementerian Hukum dan HAM. Mereka awalnya sudah pasrah dengan hukuman seumur hidup yang harus dijalani.

Tetapi dari 115 narapidana yang mendapat remisi perubahan tersebut, ada satu yang menimbulkan masalah atau penolakan baik dari kelurga korban atau dari insan pers. Yaitu kasus pembunuhan wartawan Radar Bali AA Gde Bagus Narendra Prabangsa. Yang jasadnya dibuang di laut. Otak pembunuhan yaitu I Nyoman Susrama.

Dan I Nyoman Susrama menjadi salah satu dari narapidana yang mendapat remisi perubahan menjadi 20 tahun. Akibat dari putusan remisi tersebut rekan-rekan wartawan melakukan demo sebagai bentuk protes terkait remisi yang diberikan kepada I Nyoman Susrama. Bahkan waktu menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berkunjung ke Papua, ia didemo oleh insan pers, sampai harus dilarikan atau diamankan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.

Karena mendapat protes dan kecaman dari insan pers, menteri Yayonna Laoly memerintahan Dirjen Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Sri Puguh Budi Utami untuk mengkaji remisi yang diberikan kepada I Nyoman Susrama.

Akhirnya Dirjen PAS Sri Puguh Budi Utami menemui insan pers di Bali untuk mendengarkan protes atau penolakan terhadap remisi yang diberikan kepada I Nyoman Susrama. Sri Puguh juga membawa surat penolakan dari insan pers untuk disampaikan kepada presiden untuk membatalkan remisi tersebut.

Remisi yang diberikan kepada narapidana seumur hidup ini menarik, karena dari 115 yang mendapatkan remisi hanya satu yang mendapatkan penolakan atau protes dari keluarga korban atau insan pers sebagai bentuk solidaritas.

Kalau nanti remisi yang diberikan kepada I Nyoman Susrama dibatalkan oleh presiden karena adanya protes atau penolakan dari insan pers, maka ini menjadi bukti tidak konsistennya pemerintah dan Kemenkumham dalam membuat kebijakan. Karena mendapat protes atau desakan dan demo, kebijakan atau peraturan bisa dibatalkan.

Artinya pemerintah dan Kemenkumham tidak bisa mempertahankan argumentasi atau yang menjadi dasar memberikan remisi tersebut. Kalau memang remisi adalah hak narapidana, maka sudah sepatutnya menteri Hukum dan HAM harus mempertahankan argumennya.

Selama pemberian remisi kepada 115 narapidana tersebut tidak ada unsur korupsi atau hanya karena ingin membebaskan seseorang, maka argumen yang menjadi dasar pemberian remesi tersebut wajib dipertahankan.

Apakah karena korbanya adalah seorang wartawan terus remisi yang menjadi hak narapidana bisa dibatalkan?

Apakah karena ia seorang wartawan lantas lebih diprioritaskan dan mendapat perhatian lebih dibanding nyawa atau korban masyarakat biasa?

Bagaimana dengan remisi yang diberikan kepada 114 lainnya, apakah juga akan dikaji atau dibatalkan?

Harusnya adil dong. Jangan sampai hanya karena yang menjadi korban adalah wartawan, remisi yang sudah diberikan akhirnya dibatalkan.Sedangkan korban yang bukan wartawan remisinya tidak dibatalkan. Padahal keluarga korban pasti juga ingin mendapat keadilan atau perhatian. Sekalipun mereka tidak melakukan protes atu demo.

Inilah sisi lemah hukum pemerintahan presiden Jokowi dan Kementeriannya. Kebijakan yang sudah dikeluarkan seringkali dibatalkan atau ditarik kembali kalau banyak mendapat protes dari masyarakat atau publik. Seperti yang baru saja, ada himbauan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum pemutaran film di bioskop. Karena mendapat protes akhirnya dibatalkan.

Bagitu juga dengan pemberian remisi, karena ada yang protes akhirnya dikaji kembali dan tidak menutup kemungkinan akan membatalkan remisi tersebut. Sayang,yang dibatalkan hanya karena korbanya adalah seorang wartawan.

Lha terus korban yang lainnya dianggap bukan manusia apa? Kok juga tidak dikaji atau dibatalkan juga remisinya. Yang adilah sekalipun adil itu juga tidak mudah.

Padahal dalam pemerian remisi atau hak-hak narapidana tidak melihat kasusnya, tetapi bagaimana narapida-narapidana itu setelah bebas bisa berkelakuan baik. Sekilas memang tidak adil bagi keluaraga korban. Seakan berpihak kepada pelaku kejahatan.

Sudah seharusnya ada revesi KUHP, karena selama ini hukuman maksimal penjara hanya 20 tahun. Misalnya ada hukuman 30 tahun, 40 tahun atau maksimal 50 tahun. Kalau hukuman 20 tahun dipotong remisi seorang narapidana hanya menjalani tidak lebih dari 15 tahun.

Karena tidak ada alternatif hukuman di atas 20 tahun, seringkali hakim menjatuhkan hukuman seumur hidup kepada terdakwa. Mau dihukum mati juga ragu-ragu atau dianggap malah melanggar hak azasi manusia. 

***