"Plead Bargaining", Rehabilitasi dan Dilema Andi Arfief

Senin, 18 Maret 2019 | 20:52 WIB
0
400
"Plead Bargaining", Rehabilitasi dan Dilema Andi Arfief
Andi Arief (Foto: The World News)

Tawar menawar antara JPU dengan tersangka atau lawyernya terkait jenis tindak pidana yang didakwakan serta ancaman hukumannya adalah jamak, terutama di negara common law khususnya Amerika serta beberapa negara yang menganut civil law seperti Belanda dan Prancis.

Sejatinya, mekanisme plea bargaining bertujuan memangkas proses peradilan yang panjang dengan biaya mahal. Di tengah bertumpuknya jumlah perkara serta over kapasitasnya lembaga pemasyarakatan, plea bargaining yang ditawarkan RUU KUHAP yang sementara dalam pembahasan menjadi relevan.

Peradilan pidana kita tidak mengenal terminologi plea bargaining, namun penerapan restorative justice di institusi kepolisian memiliki semangat yang sama, bahkan lebih progresif. Berdasarkan UU Kepolisian dan Peraturan Kapolri, penyelesaian kasus tertentu dimungkinkan terhenti dengan syarat pelaku bersedia memulihkan kerugian pihak korban.

Berdasarkan kesepakatan pihak bertikai yang dimediasi oleh penyidik, penyelesaian secara damai menghentikan proses pidana. Halnya dalam kasus yang melibatkan anak, restorative justice dilakukan lewat mekanisme diversi.

Dalam kasus yang melibatkan anak dengan ancaman pidana di bawah 7 tahun diberi ruang untuk berdamai dengan pihak korban yang dikenal sebagai diversi. Jika terjadi perdamaian lewat diversi, maka kasus kemudian dinyatakan selesai tanpa melalui persidangan. Menariknya mekanisme diversi diwajibkan pada setiap tahapan dari sejak penyidikan di tingkat kepolisian, kejaksaan, hingga di hadapan hakim anak di pengadilan.

Dalam RUU KUHAP plea bargaining diaptasi melalui mekanisme yang disebut Jalur Khusus. Untuk kasus dengan ancaman pidana tidak lebih dari 7 tahun dimungkinkan diselesaikan lewat jalur ini. Selama ini spirit plea bargaining dalam praktek penegakan hukum kita yang tercermin dalam pola restorative justice tidak tunduk di bawah rezim KUHAP melainkan diatur dalam UU maupun peraturan teknis intitusi terkait.

Akibatnya, dalam praktek kita seringkali menyaksikan inkonsistensi aparat penegak hukum. Sebut saja soal diferensiasi perlakuan serta hukuman terhadap pengguna dan pecandu narkotika.

Untuk kategori pengguna atau pecandu, seharusnya menggunakan paradigma korban. Berbeda dengan pengedar yang diancam hingga pidana mati. Salah satu pasal yang sering digunakan penyidik terhadap pengguna atau pecandu adalah Pasal 127 UU Narkotika dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun. Sementara untuk kasus yang melibatkan selebritis, aparat penegak hukum seringkali memilih jalur rehabilitasi.

Keputusan rehab terhadap Andi Arief di tengah suasana politik menjelang Pilpres menuai sinisme. Institusi kepolisian menjadi bulan-bulanan publik karena dianggap tebang pilih terhadap pengguna narkotika oleh kubu yang berseberangan dengan faksi Andi Arief.

Sementara para pendukung kubu Andi Arief sendiri menuduh penangkapan tanpa barang bukti sebagai upaya menggoreng kasus Andi Arief untuk kepentingan Pilpres. Tidak ditemukannya barang bukti di TKP membuat proses penyidikan menjadi rawan karena kesaksian yang setiap saat berpotensi diingkari.

Kesepakatan rehab menjadi win-win solution bagi kedua pihak. Penyidik tidak perlu bersusah payah membuktikan kesalahan tersangka, karena rehab mensyaratkan pengakuan bersalah (quilty plea). Sementara Andi Arief sendiri terhindar dari potensi dihukum pidana dengan ancaman yang lebih berat jika kasusnya berlanjut ke pengadilan.

Namun pengakuan bersalah menyisakan dilema bagi Andi Arief sebagaimana pilihan rehab melahirkan sinisme bagi institusi kepolisian.

Sebab sejatinya, bargaining berangkat dari sikap pragmatis, bukan pilihan moral.

***