Kenapa Bambang Widjojanto "Jakasembungkan" Dirinya?

Bambang menghadirkan saksi-saksi “lapangan” dalam sidang MK. Tetapi, tidak seorang pun dari saksi yang menyoroti adanya dugaan kecurangan dalam tahapan penghitungan suara manual.

Jumat, 28 Juni 2019 | 19:43 WIB
0
661
Kenapa Bambang Widjojanto "Jakasembungkan" Dirinya?
Bambang Widjojanto (Foto: Bisnis.com)

“Pak Majelis. Saya di kampung, tapi saya bisa mengakses dunia melalui kampung, Pak,” potong Bambang Widjojanto saat berupaya menyelamatkan salah seorang saksi yang diajukannya dari cecaran pertanyaan hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat.

Seperti roller coaster yang hanya bisa dihentikan oleh gravitasi, mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini terus meluncurkan rangkaian kalimatnya.

“Jadi, jangan seolah-olah orang kampung tidak mengerti apa-apa, mohon dengarkan dulu. Saksi ini adalah orang yang sederhana dan humble,” lanjut pria kelahiran 18 Oktober 1958 ini.

Sekilas tidak ada yang salah pada sederetan kalimat yang disemburkan Bambang pada sidang ketiga sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden 2019 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 19 Juni 2019 ini.

Bambang Widjojanto 100 persen benar. Sebab, selama terkoneksi gelombang elektromagnetik, peristiwa yang terjadi di belahan dunia mana pun bisa disaksikan secara lamngsung oleh penduduk dunia yang berada di belahan dunia lainnya.

Buktinya, lewat tayangan live,  warga kampung yang tinggal di Desa Mandala Mukti, Kecamatan Cikalong Wetan, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat dapat menyaksikan secara real time saat Sadio Mane mengoyak gawang Barcelona dalam leg kedua semifinal Liga Champion yang digelar di Liverpool pada 8 Mei 2019.

Lewat gelombang elektromagnetik pula, kekonyolan-kekonyolan para saksi “Wow” yang diajukan tim kuasa hukum Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dapat ditonton langsung oleh segenap umat manusia yang berada di delapan penjuru mata angin.

Masalahnya, saksi yang dihadirkan dalam persidangan harus mellihat, mendengar, dan merasakan secara langsung sebuah peristiwa yang diperkarakan. Tidak boleh “katanya-katantya”. Tidak boleh “dari Youtube”. Juga tidak boleh dari “media sosial”.

Kalau saja seseorang bisa dihadirkan sebagai saksi hanya karena ia mengetahui sebuah peristiwa, seharusnya  Agus Maksum, Listiyani, Rahmadsyah, dan pastinya juga Beti Kristiana bisa bersaksi dalam sidang kasus pembunuhan Jamal Khashoggi.

Sebagai sosok dengan deretan gelar akademik di depan dan belakang namanya, sudah barang tentu Bambang Widjojanto sangat-sangat memahaminya. Tetapi, mantan aktivias HAM ini seolah kehilangan akal sehatnya. Seketika, Bambang mendadak “bolot”.

Bambang Widjojanto Sengaja Jadi "Jaka Sembung"?

Oke, katakanlah, “kejakasembungan” antara kampung dan dunia itu dilontarkan Bambang karena spontanitasnya spontan alias tanpa lebih dulu memutar otaknya. Dan spontanitas itu muncul karena Bambang melihat, mendengar, dan merasakan, saksi Idham yang mulai kelimpungan oleh cecaran pertanyaan Hakim Arief.

Tetapi, bagaimana dengan persoalan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) yang menjadi salah satu fokus tim kuasa hukum pasangan capres nomor urut 02 yang diketuai Bambang?

Bambang Widjojanto, Denny Indrayana, Teuku Nasrullah, Luthfi Yazid, Iwan Satriawan, Iskandar Sonhadji, Dorel Almir, dan Zulfadli dikenal sebagai pendekar hukum pilih tanding (tanpa perlu menyebut dari golongan putih atau golongan hitam). Melihat rekam jejaknya, mereka bukan saja sudah “karatan” di ruang sidang, tetapi juga sudah “lumutan” di ruang kampus.

Baik Bambang maupun anggota tim kuasa hukum yang diketuainya pasti mengatahui persis jika suara sah yang digunakan oleh KPU hanyalah hasil penghitungan suara manual. Tidak ada yang lainnya, termasuk penghitungan elektronik.

Pasal 389 UU No. 7/2019 jelas menyebutkan “Hasil penghitungan suara di TPS/TPSLN dituangkan ke dalam berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta ke dalam sertifikat hasil penghitungan suara pemilu dengan menggunakan format yang diatur dalam Peraturan KPU”.

Kata “sertifikat” ada di setiap pasal yang menjabarkan proses penghitungan suara, mulai dari tingkat TPS/TPSLN sampai tingkat nasional.

Di tingkat nasional, kata sertifikat ada pada Pasal 405. Di antaranya ayat 3 yang menyebutkan, “KPU membuat berita acara rekapitulasi hasil penghitungan; perolehan suara dan sertifikat rekapittrlasi hasil penghitungan perolehan suara Peserta Pemilu.”

Dan, yang diserahkan oleh KPU menurut Ayat 8 Pasal 405 kepada kontentan pemilu juga dalam bentuk sertifikat “KPU menyerahkan berita acara rekapitulasi hasil, penghihrngan perolehan suara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghihrngan perolehan suara peserta pemilu kepada saksi Peserta Pemilu dan Bawaslu.”

Dari serifikat pula, menurut Ayat 4 dan Ayat 5, KPU mengumumkan dan menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara. Sertifikat yang dimaksud dalam UU tersebut jelas berbentuk fisik, dalam hal ini berwujud kertas. Karena dalam sejumlah pasal menyebutkan kata “ditandatangani”.

Karenanya, kalaupun ada, penggelembungan atau pun penggembosan angka pada situng, menurut hukum, tidak bisa diajukan sebagai bukti kecurangan dalam Pilpres 2019.

Sangat tidak masuk akal jika Bambang Widjajanto Cs tidak mempelajari terlebih dulu aturan main Pilpres 2019. Malah sebelum menghadapi Edward Omar Sharif Hiariej yang diajukan sebagai saksi ahli KPU, Teuku Nasrullah mengaku menyempatkan diri mempelajari jurnal-jurnal hukum pidana.

Dari material dalam konstruksi gugatannya, jelas terbaca jika tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga memang sengaja “men-Jaka Sembung-kan” dirinya sendiri.

Begitu juga dengan saksi-saksi yang dihadirkan. Bambang Cs seolah tidak melakukan pengujian kepada para saksi sebelum mendaftarkan nama-nama mereka.

Misalnya terhadap Profesor Jaswar Koto. Nama Jaswar Koto yang sebelumnya tidak dikenal seharusnya menarik perhatian Bambang Cs. Bagaimana mungkin Denni Indrayana dan Tekuku Nasrullah yang bergelar Profesor Doktor tidak menyadari adanya kejanggalan dalam rekam jejak akademik Jaswar Koto. Apakah tim kuasa hukum pasangan nomor urut nomor 02 hanya mengangguk-angguk ketika membaca CV yang disodorkan Jaswar?

Bambang Widjojanto sadar sepenuhnya sadar jika sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden 2019 yang digelar lewat speedy trial. Untuk itu, sebagai pemohon, Bambang seharusnya bisa memanfaatkan waktu yang terhitung singkat tersebut untuk membuktikan tuduhannya. Tetapi, nyatanya, Bambang lebih memilih menjadi “Jaka Sembung”.

Padahal sampai MK membuka pintu gugatan Pilpres 2019 pada 23 Mei 2019, tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan bukti dan saksi yang akan dibawanya. Setidaknya sejak Pilpres 2019 yang dilangsungkan pada 17 April 2019.

Kenapa Bambang Jadi “Jaka Sembung”?

Jika membaca biografi Bambang Widjojanto, sulit untuk menstempelnya sebagai sosok yang tidak memiliki kerangka logika dalam berpikir, apalagi “Jaka Sembung”. Artinya, ada sesuatu yang sedang dimainkan Bambang selama tampil sebagai “Jaka Sembung” di atas panggung MK.

Setidaknya ada tiga kemungkinan Bambang Widjojanto memilih peran “Jaka Sembung” yang menjadikan dirinya bahan guyonan netijen.

Pertama, Bambang sama sekali tidak memiliki bukti kecurangan Pilpres 2019 yang dimenangkan oleh Jokowi-Maruf. Terbukti, tidak ada satu pun hasil rekapan penghitungan suara manual, dari tingkat TPS sampai tingkat KPU pusat, yang disodorkan sebagai bukti adanya kecurangan dalam Pilpres 2019.

Memang benar, Bambang menghadirkan saksi-saksi “lapangan” dalam sidang MK. Tetapi, tidak seorang pun dari saksi yang menyoroti adanya dugaan kecurangan dalam tahapan penghitungan suara manual.

Begitu juga dengan Prabowo. Capres yang sudah dua kali dikalahkan Jokowi dalam Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 ini pastinya juga sudah tahu jika pihaknya sebagai pemohon tidak memiliki bukti yang dapat menggugurkan hasil Pilpres 2019.

Tetapi, meskipun sama sekali tidak mengantungi bukti, Bambang harus tetap menggugat hasil Pilpres 2019 karena dua alas an yang disebutkan di bawah.

Kedua, Bambang yang berbisnis sebagai pengacara sedang mengelola ceruk pasarnya. Di dalam ceruk tersebut ada jutaan calon klien dari massa pendukung Prabowo-Sandi. yang bisa didapatkan Bambang Untuk itu Bambang hanya perlu memanjakan pendukung Prabowo-Sandi.

Dan, Bambang pastinya tahu persis jika para pendukung pasangan nomor urut 02 menarasikan kesalahan pada proses penginputan situng KPU sebagai bukti adanya kecurangan Pilpres 2019. Narasi inilah yang dimanfaatkan Bambang dalam mengelola ceruk pasarnya.

Ketiga, lewat sidang MK, Bambang berupaya menguatkan narasi jika kubu Prabowo yang umumnya berasal dari kelompok-kelompok Islam tengah diperlakukan tidak adil oleh negara. Dengan begitu, polarisasi yang sudah berlangsung selama lebih dari 7 tahun (jika mengawalinya sejak Pilgub DKI Jakarta 2012) akan terus berlangsung. Setidaknya sampai lima tahun ke depan.

Jika mengacu pada raihan suara Pilpres 2019, ada 44,5 persen suara yang bisa diwariskan kepada “suksesor” Prabowo untuk Pilpres 2024. Dengan warisan 44,5 persen suara tersebut pengganti Prabowo hanya membutuhkan 5,6 suara untuk dapat memenangi Pilpres 2024.

Membaca “ke-Jaka Sembung-an” Bambang Widjojanto dalam siding di MK memang menarik. Sama menariknya dengan mengikuti “kedunguan” Rocky Gerung lewat akun Twitter-nya. Ada misteri dalam “ke-Jaka Sembung-an” Bambang. Ada kesatiran dalam cuitan Rocky. Untungnya, “ke-Jaka Sembung-an” Bambang dan “kedunguan” Rocky bisa dibaca sebagai parodi politik tanah air.