Komisi "Blacklist"

Secara politik, dengan adanya lembaga ini, kredibilitas dan akseptabilitas Presiden menjadi lebih kuat. Otoritas Presiden untuk mengontrol sektor ketenagakerjaan menjadi lebih kuat

Selasa, 7 April 2020 | 07:17 WIB
0
223
Komisi "Blacklist"
Blacklist (Foto: Facebook/Yus Husni Thamrin)

Banyak kasus hukum ketenagakerjaan yang umumnya merugikan pekerja. Penyelesaian perselisihan di tingkat perusahaan semuanya tidak fair, merugikan pekerja. Kasus-kasus itu juga tidak semuanya bisa diselesaikan melalui pengadilan ketenagakerjaan. Kalaupun para pekerja menempuh jalur hukum, prosesnya sangat panjang, dan membutuhkan biaya yang tentu sangat memberatkan pihak pekerja. Artinya, Pengadilan Hubungan Industrial belum memadai untuk menyelesaikan semua persoalan ketenagakerjaan.

Saya mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo, untuk membentuk lembaga atau komisi yang membuat BLACKLIST perusahaan dan orang-orang yang bertanggung jawab di perusahaan itu. Blacklist dibuat didasarkan pada laporan pekerja yang merasa dirugikan oleh perusahaan atau bekas perusahaan tempatnya bekerja, bisa mengadukan tindakan tidak adil yang dialaminya, berikut bukti-buktinya yang otentik. Blacklist ini semacam Daftar Orang Tercela (DOT) yang pernah dibuat Bank Indonesia. Lembaga atau komisi ini bertanggungjawab langsung pada Presiden.

Blacklist yang dibuat lembaga atau komisi itu terkoneksi ke kantor pajak, BKPM, bank, Bursa Efek Indonesia, lembaga-lembaga pemerintah yang menerbitkan perizinan dan sertifikat, Polri, perusahaan akuntan publik, dan lembaga-lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tender proyek pengadaan barang dan jasa.

Sehingga, ketika perusahaan yang masuk dalam blacklist mengurus perizinan, mengajukan kredit dan menerbitkan surat utang, mengajukan proposal tender, melakukan transaksi keuangan, TIDAK DILAYANI sebelum menyelesaikan perselisihan dengan pekerja atau mantan pekerjanya. Bila perlu, pemerintah mengirim utusan (yang benar-benar jujur dan kompeten), agar penyelesaiannya di luar pengadilan itu bisa cepat dan fair. Penyelesaian ini bisa lebih cepat, lebih efisien, dan lebih efektif.

Komisi atau Lembaga ini akan menjadi akselerator sekaligus pemaksa bagi perusahaan untuk menerapkan good corporate governance, mematuhi UU Ketenagakerjaan dan peraturan turunannya, terutama untuk menjaga fairplay dalam hubungan antara perusahaan dengan para pekerja. Ingat, dalam kontrak kerja posisi antara perusahaan dengan pekerja adalah SETARA. Perusahaan membutuhkan tenaga kerja, (calon) pekerja membutuhkan pekerjaan.

Secara politik, dengan adanya lembaga ini, kredibilitas dan akseptabilitas Presiden menjadi lebih kuat. Otoritas Presiden untuk mengontrol sektor ketenagakerjaan menjadi lebih kuat, lebih akurat, lebih efektif, tanpa mengintervensi urusan di wilayah yudikatif.

Jika atas satu pertimbangan atau lainnya lembaga pemerintah ini tidak bisa dibentuk, Presiden bisa mengendorse pembentukan lembaga partikelir nirlaba yang dijalankan oleh para aktivis ketenagakerjaan. Pemerintah bisa sebagai pelindung dan donatur tetap. Tugas dan fungsinya sama, membuat blacklist perusahaan dan orang-orang yang bertanggungjawab di perusahaan itu.

***