Ketika Ahok dan Said Didu dalam Jerat Ujaran Kebencian/Penghinaan

Idealnya serangan yang bernuansa penghinaan atau serta ujaran kebencian direspon dan diperdebatkan terbuka, terutama menyangkut kritik terhadap keyakinan atau agama tertentu.

Jumat, 15 Mei 2020 | 18:41 WIB
0
397
Ketika Ahok dan Said Didu dalam Jerat Ujaran Kebencian/Penghinaan
Said Didu dan Basuki Tjahaja Purnama (Foto: tribunnews.com)

Melihat dukungan terhadap Said Didu (SD) yang dianggap korban kriminalisasi kekuasaan yang antikritik mengingatkan kita pada dukungan yang melimpah terhadap Ahok akibat tuduhan hate speech di masa lalu. Terlepas rumusan pasal ujaran kebencian dan penghinaan yang mudah ditekuk, sebaiknya pasal warisan kolonial ini tidak lagi digunakan membatasi freedom of speech serta freedom of expression. Upaya menyingkirkan pasal bermasalah yang semakin perkasa pasca diadopsi dalam UU ITE lewat uji materi di MK sudah dilakukan namun tak menuai hasil.

Di negara liberal, freedom of speech dijamin undang-undang. Bahkan pernyataan yang jauh lebih vulgar dibanding ucapan SD dan Ahok dianggap jamak. Freedom of speech serta freedom of expression juga diatur dalam beberapa kovenan internasional dan mengikat negara yang meratifikasinya. Sebut saja di antaranya, Universal Declaration of Human Rights (UDHR) serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Baca Juga: Jika Tidak Membantu, Jangan Seperti Said Didu

Pada Pasal 19 UDHR disebutkan bahwa setiap orang memiliki hak pendapat tanpa campur tangan pihak lain serta setiap orang memiliki hak untuk kebebasan berekspresi. Meskipun demikian kedua rujukan internasional ini masih menyisahkan batasan yang tidak boleh diterabas dalam penggunaan kebebasan berbicara dan berekspresi. Walaupun tidak bersifat absolut dalam masyarakat liberal freedom of speech dan freedom of expression berjalan nyaris tanpa pembatasan.

Adalah John Stuart Mill, filsuf Inggris abad ke- 17 mengingatkan bahwa semakin luas kebebasan berekspresi dibuka dalam suatu masyarakat atau peradaban maka masyarakat atau peradaban tersebut semakin maju dan berkembang. Halnya dengan kebebasan mengemukakan pendapat untuk menjamin perlindungan masyarakat dari perasaan khawatir.

Sebaliknya di Indonesia pembatasan freedom of speech serta freedom of expression sangat atraktif. Mereka yang menjadi korban merasa tidak asyik jika tidak memilih jalur hukum atau setidaknya mengingatkan pelaku akan resiko itu lewat somasi.

Masalahnya, rumusan pasal penghinaan serta ujaran kebencian sangat lentur dan mudah ditarik ulur sehingga seringkali membingungkan. Karena meliputi seluruh aspek, pasal ini digelari pasal sapu jagat, atau pasal tong sampah karena sanggup menampung segala macam persoalan. Belum lagi jika kepentingan politik, ekonomi serta kesadaran beragama dan tekanan publik atau netizen yang maha kuasa ikut cawe-cawe, membuat masalah makin runyam.

Lantas di mana letak demarkasi antara freedom of speech dengan penghinaan maupun ujaran kebencian? Jawabnya tidak mudah, bayangkan mereka yang dulu menolak penerapan pasal ujaran kebencian terhadap Ahok justru mendukung pemidanaan dengan menggunakan pasal penghinaan untuk menjerat SD.

Baca Juga: Said Didu Siap Lempar Handuk?

Sebaliknya banyak di antara mereka yang menyerang Ahok habis-habisan dengan pasal ujaran kebencian adalah mereka yang hari ini pasang badan melindungi SD atas nama kebebasan menyatakan kritik. Karena sulitnya meletakkan batas demarkasi antara freedom of speech dengan penghinaan atau ujaran kebencian, sebaiknya freedom of speech dilonggarkan sedemikian rupa demi menghindari pelanggaran hak warga negara.

Bagi anak muda berpandangan liberal seperti Cania Citta Irlanie, "freedom of speech ada bukan untuk menjamin situ boleh bilang saya cantik, pintar, dan baik hati, melainkan agar situ bisa bebas merdeka untuk bilang saya jelek, bodoh, cicit dajjal, kafir komunis zionis liberal yahudi, setan pirang, kuliah gak lulus-lulus, dan gagal paham Pancasila".

Apa yang disebut sebagai ujaran kebencian serta serangan terhadap martabat orang lain sebenarnya tidak melanggar norma freedom of speech karena sejatinya ujaran kebencian maupun penghinaan menggunakan asas kebebasan berpendapat. Hanya saja dalam hukum Indonesia, penghinaan serta ujaran kebencian dianggap melanggar norma sosial karena menyerang individu atau kelompok lain.

Namun perkembangan teknologi informasi yang melahirkan berbagai media alternatif membuat penghinaan serta ujaran kebencian makin mudah diproduksi melalui transmisi media. Jika setiap pernyataan yang dianggap penghinaan serta ujaran kebencian harus diselesaikan lewat jalur hukum bisa dibayangkan betapa sibuknya aparat penegak hukum kita.

Idealnya serangan yang bernuansa penghinaan atau serta ujaran kebencian direspon serta diperdebatkan secara terbuka, terutama yang menyangkut kritik terhadap keyakinan atau agama tertentu. Serangan terhadap Ketuhanan Yesus atau Kenabian Muhammad misalnya, sebaiknya tidak serta merta dilaporkan sebagai hate speech tapi dibuka ruang perdebatan untuk membangun tradisi berdiskusi dan berpikir kritis.

Dari sana diharapkan lahirnya generasi kritis yang berpikiran terbuka dan tidak mudah terprovokasi oleh hasutan mereka yang menolak keberagaman yang berpotensi menghancurkan masa depan pluralisme di negeri ini.

***