Titik Balik untuk Maju di Tengah Pandemi

Jika kematian hitam menjadi titik balik bagi para petani di Inggris untuk mengubah nasib mereka, maka pandemi ini menjadi titik balik bagi UMKM Indonesia untuk berkiprah maju.

Senin, 7 September 2020 | 22:00 WIB
0
390
Titik Balik untuk Maju di Tengah Pandemi
UMKM di tengah pandemi (Foto: ayojakarta.com)

Suatu tragedi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi dia dapat meruntuhkan fundamental sebuah kehidupan, namun sisi lainnya dia seringkali mendatangkan hikmah tak terduga.

Ketika gelombang kematian hitam (The Black Death) menyerang kawasan Eropa pada tahun 1348, Inggris menjadi salah satu negara yang terkena dampak paling mengerikan. Wabah Pes telah memakan korban separuh dari total populasi penduduk Inggris saat itu dan meninggalkan dampak nyata yang mengubah institusi politik, ekonomi, dan kondisi sosial masyarakatnya kemudian.

Episode kelam dalam sejarah itu, kini terulang kembali. Hampir semua negara di dunia kini limbung menghadapi hantaman virus mematikan “Corona” atau yang lebih dikenal dengan nama Covid-19. Tak ubahnya wabah Pes yang disebarkan oleh kutu di tubuh tikus itu berawal dari China, demikian pula Covid-19 mulanya menyebar di Wuhan, China. Hanya saja sampai saat ini asal muasal Covid-19 masih menjadi misteri.

Dahulu para saudagar diduga menjadi sumber penyebar wabah Pes melalui aktivitas perdagangan mereka melewati Jalur Sutra sebagai jalur terpenting di kawasan trans-Asia. Ketika migrasi penduduk antar negara menjadi begitu dinamis dan dunia seolah tanpa sekat, Covid-19 pun menyebar begitu cepatnya melewati tapal batas negara.

Kita semua menjadi saksi sejarah, betapa makhluk tak kasat mata itu mampu memporak porandakan fundamental kehidupan sebuah negara yang telah tertata puluhan bahkan ratusan tahun lampau.

Saat wabah Pes melanda kota Florensia, Italia, seorang penulis Italia Giovanni Boccaccio dalam catatan sejarahnya menulis.

“Ketika wabah itu datang dengan cepatnya, segala akal budi dan kepandaian manusia tak berdaya menghadapinya. Wabah itu merebak dengan kecepatan luar biasa dan teramat mengerikan.”

Tak ubahnya yang terjadi pada ratusan negara mennghadapi Covid-19 saat ini, segala akal budi dan kepandaian manusia menjadi tak berdaya.

Acemoglu dan Robinson dalam buku mereka Mengapa Negara Gagal (Why Nations Fail) menggambarkan bagaimana wabah kematian hitam, telah mengubah wajah dunia. Bencana itu  menimbulkan dampak begitu dahsyat terhadap institusi-institusi kemasyarakatan di Eropa,  terutama di Inggris. Mampu melenyapkan hegemoni kaum feodal dalam kehidupan bermasyarakat yang sekian lama bertahta.

Seperti diketahui Eropa Barat pada awal abad ke-14 dikuasai kaum feodal, menyusul runtuhnya imperium Roma. Organisasi kemasyarakatan di sana dibangun berdasarkan hubungan hierarkis antara raja-raja dan tokoh-tokoh bangsawan yang setia kepadanya dengan kaum petani penggarap lahan berada pada lapisan terbawah dalam struktur itu.

Kaum petani tak ubahnya hamba sahaya saja. Karena mereka harus tinggal di lahan garapan dan tak boleh meninggalkan lahan tanpa seizin sang majikan.

Namun serangan wabah Pes telah menimbulkan kelangkaan tenaga kerja yang parah. Kaum petani mulai berani bangkit menyuarakan perubahan. Bermula dari para petani di daerah Einsham Abbey, Inggris, berada di garis terdepan menuntut agar sistem kerja tanpa upah dan berbagai pungutan dikurangi.

Bruder Nicholas sebagai seorang bangsawan Upton, yaitu biarawan sekaligus penguasa tanah pertanian di sana akhirnya bersedia membuat perjanjian baru dengan para petani. Tuntutan para petani dikabulkan dan kontrak kerja mereka diperbaharui.

Peristiwa di Einsham Abbey akhirnya meluas ke mana-mana. Bahkan pada tahun 1381 terjadi Revolusi Petani. Para pemberontak yang dipimpin oleh Wat Tyler itu bahkan sempat menduduki beberapa bagian kota London.

Meskipun pemberontakan itu berhasil ditumpas dan Tyler dihukum mati, usaha pemerintah Inggris memaksakan statuta pekerja tak pernah berhasil. Secara berangsur sistem kerja paksa feodal itu pun lenyap, dan sejarah Inggris mencatat tumbuhnya pasar tenaga kerja inklusif yang disertai tingkat upah yang tinggi.

Itu menjadi cikal bakal sistem tenaga kerja modern yang kita kenal sekarang. Kematian hitam telah menjadi titik balik bagi kebangkitan para petani di Inggris.

Tujuh abad kemudian peristiwa serupa mampu memukul perekonomian negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ekonomi global dipastikan melambat, menyusul penetapan WHO bahwa Covid-19 adalah sebuah pandemi.

Sebagian besar negara di dunia menutup wilayahnya dan menghentikan sebagian aktivitas perdagangan barang dan jasa yang selama ini menjadi mata rantai perekomian global. Devisa hasil ekspor tak lagi bisa diandalkan, begitu pula impor atas barang dan jasa terkendala selama pandemi. Maka kreativitas dan daya juang anak negeri di Bumi Pertiwi kini sedang diuji.

Namun prediksi World Bank dan IMF membangkitkan optimisme bahwa Indonesia adalah salah satu negara di samping Tiongkok dan India yang diperkirakan pertumbuhan ekonominya bertahan di atas 0 persen atau  positif teritori di tengah pandemi, sebagaimana dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Maknanya apa? Bahwa Indonesia mempunyai kekuatan untuk bertahan di tengah krisis global. Kekuatan itu salah satunya terletak pada wilayah Indonesia yang luas, ketersediaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang berlimpah.

Potensi tenaga kerja itu telah menghidupkan kantong-kantong UMKM yang tersebar di seluruh Indonesia selama ini. Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM, Tahun 2017 yang lalu diperkirakan ada 59 juta UMKM di Indonesia. Hanya saja banyak dari mereka yang terkendala modal dan ketiadaan akses ke pasar.

Sektor UMKM yang bergerak di bidang industri, perdagangan, transportasi, dan akomodasi yang selama ini cukup besar menyerap pasar tenaga kerja, kini sedang tak berdaya menghadapi dampak pandemi. Banyak dari mereka yang menghentikan kegiatannya karena kesulitan bahan baku ataupun pemasaran. Dan imbasnya adalah melonjaknya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Namun di sisi lain, krisis akibat pandemi ini dapat menjadi momentum bagi UMKM untuk memainkan peran di dalam negeri. Keterbatasan pesaing berupa barang dan jasa dari luar negeri, merupakan kesempatan untuk meraih pangsa pasar. UMKM dapat mengambil alih tongkat estafet untuk terus berlari sebagai pemenang

Pemerintah hadir memberikan dukungan. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memberikan insentif bagi UMKM melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 44/PMK.03/2020 yaitu berupa Pajak Penghasilan (PPh) Final-nya sebesar 0,5% yang seharusya disetor sendiri akan Ditanggung Pemerintah (DTP), terhitung sejak bulan April 2020 sampai dengan September 2020.

Kriterianya adalah bagi Wajib Pajak yang mempunyai peredaran bruto tertentu (sebagaimana diatur dalam PMK no 23 tahun 2018) yang omsetnya dalam tahun berjalan tidak melebihi Rp. 4,8 Milyar setahun. Muaranya yang ingin dituju adalah insentif pajak ini akan mengurangi beban yang harus dipikul UMKM, disamping insentif-insentif bidang lain diharapkan meringankan juga.

Tinggal bagaimana UMKM jeli mencermati peluang. Misal dengan menilik pergeseran budaya berbelanja masyarakat Indonesia mulai masif secara online, ini bisa ditangkap sebagai peluang. Sebagian masyarakat kini sadar bahwa bertransaksi secara digital dinilai lebih aman dari penularan Covid-19, karena tidak memerlukan tatap muka dan pertukaran uang secara fisik. Nah, Momentum bagi UMKM untuk memasuki pasar e-commerce.

Jika kematian hitam menjadi titik balik bagi para petani di Inggris untuk mengubah nasib mereka, maka pandemi ini menjadi titik balik bagi UMKM Indonesia untuk berkiprah maju. Semua itu niscaya. Pandemi adalah pisau bermata dua, tinggal menggunakan sisi satunya untuk meraih peluang.

***

Disclaimer: Telah dimuat sebagai Tajuk di Majalah Kanwil DJP Jakarta Barat Jawara Volume IV/Juni 2020