Generasi "Pikir Keri"

Alih-alih membangun simpati, sejak masih belum lagi apa-apa ia melakukan "contempt of court". Dan semua pihak mendiamkan saja, hanya berujung sebagai bahan tertawaan.

Jumat, 28 Juni 2019 | 06:42 WIB
0
491
Generasi "Pikir Keri"
Bambang Widjojanto dan tim kuasa hukum Prabowo (Foto: Antaranews)

Istilah ini sama sekali bukan hanya untuk menyebut generasi milineal itu, yang terkadang juga menjadi komoditi sekaligus pasar bagi gerakan politik dan (tentu) agama yang menyebalkan. Ini suatu gelombang besar, kelompok seukuran gaban yang ingin dianggap modern, tapi sebenarnya ndesit dan terbelakang sekali.

Sebenarnya teks "pikir keri" sendiri tidak melulu bisa dianggap sebagai "pikir belakangan", yang artinya lakukan dahulu, resiko dipikir dan ditanggung belakangan. Dalam khazanah budaya Jawa "pikir keri" di samping makna yang lagi pop di atas, juga punya minimal memiliki dua makna lain.

Kenapa yang pertama saya anggap pop, tak lain karena teks tersebut jadi populer karena karena jadi judul lagu dangdut patrol khas pesisiran yang suka dibawakan duo diva-nya, apakah itu Via Vallen atau Nella Kharisma, atau entah siapa lagi. Sampai gak ketahuan sebenarnya lagu ini penyanyi aslinya siapa. Khas wilayah abu-abu dangdut kaum sejuta umat, yang ideologinya waton ngomyang, asal goyang itu.

Sedemikian populer teks pertama ini, hingga banyak bak truk yang digambari dengan tulisan ini, dan biasanya diikuti dengan pembuatan sticker-sticker murahan "waton templek" yang dijual di sepanjang kaki lima. Lalu apa dua makna lainya?

Pikir Keri (dengan e taling) juga bisa dimaknai sebagai pikiran yang ketinggalan. Keri nang ngendi? Itu sebuah pertanyaan "barangnya tertinggal di mana"? Arti sesungguhnya ia tidak memakai pikiran, akal sehatnya hilang. Bisa digunakan untuk menyebut orang yang bingung, nekad, kalap, bahkan gila atau tidak waras.

Baca Juga: Kekalahan Bukan Kemenangan

Dalam konteks politik komunitas fitnah, hoax, dan ujaran kebencian baik produsen, konsumen, penyebar-nya termasuk dalam kategorisasi ini. Mereka sungguh menikmati, karena sekali kecemplung maka satu-satunya jalan keluar adalah terus tenggelam di dalamnya.

Dan, Pikir Keri (dengan e pepet) yang ketiga adalah pikiran yang menggelikan. Saya tidak tahu apakah ada pikiran yang menggelikan di masa lalu? Tapi di hari ini banyak sekali. Nonton televisi, baik itu yang kelas paling rendah model sinetron opera sabun, hingga sebuah talk show yang serius yang melibatkan kepala negara sekalipun selalu tersisip sisi yang bikin geli, kalau malah gak tertawa terbahak-bahak. Bukan saking lucunya, tapi justru saking absurd dan tidak masuk akalnya.

Serius bagi yang satu, akan menjadi lelucon bagi yang lainnya. Semakin politis dan agamis atau malah kombinasi konteksnya, semakin menggelikan cerita akhirnya. Sehingga di banyak tiang listrik dan tembok kota, Kelompok Seni Taring Padi banyak bikin poster karikatural: "Butuh Badut, hubungi Senayan!" Pikir keri itu ya pikiran para badut itu....

Dalam teks dan konteks itulah, kita harusnya memahami Sidang Mahkamah Konstitusi menanggapi gugatan Tim BPN. Gugatan yang sebenarnya sangat menggelikan sejak awal. Bagaimana mungkin Ketua Tim-nya sejak awal sudah mengejek lembaga tempat ia menggugat sebagai Mahkamah Kalkulator!

Alih-alih membangun simpati, sejak masih belum lagi apa-apa ia melakukan "contempt of court". Dan semua pihak mendiamkan saja, hanya berujung sebagai bahan tertawaan.

Langkah selanjutnya mengajukan gugatan dengan tuntutan yang sama sekali tidak relevan dengan fungsi MK sebagai pengadil masalah ketatanegaraan. Mereka menuntut KPU dibubarkan, sistem perhitungan suara diubah, dan pemilu diulang. Bahkan yang palinga absurd adalah meminta Prabowo-Sandi ditetapkan sebagai pemenang Pilpres.

Dan itu belum, bahkan tuntutannya kemudian direvisi lagi dengan tambahan yang makin absurd. Sembari konon membawa barang bukti belasan truck yang akhirnya terbukti imajinatif itu. Dan yang ternyata adalah barang-barang bukti yang nyaris non-sense, kutipan-kutipan pendapat pakar manca yang kemudian justru disanggah para penulisnya sendiri.

Cerita horor yang sungguh ngawur. Mungkin ini sejenis cerita hantu ala film-film Indonesia: tampak menakutkan di awal, ternyata hanya bikin geli, hingga justru jatuh kasihan pada hantu-nya di bagian akhirnya...

Itulah generasi pikir keri, generasi yang diwariskan oleh Orde Los Stang SBY. Yang kebetulan saat ini orang-orang-nya menjadi Tim Kuasa Hukum BPN Mereka orang yang bermasalah dengan dirinya sendiri, tapi sok ngurusi masalah hukum orang lain.

Baca Juga: Prabowo Sudah Berjuang Sampai Titik Darah Penghabisan

Mereka orang-orang yang bermasalah, tapi tanpa malu melakukan malpraktek sebagai "penegak hukum". Mereka ini dagelan sesungguhnya, komedi yang tanpa malu menjungkir balikkan logika. Dan kita rela memelototi sidang itu hingga dini hari. Gak ada kerjaan lain?

Bagian paling menakutkan buat saya, bila hanya karena model tekanan ala parlemen jalanan atau hukum pathok bangkrong seperti ini. Lalu Jokowi akan mengakomodir mereka dalam kabinet multipartai tanpa oposisi. Menganulir dan meninggalkan gagasannya sendiri: zaken kabinet yang lebih mengedepankan para ahli dan para profesional.

Saya sungguh khawatir Jokowi terkena efek gelombang generasi pikir keri ini yang menggelikan sekaligus menyesatkan ini ..

Nyuwun waras kagem Pakde Jokowi, tetep bregas rahayu...

***