Pasal Karet Kini dan Masa Lalu

Pasal Karet sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial dan bisa jadi Pasal Karet masa kini merupakan warisan dari Pasal Karet masa lalu. Pasal ini sering kali dijadikan senjata penguasa untuk menghalau segala macam gangguan dari oposan.

Rabu, 17 November 2021 | 10:26 WIB
0
150
Pasal Karet Kini dan Masa Lalu
Ilustrasi pasal karet (Foto: Anadolu Agency)

Akhir-akhir ini banyak warga yang hilang dari rumah bukan untuk minggat, tapi karena panggilan hukum di Indonesia. Dalam jejaring media sosial, masyarakat sipil seringkali dihantui oleh produk hukum yang bisa dikatakan memiliki sejumlah keganjilan.

Padahal di negeri yang katanya menerapkan sistem demokrasi ini, masyarakat diberikan kebebasan berpendapat. Lalu sudah sejauh mana hal itu bisa dibuktikan ketika kita kaitkan pada masa kini?

Jika berpendapat adalah hak, maka perampasan hak adalah pelanggaran HAM. Anti kritik adalah benih-benih otoritarianisme.

Sudah tidak asing bagi kita dengan UU ITE, meskipun banyak dari kita yang belum baca lengkap isi UU tersebut. Tapi sedikit-sedikit tentu kita menjadi paham ketika banyak media yang sering menayangkan berita kasus-kasus dari UU ITE ini.

Pasal ini lalu dikatakan oleh sebagian masyarakat dengan istilah "Pasal Karet". Hal ini tentu beralasan bahwa semua orang bisa saja terjerat UU ITE.

Dilansir dari https://id.safenet.or.id/daftarkasus/ , sudah banyak sekali korban UU ITE hingga akhir 2020. Ada lebih dari seratus korban yang terjerat. Jika dihitung hingga akhir 2021, berapakah jumlah korbannya? Saya sendiri masih mencari data valid terkait hal ini.

Perlu kita ketahui, Pasal Karet bisa dikatakan sebagai warisan jahat kolonial. Mengapa demikian? Karena pada masa pergerakan pun, hal yang sama pernah terjadi. Tentu bunyinya bukan UU ITE.

Dalam buku "Kemunculan Komunisme Indonesia" (2017) karya Ruth T. McVey, terdapat peristiwa menarik yang bisa kita kaitkan dengan Pasal Karet. Zaman Pergerakan memang masa yang penuh dengan semangat perjuangan. Bukan saja untuk kemerdekaan, melainkan juga untuk mempertahankan hak-hak individu pribumi yang memang harus dihormati.

Pada tahun 1923, terjadi pemogokan massal oleh sejumlah buruh di Hindia Belanda. Aksi ini dilakukan atas dasar ekonomi yang kian memburuk, terutama terkait hal upah dan pemecatan sepihak oleh pengusaha baik swasta maupun pemerintah.

Banyak buruh yang kian sengsara. Dan dengan dilahirkannya aturan baru terkait upah, justru semakin memperburuk keadaan. Mengapa demikian? Karena aturan yang dibuat tidak berprinsip keadilan.

Perlu kita ketahui pada masa itu masih diberlakukan sistem kasta kolonial. Dan pribumi menempati kasta terbawah, terkhusus yang bukan dari kalangan priyayi.

Upah yang diberikan kepada pegawai rendahan--yang hampir semuanya pribumi Hindia Belanda-- sangat rendah. Namun pada pegawai menengah ke atas, justru lumayan diuntungkan oleh aturan baru ini. Dari hal ini, timbullah keresahan pada kaum buruh.

Dari peraturan-peraturan itu dan juga peraturan-peraturan cacat yang dibuat sebelum tahun itu, semakin menumbuhkan minat pemberontakan dan pemogokan dikalangan pribumi dan sebagian masyarakat kolonial pro pribumi.

Maka disusunlah rencana pemogokan massal yang diketuai oleh Semaun--pada waktu itu menjadi eksekutif ISDV dan PKI. Ketika rencana sudah dibuat, buruh tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melakukan pemogokan.

Di sisi lain, ternyata pemogokan itu tidak dilakukan oleh keseluruhan kaum buruh di Hindia Belanda, melainkan di Jawa saja. Bahkan di Jawa pun tidak semua buruh ikut. Buruh yang tidak ikut ini beralasan belum ada jaminan terkait antisipasi pemogokan itu.

Semaun yang kala itu menjadi "Diktator Pemogokan", mengatakan serta meyakinkan kaum buruh bahwa dia rela menyerahkan jiwanya demi mereka. Akan tetapi peringatan itu oleh surat kabar lebih dianggap sebagai lelucon.

Dan karena anggapan itu, Semaun pun kehilangan kesabarannya dan mengancam pemogokan akan segera dilakukan. Namun hal ini dikecam oleh beberapa pihak karena belum merupakan masa yang tepat untuk melakukan pemogokan.

Kala itu, belumlah masa panen dan belum ramainya kereta api digunakan. Maka jika melakukan pemogokan, hal itu tidak terlalu berarti bagi para pengusaha.

Namun karena Semaun keras kepala, pemogokan pun terjadi sebelum waktunya dan pada akhirnya menimbulkan kegagalan.

Banyak buruh pada akhirnya kehilangan rumah dan hartanya karena tempat tinggal mereka dihancurkan oleh militer kolonial. Banyak dari korban ini kemudian mengungsi di rumah D.M.G. Koch, salah seorang Eropa yang pro pribumi.

Seorang komisaris polisi memperingatkan bahwa Koch dapat dituntut karena tindakan tersebut. Kata polisi itu "tindakan ini merupakan bentuk dukungan terhadap pemogokan dan pemerintah telah menetapkan hukuman akan diberikan pada setiap bentuk tindakan yang mendukung pemogokan".

Hukum yang mengatur tentang adanya hukuman kepada pemberi perlindungan terhadap peserta pemogokan dan keluarganya terdapat dalam pasal 161 bis.

Hukum tersebut ditambahkan pada hukum kriminal Hindia dua hari setelah pemogokan terjadi.

Hukum itu berbunyi "Barang siapa bertujuan mengganggu ketertiban umum atau mengacaukan kehidupan ekonomi masyarakat, atau mengetahui atau berada dalam posisi yang mengetahui akan terganggunya ketertiban umum atau terganggunya kehidupan ekonomi masyarakat, menyebabkan atau bersekongkol dengan beberapa orang atau meskipun diperintah oleh hukum tetap menolak untuk melaksanakannya karena mereka telah melakukan perjanjian atau mereka terikat oleh pekerjaannya, akan dihukum paling lama lima tahun penjara atau denda paling tinggi sepuluh ribu gulden"

Banyak kelompok yang memprotes peraturan itu, tak terkecuali kelompok sosialis Belanda. Hukum tersebut dibuat agar pemerintah dapat mencegah setiap tindakan yang mungkin dapat diinterpretasikan berhubungan dengan apa yang didefinisikan sebagai pemogokan.

Pasal ini tentu saja bisa menyeret banyak korban tak hanya pribumi saja, bahkan orang Eropa juga. Bahkan membantu dengan alasan kemanusiaan pun bisa dijerat karena dianggap mendukung pemogokan. Banyak kritikan yang tertuju pada pemerintah. Namun pemerintah tak menghiraukan kritikan itu dan kian hari kian menjadi-jadi.

Jadi jelas, bahwa Pasal Karet sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial dan bisa jadi Pasal Karet masa kini merupakan warisan dari Pasal Karet masa lalu. Pasal ini sering kali dijadikan senjata penguasa untuk menghalau segala macam gangguan dari oposan.

***