Siapa Bilang Jokowi Plin-plan soal Pembebasan Baasyir?

Senin, 4 Februari 2019 | 08:33 WIB
0
574
Siapa Bilang Jokowi Plin-plan soal Pembebasan Baasyir?
Abu Bakar Baasyir (Foto: Poskota News)

Dan pada akhrnya lewat Menko Polhukam Wiranto, pemerintah menegaskan masih melakukan kajian atas permintaan pembebasan narapidana kasus terorisme, Abu Bakar Ba'asyir.

"Atas dasar pertimbangan kemanusiaan, Presiden sangat memahami permintaan keluarga tersebut. Namun tentunya masih perlu dipertimbangan dari aspek-aspek lainnya seperti aspek Ideologi Pancasila, NKRI, hukum dan lain sebagainya," jelas Wiranto pada 21 Januari 2019 seperti yang dirilis Polkam.go.id.

Tagar #JokowiBatalCintaUlama pun lantas meramaikan lini masa media sosial. Dan, bukan hanya itu saja, sejumlah pihak menyebut pernyataan Wiranto tersebut sebagai bentuk revisi atas sikap Presiden Jokowi. Ada juga yang mengatakan Jokowi main tarik ulur dalam pembebasan Abu Bakar Baasyir.

Polemik pembebasan narapidana kasus terorisme kembali menyeruak pasca TV One mengangkatnya dalam program Indonesia Lawyer Club yang ditayangkan langsung pada 29 Januari 2019.

Sebenarnya polemik ini tidak perlu terjadi apalagi membesar, bahkan sampai mengambinghitamkan Yusril Ihza Mahendra. Padahal, tindakan Yusril sudah sesuai dengan perintah Jokowi. Dengan demikian, logikanya, menyalahkan Yusril sama saja dengan menyalahkan Jokowi.

Kalau menyimak kasus ini sejak awal kemunculannya yaitu sejak 18 Januari 2019, satu-satunya kesalahan ada pada pendeknya "sumbu" para penikmat berita.

Saat akan mengunjungi ABB pada 18 Januari 2019, di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Yusril menyampaikan maksud Jokowi yang ingin membebaskan ABB. Kata Yusril, Jokowi merasa iba terhadap kondisi kesehatan Abu Bakar Ba'asyir yang sudah menginjak usia 81 tahun dan kondisi kesehatannya yang terus menurun.

Dalam video, pembawa berita TV One menyebut pemerintah akan membebaskan ABB dalam satu-dua hari. Tetapi, masih dari video yang sama, Yusril tidak menyebut soal waktu pembebasan. Yusril hanya mengatakan sudah menemui ABB seminggu yang lalu.

Kemudian, pada hari yang sama, 18 Januari 2019, Jokowi menegaskan pernyataan Yusril.

"Faktor kemanusiaan. Artinya, beliau sudah sepuh. Ya faktor kemanusiaan. Termasuk kondisi kesehatan. Ini pertimbangan yang panjang, pertimbangan sisi keamanan dengan Kapolri, pakar, dan terakhir dengan Pak Yusril. Prosesnya nanti dengan Kapolri. Detailnya tanya ke Kapolri," kata Jokowi saat menyambangi Pondok Pesantren Darul Arqam, Garut.

Isi lengkap pernyataan Jokowi dapat disimak di video ini:

Video inilah dipandang sebagai bukti valid jika pemerintah Jokowi telah memastikan pembebasan ABB. Video ini juga yang digunakan oleh netijen pendukung Prabowo untuk men-skak para netijen pendukung Jokowi.

Sebagaimana yang diberitakan, proses pembebasan ABB diawali dari keluarga ABB yang mengajukan permohonan pembebasan pada 2017. Permohonan ini kemudian ditindaklanjuti Jokowi setelah mendapatkan pertimbangan dari berbagai pihak, termasuk Yusril. Namun demikian, sejumlah opsi yang disodorkan Yusril tersebut pada akhirnya tidak diambil oleh Presiden Jokowi.

Dan, pada akhirnya Jokowi memutuskan tetap menggunakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga,

Sebenarnya ada satu kunci penting dalam polemik pembebasan ABB yang luput dari perhatian. Menariknya, kunci itu justru disodorkan oleh kuasa hukum ABB, Mahendradatta. Mahendradatta mengungkapkan kliennya belum pernah disodori surat pernyataan setia kepada NKRI.

"Tadi siang ustadz bilang kalau belum ada yang menyodorkan, ini siapa yang ngomong, kok bisa tahu duluan," ungkap Mahendradatta saat menemui Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon pada 23 Januari 2019 (Sumber: Tribunnews.com).

Pernyataan serupa juga ditegaskan Mahendradatta saat dijumpai wartawan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Selasa siang, 29 Januari 2019.

"Belum sampai di situ. Belum ada (surat pernyataan setia kepada NKRI)," tegas pengacara ABB ini seperti yang dikutip Tempo.co.

Kedua pernyataan, "belum ada yang menyodorkan" dan "Belum sampai di situ" yang diucapkan Mahendradatta dalam dua kesempatan yang berbeda tersebut menerangkan jika pembebasan ABB sejatinya masih dalam tahap proses alias belum final. Artinya, Jokowi memang belum menyepakati kebebasan ABB. Bisa disimpulkan jika pembebasan ABB baru sebatas ngobrol-ngrobrol santai antara Jokowi dengan ABB.

Dan, seperti yang diberitakan, ABB masih berkeyakinan bila Pancasila adalah thogut. Selain itu, ABB pun menegaskan hanya mau setia kepada Allah SWT, dan tidak akan mematuhi aturan ataupun ideologi lain.

Karena sikap ABB itulah, maka negara tidak bisa memberikan kebebasan bersyarat kepada ABB.dan pada akhirnya tidak membebaskan pimpinan Jamaah Anshorut Tauhid tersebut.

Tidak Dibebaskannya Abu Bakar Baasyir Bukti Negara Tidak Tunduk pada Teroris 

Abu Bakar Baasyir bukan hanya dikenal sebagai godfather bagi kelompok teroris di Indonesia, melainkan juga di Asia Tenggara. Dengan statusnya itu, kematian ABB di dalam tahanan dapat menjadi martir bagi kelompok-kelompok teroris yang saat ini tengah beroperasi di Indonesia.

Dan, tentu saja, kematian Abu Bakar Baasyir (ABB) kelak di tengah tahun politik jelang Pemilu 2019 ini pastinya dapat membahayakan stabilitas keamanan. Selain itu, diperkirakan akan ada sejumlah pihak yang menunggangi kematian ABB untuk kepentingan kelompoknya.

Jika pilihan Jokowi adalah demi kepentingan stabilitas keamanan, bisa saja Jokowi memutuskan pembebasan tanpa syarat bagi ABB. Tetapi, pembebaskan tanpa syarat yang harus melewati salah satu "pintu" justru memiliki konsekuensi yang sangat berat.

Semisal, memberikan amnesti kepada ABB. Dengan pemberian amnesti, ABB dinyatakan tidak bersalah atas tindakan yang dilakukannya. Akibatnya rasa kemanusiaan dan keadilan akan terusik.

Namun, apapun itu pembebasan tanpa syarat bagi ABB pastinya akan memunculkan stigama bahwa negara takut atau tunduk pada teroris serta ancamannya. Stigma negatif ini pastinya sangat tidak diharapkan oleh negara mana pun.

Dengan demikian, keputusan Jokowi yang pada akhirnya tidak memilih opsi yang ditawarkan Yusril merupakan keputusan bijak, bukan sikap plin-plan seperti yang didengung-dengungkan banyak kalangan.

 

***