Kembali Ke Tiga Bangunan Biru

Minggu, 28 Oktober 2018 | 05:53 WIB
0
489
Kembali Ke Tiga Bangunan Biru

Saya bisa ke Panmunjom lagi. Rabu minggu lalu. Kali ini dari sisi Korea Utara.

Saya pernah ke Panmunjom. Sekitar 35 tahun lalu. Dari sisi Korea Selatan.

Yang dilihat sama: tiga bangunan beratap biru itu. Sampai saya ke situ minggu lalu bentuk bangunannya masih sama. Warna catnya tidak beda.


Di bangunan biru yang tengah itulah! Perundingan antara Korea Utara dan Selatan selalu dilakukan.

Lihatlah tanah di antara bangunan biru itu: ada garis beton melintang. Itulah batas Korea Utara dan Selatan. Berarti separo bangunan tersebut masuk wilayah utara. Dan separonya lagi selatan.

Garis beton itu bersejarah lagi April lalu. Agak mengharukan. Mengaduk emosi.

Empat bulan lalu itu Pemimpin Korea Utara melangkah ke arah garis beton tersebut. Sendirian. Presiden Korea Selatan berdiri di selatan garis itu. Sendirian. Siap menyambut tamunya itu.

Kim Jong-Un melangkahi garis itu. Menginjakkan kaki di tanah Korea Selatan. Moon Jae-In menyambutnya. Dengan mengulurkan tangan. Salaman. Dan senyuman.

Moon Jae-In lalu berkata: Anda sudah ke Korea Selatan. Kapan saya bisa ke Korea Utara?

Kim Jong-Un mungkin tidak menyangka sambutan yang begitu bersahabat. Mungkin juga tidak menyangka mendapat pertanyaan mendadak itu. Kim Jong-Un ternyata tidak kalah. Dalam menunjukkan sikap bersahabatnya.

”Sekarang saja,” jawab Kim Jong-Un. Sambil menarik tangan ‘musuh’-nya itu. Agar kakinya melangkahi garis beton itu. Menginjak tanah Korea Utara.

Selanjutnya Anda semua sudah tahu. Yang disiarkan berulang-ulang di TV seluruh dunia itu: mereka berjalan berdua, berdampingan, sambil tangan Kim Jong-Un memegang tangan Moon Jae-In. Menuju gedung pertemuan itu. Di gedung yang di belakang itu. Bukan di gedung megah yang di depan itu. 

Dulu, dari arah Korea Selatan, saya tidak melihat satu orang pun di seberang sana. Kecuali beberapa tentara Korea Utara.

Kini, minggu lalu, kalau dilihat dari arah Korea Selatan pasti mengejutkan: begitu banyak turis yang melihat perbatasan ini. Di sisi Korea Utara. Salah satunya: saya.

Tengah hari seperti ini, di bulan Oktober yang sejuk seperti ini, memang lagi ‘musim kedatangan’ turis.

Mereka umumnya baru berangkat dari Pyongyang jam 8 pagi. Naik bus wisata. Yang dikoordinasikan travel milik negara.

Saya naik mobil kecil. Bisa lebih cepat: tiga jam. Jarak Pyongyang-Panmunjom sebenarnya hanya 200 km. Tapi jalannya kurang mulus. Tidak ada yang berlubang tapi juga sering ada gronjalan.

Sepanjang perjalanan saya tidak tidur. Mengamati pertanian. Persawahan. Perumahan.

Saya ingat masa kecil saya. Di desa Tegalarum. Di pelosok Magetan. Lebih 50 tahun lalu.

Cara bertaninya masih seperti itu.

Kelihatannya baru saja musim panen. Tinggal beberapa petak yang masih ada padinya. Ribuan tumpukan jerami masih dionggokkan di sawah yang kering. Diangkuti dengan cara dipanggul di pundak. Atau di punggung. Persis seperti yang saya lakukan dulu.

Jerami itu dibawa ke sebuah gerobak. Dinaikkan ke gerobak itu. Seekor sapi sudah siap menariknya.

Teman Korut saya menjawab semua pertanyaan saya. Di bidang pertanian ini. Sistemnya, programnya, produktivitasnya. Tapi saya masih akan mengecek lagi angka-angkanya.

Semakin mendekati Panmunjom terasa: banyak pos penjagaan. Tidak perlu turun dari mobil. Teman saya cukup mengajungkan tanda di tangannya — entah apa itu.

Baru di pos terakhir ini: ramainya bukan main. Bus-bus berdatangan. Berkumpul di satu pelataran. Pemeriksaan paspor. Tour guide nya yang memproses paspor itu. Secara berkelompok. Sesuai grupnya. Sementara paspor diproses bus-bus itu melintasi batas demarkasi. Lewat jalan khusus.

Penumpangnya jalan kaki. Melewati pintu itu. Mencari bus masing-masing. Yang sudah menunggu di sana. Itulah wilayah bebas tentara. Bebas senjata. Sejauh 2 km di wilayah Korea Utara. Dan 2 km di wilayah selatan.

Dari batas itu naik bus lagi. Sejauh 2 km itu. Menuju perbatasan. Yang ada gedung besar di sisi utara. Dan gedung besar di selatan.

Di antara dua gedung itulah yang penting: tiga bangunan biru itu.

Saya masuk gedung besar itu. Naik ke lantai atas. Menuju teras. Melihat tiga bangunan biru dari atas. Juga melihat wilayah Korea Selatan.

Sekitar seribu turis juga melakukan hal yang sama. Bergantian. Sesuai grup masing-masing. Dengan bayangan sejarah: yang memisahkan bangsa Korea.

***

Dahlan Iskan