Dari Bung Karno Hingga Jokowi

Jokowi tidak hanya berani mengawali langkah, tetapi bahkan melangkah dengan sepenuh hati, tanpa keraguan sedikitpun, apapun hasilnya. Karena ia, melaksanakan amanat Konstitusi.

Jumat, 8 Juli 2022 | 06:21 WIB
0
134
Dari Bung Karno Hingga Jokowi
Bung Karno Nikita, Putin dan Jokowi (Foto: fajar.co.id)

Kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia adalah sebuah langkah dramatik. Dalam tempo sangat pendek, Jokowi bersama Ibu Negara Iriana mengunjungi Ukraina (29 Juni 2022) dan bertemu Presiden Volodomyr Zelensky di Kyiv lalu bertemu Presiden Vladimir Putin di Kremlin, Moskwa, pada 30 Juni 2022.

Dengan kunjungan itu, Jokowi menjadi pemimpin Asia pertama yang mengunjungi dua negara yang tengah terlibat konflik bersenjata. Yang lebih penting lagi, dengan misi yang dibawa dalam kunjungan tersebut, Jokowi menegaskan sumbangan dan peran serta Indonesia dalam usaha menciptakan perdamaian dunia. Inilah misi yang ditegaskan oleh Konstitusi 1945.

Sejarah Mencatat

Komitmen Indonesia akan perdamaian sangat jelas, nyata, dan kuat. Sebab, komitmen itu tertulis dalam Pembukaan Konstitusi, alenia keempat. “….ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ….”

Akan tetapi, “berhenti” pada alenia itu saja tidak cukup. Amanat itu, harus diwujudkan. Untuk mewujudkan harus ada niat yang tulus, harus ada krenteg ing ati, kehendak hati yang kuat dan tulus.

Maka sejak presiden pertama, Soekarno usaha untuk mewujud-nyatakan amanat konstitusi itu sudah dilakukan. Upaya pertama Indonesia dilakukan dengan mengadakan Konferensi Asia-Afrika, 18 – 24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung.

Inilah konferensi yang melahirkan Gerakan Non-Blok (1 September 1961 di Beograd, Yugoslavia). Gerakan Non-Blok (GNB) adalah sebuah gerakan yang menentang berbagai bentuk kejahatan internasional: imperialisme, neo-kolonialisme, kolonialisme, apartheid, rasisme, agresi militer, dan dominasi satu kubu di politik dunia: Blok Barat dan Blok Timur. GNB juga bertujuan untuk mengakhiri Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.

Kata Soekarno, pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah salah satu contoh bentuk imperialisme dan kolonialisme. Karena itu, harus ditentang. Maka selama pemerintahannya, Soekarno menolak untuk meresmikan hubungan diplomatik dengan Israel.

Indonesia memiliki peran penting dalam pendirian Gerakan Non Blok maupun aktivitas organisasi tersebut. Mulai dari langkah Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dan ingin meredakan ketegangan dunia akibat perang dingin, hingga upaya memelihara perdamaian internasional.

Presiden RI ke-2 Soeharto, pada 13 Maret 1995 melawat ke Bosnia-Herzegovina, negeri yang sedang dicabik-cabik perang saudara, yang telah nenewaskan ribuan orang dan kehancuran. Perang itu melibatkan etnis-etnis Bosnia Herzegovina yang memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing.

Ketika itu, Soeharto  adalah ketua GNB. Dia berharap bahwa kunjungannya itu–selain sebagai bentuk perhatian, simpati, dan kepedulian pada umat Muslim Bosnia yang menjadi obyek serangan etnis lainnya–dapat memberikan sumbangan pada perdamaian, menjadi penengah konflik (Sjafrie Sjamsoeddin dalam buku Pak Harto, The Untold Stories  2011).

Presiden Abdurrahman Wahid pun, tidak berbeda dengan Soekarno: mendukung hak bangsa Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri (right to self-determination). Selain itu, Gus Dur yang selalu menekankan pentingnya perdamaian, kemanusiaan, toleransi beragama  dan pluralisme,  juga bertindak sebagai pelopor perdamaian Israel-Palestini

Gus Dur menempuh jalan yang berbeda dalam mendukung bangsa Palestina. Ia tidak hanya beretorika, tetapi mengunjungi Israel dan Palestina serta bertemu dengan para pemimpinnya. Berkali-kali Gus Dur menemui mereka. Gus Dur juga mendukung Kesepakatan Oslo 1993.

Usaha untuk ikut ambil bagian menciptakan perdamaian dunia sesuai amanat konstitusi juga dilakukan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Presiden kelima ini, dipercaya oleh pemerintah Korea Selatan untuk menjadi utusan khusus mengupayakan terciptanya perdamaian abadi antara Korea Selatan dan Utara (Kontan.co.id).

Permintaan itu disampaikan Kim Seok-Ki, Wakil Ketua DPR dan Sekretaris Presiden Korsel, ketika Megawati menghadiri pelantikan Presiden Yoon Suk-yeol (Mei 2022).

Kim Seok-Ki mengatakan,  pemerintah dan rakyat Korsel memandang Megawati sebagai tokoh dunia penting yang merupakan sedikit tokoh yang diterima di Korea Utara dan Korea Selatan. Megawati memiliki kedekatan personal, kultural dan sejarah dengan Korea Utara terkait dengan hubungan baik yang dijalin ayahnya, Presiden Soekarno dengan pemimpin Korea Utara waktu itu Kim Ill Sung.

Megawati pernah melakukan kunjungan dramatik dan historis ke Korea Utara–yang oleh Presiden AS George W Bush disebut sebagai anggota “poros setan”–pada 28 – 30 Maret 2002. Ia ke Pyongyang bertemu pemimpin Korut, Kim Jong Il. Ini pertemuan kedua bagi mereka. Pertemuan pertama pada 1965. Saat itu, Kim Jong Il ikut ayahnya, Kim Il Sung berkunjung ke Indonesia.

Perhatian terhadap perdamaian Palestina juga diberikan ole Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada 31 Juli 2014, SBY membuat surat terbuka yang dimuat dalam bahasa Inggris di Harian Strait Times  terkait konfik Palestina-Israel.

Dalam suratnya, SBY menyatakan  prihatin terhadap tragedi kemanusiaan di Jalur Gaza. Ia meminta kepada berbagai pihak yang berkonflik untuk segera mengakhiri pertikaian mereka, dan menempuh jalan damai segera, tanpa menunda-nunda.

Ukraina-Rusia

Jelaslah kiranya, kunjungan Jokowi didampingi Ibu Iriana ke Ukraina dan Rusia, mempertegas komitmen kuat Indonesia  mendukung perdamaian; tidak hanya perdamaian Ukraina, tetapi juga perdamaian dunia.  Kunjungan itu juga menunjukkan betapa tebalnya bela rasa, compassion, rasa kepedulian, welas asih, dan kemanusiaan bangsa Indonesia terhadap bangsa lain.

Tetapi, perlu dipahami bahwa perdamaian, memang, tidak bisa begitu saja terwujud. Perdamaian adalah suatu proses. Membangun perdamaian abadi membutuhkan waktu. Jalan menuju perdamaian berliku-liku, naik-turun, panjang, tidak terduga, dan tidak semuanya lurus.

Proses perdamaian ini yang oleh Timothy D. Sisk (2001), digambarkan sebagai “langkah-demi-langkah, langkah timbal balik untuk membangun kepercayaan, menyelesaikan masalah-masalah berat seperti perlucutan senjata, dan dengan hati-hati menentukan masa depan melalui desain lembaga politik baru.”

Dalam istilah lain, kata Timothy proses perdamaian adalah tarian langkah-langkah yang rumit–dikoreografikan oleh mediator pihak ketiga–di antara pihak-pihak yang berkonflik yang membantu untuk secara bertahap bertukar perang dengan perdamaian.

Maka itu beranggapan bahwa setelah Jokowi bertemu dengan Zelensky dan Putin, segera perang berakhir dan disepakati perdamaian adalah terlalu berlebihan. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi adalah langkah awal, langkah pembuka untuk ke langkah-langkah selanjutnya.

Jokowi tidak hanya berani mengawali langkah, tetapi bahkan melangkah dengan sepenuh hati, tanpa keraguan sedikitpun, apapun hasilnya. Karena ia, melaksanakan amanat Konstitusi.

***