Tantangan dan Gangguan bagi Pelaksanaan Pemerintahan di Berbagai Negara

Badan meteorologi PBB itu menegaskan bencana-bencana tersebut telah menewaskan 2 juta orang lebih dan menimbulkan kerugian setidaknya US$3,64 triliun.

Kamis, 18 November 2021 | 04:27 WIB
0
137
Tantangan dan Gangguan bagi Pelaksanaan Pemerintahan di Berbagai Negara
Globalisasi (Foto: hipwee.com)

Selama tahun 2021, tantangan yang dihadapi Pemerintahan di sejumlah negara termasuk Indonesia adalah belum meredanya penyebarluasan bahkan mutasi Covid-19 yang menyebabkan beberapa negara “terpaksa” melakukan lockdown, menunda investasinya, merevitalisasi perekonomian nasionalnya pasca hempasan Covid-19 dan sejumlah kebijakan lainnya yang harus dan perlu ditempuh agar pemerintahan dan pelayanan publik dapat berjalan maksimal.

Ada beberapa faktor ke depan yang dapat mengganggu kinerja keuangan negara, sehingga berpotensi K/L sulit mewujudkan perjanjian kinerja yaitu adanya varian baru Covid yang tidak mati walau kita sudah vaksin yaitu Delta A.Y 42.

Selain Covid, dinamika global dan regional lainnya yang mempengaruhi yaitu kebijakan AS, Eropa dan Tiongkok yang memiliki kemampuan spillover perekonomian global contohnya "demam keuangan" yang dihadapi perusahaan konstruksi terbesar di Tiongkok, Evergrande akibat OBOR dan kebijakan Tapering The FED memengaruhi inflasi global dan disrupsi supply chain yang menyebabkan kenaikan harga komoditas dan pemasukan uang bagi banyak negara yang otomatis APBN beberapa negara akan terkontraksi/tertarik ke arah negatif dan bleeding. Tantangan mematikan lainnya adalah perubahan iklim (climate change) dan krisis energi.

Selain itu, tantangan dan kecenderungan global yang akan dihadapi pemerintahan di banyak negara antara lain tuntutan pelengseran pemerintahan yang selama tahun 2021 banyak terjadi di beberapa negara akibat kesalahan mendiagnosa permasalahan yang menyebabkan kesalahan dalam mengambil kebijakan, serta residu-residu permasalahan lainnya di tahun 2021 yang diperkirakan masih akan terjadi di tahun 2022 mendatang.

Residu tahun 2021

Beberapa permasalahan yang masih berpotensi akan mengganggu jalannya pemerintahan di beberapa negara di tahun 2022 sebagai kelanjutan residu permasalahan di tahun 2021 antara lain : Covid-19 masih terus merebak disejumlah negara. Bencana Covid-19 juga menyebabkan kurangnya bantuan luar negeri dari berbagai negara maju ke negara berkembang seperti di Timur Tengah dan Afrika Utara seperti dikemukakan Menteri Inggris urusan Timur Tengah dan Afrika Utara, James Cleverly bahwa bantuan luar negeri hanya 0,5% dari produk domestik bruto.

Sebelumnya, Inggris telah melakukan pengurangan bantuan ke Yaman yang dilanda perang dan kelaparan dari $233,36 juta menjadi $87 juta, walaupun pengurangan bantuan tersebut akan mengakibatkan kematian jutaan orang.

Pengaruh langsung akibat minus pertumbuhan ekonomi adalah bertambahnya angka pengangguran disusul dengan berkurangnya lapangan pekerjaan dan meningkatnya angka kemiskinan, pengaruh langsung yang terjadi adalah permasalahan sosial diseluruh negara, seperti di Bogota, Ombudsman Kolombia melaporkan 23 orang demonstran dan 1 orang anggota polisi tewas dalam bentrokan selama aksi unjuk rasa menolak undang-undang reformasi pajak yang diajukan Pemerintahan Presiden Ivan Duque.

Covid-19 yang terjadi di beberapa negara juga menyebabkan Pemerintahan setempat dilanda sejumlah aksi unjuk rasa antara lain pertama, terjadi di Brasilia, ribuan masyarakat Brazil melakukan aksi unjuk rasa nasional di 26 negara bagian mengecam Presiden Jair Bolsonaro yang gagal mempercepat program vaksinasi yang dipolitisasi kelompok oposisi pemerintah untuk mengajukan mosi tidak percaya di parlemen.

Sebelumnya, Pengadilan Brazil membuka penyelidikan terhadap Presiden Jair Bolsonaro terkait pernyataannya yang mengklaim adanya potensi kecurangan dalam sistem pemungutan suara elektronik dalam Pemilu 2022. Sebelumnya, Datafolha Institute merilis hasil survei yang menunjukkan bahwa tingkat popularitas Bolsonaro hanya sebesar 26%, sedangkan Mantan Presiden Luiz da Silva memperoleh dukungan sebesar 44%.

Unjuk rasa juga terjadi di Tunis, Tunisia, ribuan rakyat Tunisia melakukan aksi unjuk rasa menuntut turunnya Presiden Kais Saied menyusul kebijakannya menangguhkan konstitusi yang dinilai merupakan langkah memperkuat posisi dirinya. Selain itu, sekitar 20 kelompok HAM di Tunisia juga mengeluarkan pernyataan bersama, bahwa kebijakan Presiden Saied tersebut sebagai 'langkah awal menuju pemerintahan otoriter'. Sebelumnya, 113 anggota partai Ennahda, termasuk 8 anggota parlemen dan mantan menteri mengundurkan diri dari keanggotaan partai karena dinilai gagal melawan kebijakan Presiden Kaies dan buruknya reformasi internal partai.

Kehakiman militer Tunisia telah memenjarakan 2 anggota parlemen dari Partai Kamara yang dinilai cukup vokal mengkritik kebijakan Presiden Saied, menjadikan total anggota parlemen yang dipenjara menjadi 5 orang.

Tuntutan pelengseran pemerintahan juga terjadi selama tahun 2021 di ranah global baik melalui aksi unjuk rasa (Armenia, Thailand, dan Guatemala), rencana kudeta (Serbia, Sudan, Somalia, dan Guinea), ketidakpercayaan terhadap kabinet baru (Libya dan Lebanon), dugaan intervensi asing atas permasalahan internal sebuah negara (Spanyol yang menuduh Rusia mendukung pemisahan diri daerah otonom Catalonia dari Spanyol dan ekses Pashinyan memprotes kegagalan sistem rudal “Iskander” buatan Rusia dalam perang Nagorno-Karabakh melawan Azerbaijan serta Richard Norland (Dubes AS untuk Libya) menyatakan mosi tidak percaya parlemen kepada pemerintah, tidak akan mempengaruhi tugas pemerintah dalam menyelenggarakan Pemilu pada 24 Desember 2021), hasutan untuk melakukan pemogokan massal (India), pembunuhan tokoh pemerintahan dan sinisme terhadap tokoh pemerintahan (Ukraina dan Perancis).

Unjuk rasa di Armenia terjadi ketika 5.000 warga Kota Yerevan bersama kelompok oposisi, mendesak petinggi "Khorhrdaran atau parlemen" menurunkan Nikol Pashinyan dari jabatan Perdana Menteri (PM) sebagai protes kekalahan Armenia dalam perang Nagorno-Karabakh versus Azerbaijan yang dianggap sebagai penghinaan nasional diduga ada keterlibatan Rusia.

Unjuk rasa di Kota Guatemala, menuntut dugaan korupsi Presiden Alejandro Giammattei dari sejumah perusahaan asal Rusia terkait ijin pengelolaan salah satu dermaga di Pelabuhan Pelabuhan Santo Thomas de Castilla.

Unjuk rasa anti pemerintah dikoordinir kelompok Thalu Fah terjadi di Thailand yang menuntut PM Prayut Chan-o-cha untuk mengundurkan diri dari jabatannya, karena dinilai otoriter dan bukan pemimpin pilihan rakyat.

Sementara itu, rencana atau percobaan kudeta juga dihadapi Presiden Aleksandar Vucic di Serbia menyusul ditemukannya penyadapan secara ilegal terhadap Vucic dan keluarganya sebanyak 1.572 kali, yang dilakukan oleh oknum pejabat tinggi Kemendagri dan partai pengusung Vucic, Partai Progresif Serbia.

Kementerian Luar Negeri AS mengecam kudeta yang dilakukan pasukan khusus Guinea pada Pemerintahan Presiden Alpha Conde karena dinilai akan merusak kestabilan keamanan di negara tersebut, termasuk kepentingan kerjasama dengan AS maupun mitra internasional lainnya.

Spanyol yang menuduh Rusia mendukung pemisahan diri daerah otonom Catalonia dari Spanyol setelah adanya kunjungan penasihat mantan kepala pemerintah Catalonia, Josep Luis Alay ke Moskow pada 2019 untuk meminta dukungan politik kepada Rusia.

PM Roble memecat Menteri Keamanan serta Kepala Badan Intelijen dan Kemanan Somalia, dampaknya Presiden Somalia, Mohamed Farmajo mencabut kekuasaan Mohamed Roble karena membuat keputusan sepihak tanpa berkonsultasi dengan Presiden, dan mengambil keputusan yang tidak sejalan dengan hukum dan konstitusi negara, sehingga dinilai mengancam stabilitas keamanan dan politik nasional.

Trend lainnya yang dihadapi pemerintahan di Ukrania yaitu pembunuhan tokoh pemerintahan terjadi ketika penasihat utama Presiden Volodymyr Zelensky, Serhiy Shefir ditembak orang tidak dikenal terkait dengan upaya pemerintah memerangi korupsi bersamaan dengan akan dilaksanakannya pembahasan UU Pengurangan Pengaruh Oligarki serta dan sinisme terhadap tokoh pemerintahan Macron di Perancis, terjadi ketika Presiden Emmanuel Macron dilempari telur ketika berkunjung ke pameran perdagangan di Lyon yang viral di media sosial.

Permasalahan HAM dan demokrasi

Sementara itu, kampanye urgensi HAM dan demokrasi serta isu pelanggaran HAM yang terjadi di beberapa negara juga turut mewarnai dinamika masalah ini di Indonesia.

Isu demokratisasi dan HAM tetap menjadi agenda utama negara-negara pengusung demokrasi yaitu AS dan Eropa yang dikembangkan sebagai alat untuk menekan negara lain. Indikasi ini terlihat dari adanya pembatasan terhadap produk olahan sawit Indonesia dengan alasan kerusakan lingkungan dan isu HAM. Sorotan terhadap produk dari Tiongkok yang diproduksi dengan menggunakan narapidana menjadi isu untuk membatasi produk Tiongkok ke pasar Eropa.

NGO internasional dan LSM lokal seperti Amnesti Internasional, Human Right Watch dll melakukan monitoring dan pengawasan terhadap praktek demokrasi di negara-negara lain dan menyoroti pelanggaran HAM dan menjadi alat utk memperlemah posisi tawar yang merugikan negara tersebut. Sebaliknya negara beraliran sosialis yang kuat seperti Rusia dan Tiongkok mampu membatasi tekanan dari pihak luar meskipun negara tersebut kerap menggunakan kekerasan kepada pihak oposisi ataupun kelompok yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah.

Beberapa pemicu yang menyebabkan munculnya Islamophobia bahkan mengancam maraknya intoleransi di Indonesia, sehingga berpotensi menciptakan destabilisasi pemerintahan dalam bentuk degradasi kepercayaan walaupun pemicunya berasal dari beberapa negara yang kebijakan Pemerintahannya mencerminkan Islamophobia seperti kebijakan larangan pemakaian burqa dan niqab bagi wanita di tempat umum di beberapa negara Eropa; Kebijakan melarang salat dan praktik keagamaan lainnya di kampus di salah satu negara Eropa; UU untuk menutup lebih dari 700 sekolah Islam (madrasah) yang dikelola Pemerintah salah satu negara di Asia Selatan dan lain-lain.

Krisis Energi

Beberapa negara mulai mengalami krisis energi dan membakar batu bara lebih banyak lagi untuk menjaga ketahanan energinya. Hal ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga komoditas yang kemudian pada akhirnya diikuti dengan peningkatan harga bahan baku dan logistik.

Meningkatnya harga energi di Singapura membuat harga pangan diperkirakan ikut melonjak dalam beberapa bulan mendatang. Hal ini disampaikan oleh Menteri Perdagangan dan Industri Gan Kim Yong. Dia mengatakan harga energi berkontribusi pada biaya pangan global. Ia menyarankan pemasok mungkin perlu menyesuaikan harga saat terjadinya kenaikan biaya.

Singapura mengalami lonjakan harga listrik yang tinggi yang menyebabkan negara ini mengalami krisis energi global. Krisis ini berdampak pada biaya produksi yang lebih tinggi, biaya hidup, dan perekonomian negara secara keseluruhan. Penyebab krisis energi ini adalah harga gas alam yang telah melonjak akibat meningkatnya permintaan.

Sementara di sisi lain, produksi gas mengalami penurunan sebesar 27,5 persen. Gas alam dipilih oleh Singapura untuk menghasilkan listrik karena stabilitasnya dinilai baik. Dampak dari krisis ini menyebabkan dua pengecer listrik iSwitch dan Ohm Energy menghentikan operasi mereka di Singapura.

Selain Singapura, negara lainnya yang dihantam krisis energi adalah Tiongkok yang mengalami berkurangnya pasokan listrik yang krusial untuk industri dan rumah tangga. Oktober 2021, krisis ini telah membuat 20 provinsi dan wilayah mengalami pemadaman listrik dalam beberapa bulan terakhir. Pemadaman ini diketahui bisa terjadi hingga beberapa kali dalam sehari antara lain terjadi di Kota Liaoning.

Tiongkok mengalami defisit energi yang membuat pemadaman sering terjadi di negara ini. Dalam setiap harinya, pemadaman terjadi beberapa kali di 20 provinsi dalam beberapa bulan terakhir. Sebanyak 15 perusahaan mengalami gangguan produksi karena pembatasan listrik.
Sebagai negara yang dilanda krisis energi, China memiliki target untuk mengurangi emisi karbon di tahun 2030 dengan mulai menghentikan operasional pembangkit batu bara dengan energi terbarukan. Dalam realisasinya, China membutuhkan 100 giga watt pembangkit tenaga surya, dan 50 giga watt tenaga angin untuk setiap 5% kenaikan konsumsi.

Krisis energi di Tiongkok terjadi karena tidak terlepas dari ambisi Presiden Xi Jinpingdalam mengurangi emisi karbon pada 2030. Jinping berencana untuk mulai menghentikan operasional pembangkit batu bara dan menggantinya dengan energi terbarukan. Untuk mencapai target itu, dibutuhkan pembangunan 100 giga watt pembangkit tenaga surya dan 50 giga watt tenaga angin setiap tahun untuk menyeimbangkan kenaikan konsumsi sebesar 5%. Hal ini jauh dari pertumbuhan energi terbarukan tahunan China yang baru mencapai setengah dari itu.

Krisis energi yang melanda Inggris sampai membuat banyak pabrik harus menutup operasionalnya lantaran mahalnya harga gas dan listrik. Sebagian besar industri di Inggris memang mengandalkan gas alam dan listrik dalam produksi mereka.

Inggris merupakan salah satu negara yang dilanda krisis energi. Hal ini dipicu oleh London yang ingin fokus dengan bahan bakar rendah emisi yang menyebabkan pembangkit batu bara mulai dinonaktifkan dan gas alam menjadi primadona energi.

Permintaan gas mengalami kenaikan yang signifikan yang ditambah dengan perbaikan ekonomi pasca pandemic dan musim dingin. Namun, permintaan yang tinggi tidak sesuai dengan persediaan yang terbatas yang disebabkan oleh penghentian fasilitas produksi di AS, manipulasi perusahaan gas Rusia Gazprom, dan lain sebagainya. Faktor tersebut menyebabkan harga gas alam melonjak 250% sejak Januari 2021.

Sebagai negara dengan penduduk terbanyak kedua di dunia, India dihantam krisis energi. India merupakan negara yang bergantung pada bahan bakar untuk dapat menghasilkan sekitar 70% listrik negara. Sebanyak 63 dari 135 PLTU di India menyatakan persediaan batubara hanya cukup untuk beberapa hari kedepan.

Selain itu, 17 PLTU bahkan tidak memiliki stok batu bara. Level ini telah masuk kedalam level terendah dalam beberapa tahun. Krisis ini juga disebabkan oleh permintaan dan penawaran yang tidak sesuai. Ini terjadi terutama ketika memasuki bulan Oktober dimana India memasuki musim festival yang meningkatkan jumlah konsumsi energi.

Keadaan ini diperparah oleh kelangkaan batu bara yang salah satunya diakibatkan bencana banjir parah yang terjadi beberapa waktu lalu. Mengatasi keadaan ini, perusahaan di India berusaha mencari tambahan suplai batu bara.

Jerman mengalami krisis energi yang diakibatkan oleh kemacetan rantai pasokan suplai gas. Sementara di sisi lain terjadi kenaikan permintaan seiring dengan pemulihan ekonomi dan juga relaksasi mobilitas setelah Covid-19. Krisis inipun sudah mulai menyebar ke daratan Eropa lainnya.

Hal ini menyebabkan tertundanya produksi di sejumlah industri seperti industri berat dan otomotif di beberapa lokasi. Harga bahan bakar juga mengalami peningkatan sebesar tiga kali lipat yang menyebabkan Jerman mengalami inflasi tertinggi. Mengatasi hal ini, Pemerintah Jerman berencana menurunkan retribusi listrik secara drastis mulai tahun depan.
Krisis energi global nyatanya sudah mulai dirasakan di Amerika Serikat (AS). Hal ini terlihat dari proyeksi penyedia energi pemanas negara itu yang menyebut akan ada kenaikan tarif pada musim dingin. Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menyebutkan bahwa kenaikan ini disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar. Itu akibat permintaan yang melampaui suplai. Hampir setengah dari rumah tangga AS bergantung pada gas alam untuk panas. Dengan biaya rata-rata untuk rumah tersebut diperkirakan akan naik 30% menjadi US$ 746 (Rp 10,6 juta) untuk periode Oktober-Maret dibanding bulan yang sama di tahun 2020, yang masih berada dalam kisaran US$ 573 (Rp 8,15 juta).

Sebelumnya hal yang sama juga disampaikan beberapa perusahaan utilitas. Mereka mencemaskan defisit bahan bakar benar-benar terjadi pada musim dingin ini dan memicu pemadaman. Untuk menutup defisit ini, beberapa penyedia layanan utilitas telah beralih ke batu bara. Diperkirakan Negeri Paman Sam akan mengalami kenaikan konsumsi bahan bakar dengan polutan tinggi itu hingga 23.%. Ini cukup bertentangan dengan komitmen negara itu terhadap batu bara. Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden menekankan janjinya dalam investasi sebesar US$ 2 miliar (Rp 28 triliun) untuk mendukung negara-negara berkembang agar beralih dari pembangkit listrik tenaga batu bara.

Perubahan Iklim

Selain pandemi Covid-19, dunia kini juga menghadapi ancaman nyata yang sama bahayanya yaitu perubahan iklim (climate change). Perubahan iklim terjadi akibat meningkatnya emisi karbon sehingga meningkatkan tingkat suhu bumi. Penelitian terbaru dari Amerika Serikat (AS) menyebutkan jika tidak ada perubahan, maka 95% permukaan laut Bumi menjadi tak layak huni pada 2100. Penelitian tentang perubahan iklim ini telah dilakukan sejak abad ke-18. Mereka pun memprediksi bagaimana emisi karbon mempengaruhi dunia pada 2021.

Sebagian besar kehidupan laut didukung oleh permukaan laut yang dicirikan oleh suhu air permukaan, keasaman, dan konsentrasi mineral arogonit yang dibutuhkan mahkluk laut guna membuat tulang atau cangkang. Namun dengan meningkatnya tingkat CO2 (karbon dioksida) di atmosfer, setidaknya dalam tiga juta tahun, ada kekhawatiran suhu permukaan laut mungkin menjadi kurang bersahabat dengan spesies yang hidup di sana, seperti dikutip dari Nature World News, Sabtu (2/10/2021).

Laut yang lebih panas, lebih asam, dan memiliki lebih sedikit mineral yang dibutuhkan bagi kehidupan laut untuk berkembang menjadikan laut tidak layanan huni bagi mahkluk laut.
Menurut penulis utama dari penelitian ini Katie Lotterhos dari Pusat Ilmu Kelautan Universitas Northeastern, perubahan komposisi lautan sebagai akibat dari polusi karbon kemungkinan akan mempengaruhi semua spesies permukaan.

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat jumlah bencana, seperti banjir dan gelombang panas (heatwave), akibat perubahan iklim meningkat lima kali lipat selama 50 tahun terakhir.

Tidak hanya itu, deretan bencana ini juga menewaskan lebih dari 2 juta orang dan menelan kerugian total US$ 3,64 triliun atau sekitar Rp 51.981 triliun (asumsi Rp 14.200/US$).
Survei WMO menyebutkan sekitar 11.000 bencana yang terjadi antara 1979-2019, termasuk bencana besar seperti kekeringan 1983 di Ethiopia, peristiwa paling fatal dengan 300.000 kematian, dan Badai Katrina di Amerika Serikat (AS) pada 2005 yang membuat kerugian US$ 163,61 miliar.

Laporan tersebut menunjukkan tren yang semakin cepat, dengan jumlah bencana meningkat hampir lima kali lipat dari tahun 1970-an hingga dekade terakhir. Ini menambah tanda-tanda bahwa peristiwa cuaca ekstrem menjadi lebih sering karena pemanasan global.

WMO mengaitkan frekuensi yang meningkat dengan perubahan iklim dan pelaporan bencana yang lebih baik. Biaya dari peristiwa tersebut juga melonjak dari US$ 175,4 miliar pada 1970-an menjadi US$ 1,38 triliun pada 2010-an ketika badai seperti Harvey, Maria dan Irma melanda AS.

Pada 1 September 2021 di Beijing, Menlu RRT, Wang Yi mengadakan pertemuan virtual dengan utusan AS untuk masalah iklim, John Kerry membahas permasalahan iklim global. Dalam pertemuan itu, Menlu Wang mendorong AS untuk mengesampingkan perbedaan kedua negara guna meningkatkan kemitraan dalam rangka mewujudkan dialog dan kerja sama bilateral guna menghasilkan kebijakan konkret di tingkat global untuk menyelesaikan isu perubahan iklim. Dalam kaitan ini, Wang memperingatkan Kerry bahwa kerja sama hanya dapat diwujudkan jika AS tidak lagi menganggap RRT sebagai ancaman, seraya mendesak AS untuk menghentikan tekanannya di forum internasional.

Di lain pihak, Kerry menegaskan komitmen pemerintahannya untuk mengintensifkan komunikasi dengan RRT untuk bersama memimpin komunitas internasional dalam mengimplementasikan hasil kesepakatan Perjanjian Paris 2015 tentang Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim.

Dijelaskan pula bahwa kerja sama dalam menghadapi isu iklim dapat memulihkan hubungan bilateral kedua negara. Di sisi lain, Kerry juga mengunjungi Tianjin untuk bertemu dengan counterpart Xie Zhenzhua membahas strategi jangka panjang membatasi emisi karbon dan penggunaan bahan bakar fosil guna dipaparkan dalam konferensi PBB untuk perubahan iklim, COP26 pada akhir Oktober 2021.

Sebelumnya, Bank Dunia melaporkan lebih dari 60% penduduk Sudan Selatan mengalami kelaparan parah akibat konflik berkepanjangan, kekeringan dan bencana banjir. Pada 1 September 2021 di Jenewa, Swiss, World Meteorological Organization (WMO) mengatakan bencana alam seperti banjir dan gelombang panas yang dipicu perubahan iklim naik lima kali lipat dalam 50 tahun terakhir.

Badan meteorologi PBB itu menegaskan bencana-bencana tersebut telah menewaskan 2 juta orang lebih dan menimbulkan kerugian setidaknya US$3,64 triliun. Pernyataan itu berdasarkan survei pada 11.000 bencana dari tahun 1979 hingga 2019 termasuk bencana-bencana luar biasa seperti kekeringan di Ethiopia tahun 1983 yang yang menewaskan 300.000 orang, serta Badai Katrina tahun 2005 yang mengakibatkan kerugian ekonomi besar senilai US$163,61 miliar.

Namun, walau bencana alam semakin sering dan merugikan secara ekonomi, tapi angka kematian tahunannya menurun, pada 1970-an, kematian akibat bencana alam bisa mencapai 50.000 lebih tapi pada 2010-an menjadi sekitar 18 ribuan, sehingga menunjukkan perencanaan yang baik karena berhasil menekan angka kematian. WMO mencatat hanya setengah dari 193 negara anggotanya yang memiliki sistem peringatan multi-bencana, sehingga terjadi ketimpangan dalam pemantauan cuaca terutama di Afrika sehingga sistem peringatannya tidak akurat.

Itulah beragam tantangan dan gangguan yang akan dihadapi pemerintahan beberapa negara di tahun 2022, namun dari tantangan dan gangguan tersebut tentunya yang berpotensi sebagai “black swan” adalah perubahan iklim (climate change) karena kita tidak dapat memprediksikan secara tepat kapan akan terjadi, dan jika terjadi ini jelas terjadi “pendarahan hebat” dalam sirkulasi keuangan dunia yang dapat berimplikasi menimbulkan kekacauan ekonomi, politik dan mendestabilisasi situasi keamanan global, regional bahkan nasional.


Toni Ervianto

***