The Last Bookstore

San Francisco bertabur toko buku. Sebelum ke Universitas Berkeley, saya menyambangi salah satunya yang bernama Christopher's Books.

Jumat, 26 Agustus 2022 | 05:43 WIB
0
143
The Last Bookstore
Saya dan toko buku (Foto: dok. Pribadi)

"Baru kali ini saya mendapat tamu yang minta diantar ke toko buku," kata Arnold, sopir yang menemani saya selama dua hari di San Francisco, Amerika Serikat. Arnold,orang Indonesia yang bekerja sebagai sopir mobil sewaan di Amerika lebih dari 20 tahun. Biasanya, kata Arnold, tamu-tamunya minta diantar ke factory outlet, toko cindera mata atau tempat-tempat wisata.

Akhir Juli 2022, saya kunjungan kerja ke Boeing, SpaceX, Meta (Facebook), Cisco, dan sejumlah perusahaan penyedia teknologi satelit dan digital di Amerika Serikat. Di sela-sela kunjungan kerja itu saya mencuri waktu berburu buku.

Di Los Angeles, saya menyambangi toko buku Barnes & Noble. Meski toko buku tersohor ini terbilang besar, koleksi buku yang menjadi selera saya kurang banyak. Saya hanya membeli satu buku berjudul "Politics and Vision: Continuity and Innovation in Western Political Thought" karya Sheldon S. Wolin

Saya mendapat informasi, di pusat kota California ada toko buku bekas bernama The Last Bookstore. Namanya yang unik itu membuat saya tak sabar menyambanginya. Satu sore, seusai kunjungan kerja, saya langsung ke The Last Bookstore. 

Toko buku empat lantai ini betul-betul unik dan menarik penataannya. Ada satu sudut yang buku-bukunya ditata menyerupai lorong atau terowongan. Saya perhatikan sejumlah pengunjung berfoto atau berswafoto di situ.

Saya membeli sejumlah buku di The Last Bookstore, yakni "Four Sociological Traditions" karangan Randall Collins, "The Foucault Reader" karya Michel Foucault, dan "Coloring the News: How Crusading for Diversity has Corrupted American Journalism" karya William McGowan. Saya juga membeli kaos oblong bertuliskan The Last Book Store.

The Last Book Store mengingatkan saya pada toko buku yang namanya juga unik: "Better Read than Dead" di Sydney, Australia. Saya megunjunginya saat berlibur ke Sydney pada 2015. Nama "Better Read than Dead", "Lebih Baik Baca daripada Mati", kata penjaga toko buku itu, merupakan plesetan dari ungkapan "Better Red than Dead", "Lebih Baik Merah (komunis) daripada Mati." Sayang saya lupa bertanya kepada penjaga The Last Book Store, mengapa tokonya dinamakan seperti itu. Mungkin saja dinamakan begitu karena toko buku fisik bakal berakhir riwayatnya lantaran orang beralih ke toko buku daring. 

Toko buku fisik sungguh-sungguh tamat riwayatnya di University of California at Berkeley. Diantar sopir Arnold, saya sempat mencoba berburu buku di universitas yang saya kenal dulu dari istilah "mafia Berkeley." Mafia Berkeley sebutan untuk para menteri-ekonom Indonesia masa Orde Baru, alumni universitas tersebut, seperti Soemitro Djojohadikoesoemo dan Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, J.B. Soemarlin, Dorodjatun Koentjoro-Jakti Sesampainya di Universitas Berkeley, petugas mengatakan universitas itu tidak lagi punya toko buku fisik, berganti menjadi toko buku daring. Dia mempersilakan saya memesan buku secara online tetapi saya tidak melakukannya.

San Francisco bertabur toko buku. Sebelum ke Universitas Berkeley, saya menyambangi salah satunya yang bernama Christopher's Books. Saya membeli buku "Islam and Democracy" karya John L Esposito dan John O. Voll, "The Reality of the Mass Media" karya Niklas Luhmann, "Religion and Violence: Philosophical Perspective from Kant to Derrida" karangan Hent De Vries dan "Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy" karya Christine Dobbin. Buku terakhir ini saya punya edisi bahasa Indonesianya berjudul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri.

***