Bencana Deepwater Horizon [3]

Jadi, negara tidak boleh mempertaruhkan kepentingan rakyatnya dan juga lingkungan hidup dari ancaman bencana tumpahan minyak, dengan mengabaikan kemungkinannya.

Senin, 9 September 2019 | 12:02 WIB
0
468
Bencana Deepwater Horizon [3]
Kebakaran Deepwater Horizon (Foto Grist.ord)

Operasi intensif penanggulangan tumpahan minyak di Teluk Mexico dinyatakan berakhir pada 19 September 2010, atau 87 hari setelah ledakan pertama di Deepwater Horizon. Meski demikian, aktivitas penanggulangan minyak di wilayah pantai, terus berlangsung hingga tiga tahun setelah kejadian.

Adalah CEDRE (Centre of Documentation, Research and Experimentation on Accidental Water Pollution), sebuah lembaga penanggulangan tumpahan minyak dari Perancis yang mengungkap bahwa terjadi keanehan dalam peristiwa tumpahan minyak di Teluk Mexico. Pada pertengahan Juli 2010, setelah tiga sumur Macondo disumbat dan ditutup, minyak yang sebelumnya menutupi sebagian perairan lepas pantai selatan Amerika, tiba-tiba hilang begitu saja.

Dalam publikasi itu disebutkan, para ahli dari University of Texas, California dan New Hampshire berpendapat, minyak dan gas methana yang keluar dari sumur Macondo pada bulan September hilang begitu saja. Menurut mereka minyak yang bercampur dengan methana itu mengembang dan terurai oleh bakteri.

Apa yang dipublikasikan oleh CEDRE itu relevan dengan yang dikatakan oleh Christopher D'Elia dari Louisiana State University yang juga Dekan School of the Coast and Environment, Lousiana.

Dari 4.928.100 barel minyak yang tumpah ke Teluk Mexico selama 53 hari, 17% diangkat melalui operasi penanggulangan di pantai, 5% terbakar, 3% disedot skimmer, 8% ternetralisir oleh dispersant, 16% ternetralisir secara alami, dan 25% terevaporasi atau terurai. Sisanya, 26% atau sekitar 1.281.306 barel minyak kemana? Apakah berubah menjadi tar mats, tar balls, menguap, atau terkubur di bawah pasir dan sedimen?

“Minyak itu seperti jenderal yang menghilang dari medan perang. Tanpa ketahuan. Kita tidak tahu dimana minyak itu, seperti apa, kemana larinya, apakah menghilang?” kata D’Elia.

Akibat ‘menghilangnya’ minyak secara tiba-tiba dari area tumpahan, berimplikasi pada banyak hal. Antara lain, Pemerintah Amerika menyatakan, dengan menghilangnya minyak itu, maka pemesanan berbagai produk PPTM dibatalkan.

Keruan saja, banyak produk PPTM yang sudah dipesan dan sedang dalam perjalanan menuju Teluk Mexico, dilelang oleh produsennya. Seorang ahli penanggulangan tumpahan minyak di Indonesia mengatakan, produk-produk PPTM yang harga normalnya mencapai US$1,2 juta, dijual hanya US$100 ribu.

Dampak dan Pinalti

Selain 11 orang pekerja yang hilang, korban pertama yang jatuh akibat tumpahan minyak yang demikian massif kekayaan hayati laut dan pantai di sekitar tempat kejadian. Area tumpahan minyak itu adalah habitat bagi 8.332 spesies, termasuk 1.270 jenis ikan, 218 spesies burung, 604 polychaeta (sejenis cacing laut), 1.456 moluska, 1.503 jenis udang, 4 spesies kura-kura laut, dan 29 jenis mamalia laut.

Hewan-hewan itu sebagian besar mati, dan sebagian lainnya pergi ke daerah yang aman. Bahkan satu latu laporan riset yang dirilis Diseases of Aquatic Organisms pada 12 April 2016, menunjukkan bahwa 88% lumba-lumba yang lahir di area tumpahan saat itu kini hidup dengan paru-paru yang tidak normal.

Selain itu, di tempat yang sama juga ada ribuan jenis tumbuhan laut. Tumbuhan laut sebagian besar mati, dan perlu waktu sekitar 60 tahun untuk bisa pulih kembali. Kerugian berupa kerusakan lingkungan hidup perairan ini tak bisa dinilai dengan uang.

Sementara kerugian ekonomi yang dialami masyarakat sekitar pantai, tidak kurang dari US$2,5 miliar di sektor industri perikanan, US$23 miliar di sektor pariwisata, dan industri penunjang pariwisata kehilangan pendapatan sebesar US$34 miliar per tahun, dalam beberapa tahun. Dan ratusan miliar dolar Amerika Serikat di industri migas itu sendiri, karena setelah peristiwa itu, Pemerintah Amerika Serikat memerintahkan untuk menghentikan segala kegiatan migas di Teluk Mexico hingga selesai investigasi atas kasus Deepwater Horizon.

Pada 16 Juni 2010, setelah CEO dan direksi BP menghadap Presiden Obama, BP mengumumkan akan membentuk Gulf Coast Claims Facility (GCCF) sebagai lembaga yang akan membayar claim sekitar US$20 miliar akibat kasus Deepwater Horizon.

Selama paruh kedua tahun 2010 saja, BP sudah menerima 126 gugatan dari berbagai pihak, dan hampir 100.000 klaim individu dan perusahaan. Semua gugatan itu berakhir dengan denda, pinalti atau ganti rugi.

Kemudian BP bersama Kementerian Kehakiman Amerika Serikat sepakat untuk BP membayar penalti sebesar US$4,525 miliar dan pembayaran-pembayaran lainnya. Sementara The Wall Street Journal melaporkan Pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara bagian yang terdampak tumpahan minyak Deepwater Horizon, menyampaikan tawaran agar BP membayar US$16 miliar saja.

Tapi pada February 2013, dana yang harus dibayarkan BP ke lembaga perwalian masyarakat, jumlahnya mencapai US$42,2 miliar. Pada September 2014 Pengadilan Amerika memutuskan BP sebagai penanggung-jawab utama dalam kasus Deepwater Horizon karena kelalaian dan perilaku ceroboh. Juli 2015 BP menyetujui pembayaran sebesar US$18,7 miliar. Pembayaran ini adalah yang terbesar dalam sejarah Amerika.

Sebenarnya, pada 21 April 2011 atau setahun setelah ledakan di Deepwater Horizon, BP melayangkan tuntutan sebesar US$40 miliar yang ditujukan kepada pemilik rig, Transocean, Halliburton dan produsen blowout preventer Cameron. Mereka dianggap gagal dalam menerapkan sistem safety, dan khusus Halliburton tidak bisa menyediakan software untuk menganalisis kondisi drilling rig. Tapi tuntutan itu ditolak.

Guna mempermudah urusan dengan Pemerintah Amerika Serikat, pada 27 Juli 2010 CEO BP Tony Hayward mengundurkan diri dan diganti oleh Bob Dudley, orang Amerika yang sebelumnya bekerja di Amoco. Ironis, dalam pidatonya beberapa saat setelah ditunjuk menjadi CEO BP pada 18 Desember 2006, Hayward mengatakan, masa kepemimpinannya akan menjadi ‘safety period’.

Catatan Untuk Indonesia

Di Indonesia, anjungan minyak lepas pantai laut dalam baru ada tahun 2003 di Sumur minyak West Seno Makassar TLPA Field, sedalam 1.000 meter. Sementara anjungan lepas pantai, yang kedalamannya kurang dari 500 meter, sudah ada sejak tahun 1970an, terdapat di lepas pantai Cirebon, Jawa Barat.

Beberapa anjungan lepas pantai pada Blok Arjuna itu kini dioperasikan oleh Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java. Mungkin ke depannya, di Indonesia akan lebih banyak anjungan lepas pantai yang beroperasi di laut dalam, misalnya di perairan Natuta, Maluku atau Papua.

Terlepas dari berapa meter kedalaman dasar laut dimana terdapat drilling riser-nya, risiko yang mungkin serupa dengan apa yang terjadi di Deepwater Horizon, tidak boleh dinihilkan. Karenanya, sebagai langkah preventif dan antisipatif, sudah selayaknya pemerintah dan perusahaan-perusahaan KKKS membuat standard opration procedure yang lebih ketat, agar tragedi Deepwater Horizon tidak terjadi di Indonesia.

Ini penting, karena ketika tragedi semacam itu terjadi, negara sebesar, semodern, dan sekaya Amerika Serikat saja harus pontang-panting untuk melakukan penanggulangan tumpahan minyak, dan menekan dampak yang diakibatkannya. Begitu juga perusahaan raksasa sekelas BP, menjadi babak belur ketika harus menutupi kewajibannya karena ‘kelalaian’ yang terjadi dalam hitungan menit. Bahkan, beberapa sumber ISafety mengatakan, hingga beberapa tahun ke depan, sedikitnya 60% keuntungan usaha BP masih harus dialokasikan untuk pembayaran klaim, denda, atau ganti rugi.

Ketika terjadi bencana tumpahan minyak yang begitu massif, masyarakat Amerika sudah melek dan memiliki kesadaran hukum, apa yang harus dilakukan ketika kepentingan mereka terusik. Bagaimana jika hal itu terjadi di Indonesia? Masyarakat Indonesia belum seluruhnya paham akan hukum. Negara harus siap hadir dalam mewakili kepentingan atau hak-hak rakyatnya dari kerugian yang mungkin terjadi akibat tumpahan minyak.

Contigency plan yang disusun harus meliputi dua kondisi, pertama, bagaimana operasional di rig mampu menutup kemungkinan terjadinya accident. Tentunya, setiap fenomena yang di luar kenormalan, bisa diketahui dan direspon dengan cepat dan tepat, untuk menghindari bencana. Kedua, contigency plan yang capable dan applicable, jika terjadi accident yang kemungkinan besar menyebabkan tumpahan minyak dalam jumlah besar, Tier-3 menurut ketentuan IMO.

Sejauh ini, perusahaan minyak, otoritas pelabuhan, dan perusahaan yang memiliki perairan sebagai area kerjanya, hanya melakukan latihan penanggulangan tumpahan minyak Tier-2. Sedangkan latihan penanggulangan minyak dalam skala besar, Tier-3, yang koordinasi penanggulangannya dilakukan oleh negara, tidak pernah dilakukan.

Di Indonesia, satu-satunya institusi yang memiliki kemampuan dan kompetensi menanggulangi tumpahan minyak dalam skala besar (Tier-2 dan Tier-3) adalah Oil Spill Combat Team (OSCT) Indonesia. Selain itu, OSCT Indonesia memiliki jaringan dan perjanjian kerja sama dengan organisasi penanggulangan tumpahan minyak di banyak negara, termasuk Australia sebagai salah satu negara terdekat. OSCT Indonesia juga tergabung dalam aliansi organisasi penanggulangan tumpahan minyak negara-negara Asia, RITAG.

Sehingga, sudah sewajarnya jika OSCT Indonesia dilibatkan dalam penyusunan national contingency plan penanggulangan bencana tumpahan minyak dalam skala besar.
Karena pada praktiknya, jika terjadi tumpahan minyak dalam skala besar, akan melibatkan lembaga dari negara lain dalam penanggulangannya. Mekanisme itu tidak bisa berjalan begitu saja, tanpa ada kontrak kesepakatan sebelumnya.

Jadi, negara tidak boleh mempertaruhkan kepentingan rakyatnya dan juga lingkungan hidup dari ancaman bencana tumpahan minyak, dengan mengabaikan kemungkinannya. Sistem tanggap darurat nasional di sektor migas harus terus dievaluasi dan disempurnakan.

(Selesai)

***

Tulisan sebelumnya: Bencana Deepwater Horizon [2] Melibatkan Tim Ahli Nuklir