Meskipun, negara kaya minyak ini secara ekonomi tergantung pada Rusia. Begitulah lima negara di Asia Tengah itu menjatuhkan pilihannya. Kepentingan nasional menjadi yang nomor satu untuk diperjuangkan.
Asia tengah serba repot
Masa lalu lima negara Asia Tengah—Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan—tak pernah bisa hilang dari ingatan mereka.
Bahkan tidak hanya sekadar tertanam dalam ingatan, tetapi telah menjelma menjadi “hantu” yang membayangi kehidupan mereka sebagai bangsa dan negara merdeka dan berdaulat.
Sampai Uni Soviet bubar pada tahun 1991, kelima negara itu adalah bagian dari 15 republik Uni Soviet.
Republik Sosialis Soviet Bersatu (The United Socialist Soviet Republic/USSR) dibentuk lima tahun setelah Revolusi Rusia atau Revolusi Bolshevik, 1917.
Gagasan pembentukan USSR dari Vladimir Lenin dan Joseph Stalin, yang disampaikan pada All-Union Congress of Soviet I, 30 Desember 1922.
Sejak itu terbentuklah USSR, yang hingga bubar beranggotakan 15 negara republik.
Ke-15 republik itu adalah Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Latvia, Lithuania, Moldova, Russia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan.
Sebelum akhirnya bubar, USSR merupakan negara terbesar di dunia. Luas wilayahnya lebih dari 22,4 juta kilometer persegi dan membentang sepanjang 10.900 kilometer dari barat ke timur dari Pegunungan Carpathian dan Laut Baltik hingga Samudra Pasifik, dan utara ke selatan dari Samudra Arktik hingga Parmirs dan dataran Mongolia.
Bagian utara Uni Soviet ditutupi oleh sisa-sisa es Arktik; bagian selatan, dengan perkebunan kapas dan teh, dan kebun buah jeruk.
Ibu kota USSR adalah Moskwa yang juga ibu kota Rusia. USSR juga negara komunis terbesar di dunia.
Pusat kekuasaan ada di Moskwa. Dan, tangan kekuasaan Moskwa begitu kuat, tertanam di republik-republik itu.
Di zaman Joseph Stalin berkuasa (1927-1953), kuatnya tangan kekuasaan Moskwa itu sangat nyata. Rezim Stalin dicatat dalam sejarah dunia sebagai sangat brutal: puluhan juta orang mati di bawah kekuasaannya.
Ketika Stalin melaksanakan Revolusi Pertanian, pemerintah pusat menyita lahan-lahan partanian rakyat dan dijadikan satu dalam proyek pemerintah.
Para petani dipaksa bekerja untuk kepentingan pemerintah. Yang menentang, ditangkap lalu dibuang ke Siberia untuk kerja paksa. Banyak yang mati karena kelaparan. Menurut perkiraan antara lima hingga 10 juta petani mati.
“Sphere of influence”
Lima negara bagian di Asia Tengah adalah produk dari pembagian wilayah Soviet pada tahun 1920-an menjadi republik berkaitan dengan masalah etnis. Sebagian besar Asia Tengah dulunya merupakan protektorat Tsar Rusia.
Selama Revolusi Pertanian yang dilancarkan Joseph Stalin akhir tahun 1920-an, wilayah itu menjadi sasaran program revolusi itu; juga program modernisasi Soviet, antara lain kolektivisasi dan pemukiman paksa suku-suku nomaden.
Industrialisasi mendorong imigran Rusia, dan etnis Rusia masuk ke wilayah itu. Dan, mendominasi elite politik kawasan.
Setelah Mikhael Gorbachev melancarkan program glastonst dan perestroika—yang dianggap sebagai salah satu penyebab ambruknya Uni Soviet—pecahlah kerusuhan, demonstrasi, dan ekspresi ketidakpuasan lokal dan nasionalisme.
Glasnost menyerukan keterbukaan politik dan mengakhiri pelarangan buku dan KGB, mengizinkan warga untuk mengkritik pemerintah, dan mengizinkan partai lain selain Partai Komunis untuk berpartisipasi dalam pemilihan.
Perestroika adalah rencana ekonomi yang menggabungkan komunisme dan kapitalisme.
Meskipun Uni Soviet sudah runtuh, tujuan kebijakan luar negeri Rusia tetap mempertahankan dan, jika perlu, membangun kembali hubungan dekat dengan negara-negara tetangga yang pernah menjadi bagian dari Uni Soviet.
Banyak pengamat di dalam dan di luar Rusia menafsirkan kebijakan ini sebagai mengklaim sphere of influence, wilayah pengaruh tradisional.
Meskipun pembuat kebijakan Rusia menghindari referensi ke sphere of influence, mereka menggunakan istilah yang sebanding dengan istilah itu.
Di zaman USSR, rumusan yang digunakan oleh Moskwa menggambarkan status mereka adalah bahwa negara-negara ini “berdaulat, tetapi tidak independen” ("sovereign, but not independent”).
Pasca-Soviet, mereka disebut “luar negeri yang dekat” ("near abroad”) berbeda dengan “luar negeri yang jauh” (“far abroad”) yang digunakan untuk menyebut negara-negara yang indenpenden di era Soviet.
Istilah itu diciptakan untuk mendukung klaim bahwa perbatasan yang baru ditarik (antara, misalnya, Rusia dan Kazakhstan) mungkin bukan yang terakhir (Vladislav Inozemtsev, Memri, 7 Januari 2021).
Dan, pada tahun 2008, Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengatakan, Moskwa menyebut tetangga Rusia sebagai “wilayah” di mana Rusia memiliki “kepentingan istimewa”, “privileged interests” (Congressional Research Service, 15 April 2021).
Dengan istilah itu, Moskwa masih tetap ingin mempertahankan pengaruhnya. Rusia mewujudkan hal itu dengan mengembangkan hubungan multilateral dengan lingkaran negara yang lebih sempit.
Hubungan itu diteguhkan dengan dibentuknya, misalnya, pertama, Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO/Collevtive Security Treaty Organization, 2002), aliansi keamanan yang mencakup Rusia, Armenia, Belarusia, Kazakhstan, Kirgistan, dan Tajikistan.
Kedua, Uni Ekonomi Eurasia (EEU/Eurasia Economic Union, 2014), yakni pasar tunggal terbatas yang mencakup semua anggota CSTO kecuali Tajikistan; dengan tiga negara berstatus obsever, yakni Kuba, Moldova, dan Uzbekhistan.
Tujuan CSTO adalah fokus menjaga integritas teritorial dan mengupayakan kerja sama lebih erat dengan institusi multilateral lain, seperti PBB, Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa, Shanghai Cooperation Organization (Organisasi Kerja Sama Shanghai, SCO), dan NATO (GlobalSecurity.org).
Ada beragam tujuan dan alasan negara-negara itu bergabung dengan EEU. Misalnya, untuk mengakomodasi keinginan Rusia, memastikan peluang migrasi tenaga kerja, mempromosikan subsidi antar-pemerintah, dan meningkatkan keamanan rezim yang berkuasa.
Selain itu juga, kepentingan fasilitasi perdagangan dan investasi serta perlindungan terhadap berbagai ancaman eksternal (termasuk terorisme dan perdagangan narkoba).
Dalam praktiknya, Rusia mendominasi CSTO dan EEU. Rusia memiliki hampir 80 persen dari total populasi EEU (184,5 juta berdasarkan data 2020), lebih dari 85 persen dari total produk domestik bruto (PDB) anggota EEU, dan sekitar 95 persen pengeluaran militer anggota CSTO.
Rusia memelihara hubungan ekonomi, keamanan, dan politik bilateral yang aktif dengan negara-negara anggota CSTO dan EEU.
Para pengamat menganggap hubungan bilateral ini lebih penting bagi Moskow daripada hubungan multilateral Rusia di kawasan itu.
Satu hal yang tidak bisa dipungkir oleh negara-negara di Asia Tengah itu adalah Rusia tetap penjamin utama stabilitas di kawasan dan sangat terlibat dalam masalah keamanan dan ekonomi regional.
Resolusi MU PBB
Maka lima negara di kawasan Asia Tengah—Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, Uzbekistan, dan Turkmenistan—tidak ada yang mendukung resolusi. Apalagi menentang.
Mereka mengambil sikap berbeda-beda sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Kazakhstan, Kyrgystan, dan Tajikistan, milih abstain; sedangkan, Uzbekistan dan Turkmenistan tidak memberikan suara sama sekali (absent).
Mengapa ketiga negara tersebut abstain dan yang dua tidak memberikan suara? Kiranya latar belakangan hubungan mereka dengan Rusia di atas, sedikit memberikan gambaran akan sikap mereka.
Misalnya, Kazakhstan, yang terletak di sebelah selatan Rusia. Posisi Kazakhstan seperti terkunci: sebelah utara berbatasan dengan Rusia; selatan dengan Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kyrgystan; timur dengan Rusia dan China; barat dengan Rusia dan Laut Kaspia.
Maka, menurut Institute for War and Peace Reporting (1 Maret 2022), posisi strategik, keamanan, politik, dan ekonomi Kazakhstan tergantung pada Rusia. Ini yang antara lain melatari Kazakhstan abstain.
Selain itu, ada kerja sama antara Rusia dan Kazakhstan dalam proyek digitalisasi, pembangunan energi nuklir. Kazakhstan juga tergabung dalam EEU dan CSTO. Kedua negara—Kazakhstan dan Rusia—berbagi perbatasan.
Perbatasan kedua negara memanjang dari timur ke barat sepanjang 7.591 kilometer yang merupakan perbatasan terpanjang kedua di dunia setelah perbatasan Kanada-AS, 8,891 kilometer.
Perbatasan ini digariskan sejak tahun 1930 dan hingga kini tidak pernah berubah. Berbatasan langsung dengan Rusia, tentu menjadi pertimbangan lain lagi bagi Kazakhstan.
Apalagi, dalam konferensi pers tahunannya (The Algemeiner, 5/1) saat menjawab pertanyaan Kazakhstan TV, Putin mengatakan, “Kazakhstan adalah negara berbahasa Rusia dalam arti kata yang sebenarnya.”
Pertanyaan itu sebuah “isyarat” mirip dengan pernyataan Putin tentang Ukraina yang disebut sebagai “satu saudara.”
Selain pernyataan Putin, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov juga mengatakan, xenophobia telah memicu beberapa serangan terhadap penutur bahasa Rusia di Kazakhstan.
Jumlah penduduk Kazakhstan (worldometers.info/14/2022) adalah 19.156.950 jiwa. Dari jumlah itu, 63,1 persen orang Kazakhs, 23,7 persen Rusia, dan sisanya sedikit-sedikit: Uzbeks, Ukraina, Uygur, Tartar, Jerman, Chechnya, Korea, dan Turki Meskhetian.
Ketika Januari lalu pecah demonstrasi anarkis anti-pemerintah di Kazakhstan, President Kassym-Jomart Tokayev meminta bantuan aliansi militer pimpinan Rusia, CSTO, untuk mengatasi para demonstran yang oleh Tokayev disebut “gerombolan teroris.”
Dengan cepat Rusia mengirimkan pasukannya. Dan, dengan mudah pula mengatasi demonstrasi tersebut.
Sikap Tajikistan tak jauh berbeda dengan Kazakhstan. Tajikistan mempertimbangkan rakyatnya yang bekerja di Rusia.
Tahun 2021, antara Januari dan September, ada 1,6 juta orang Tajikistan yang bekerja di Rusia. Tajikistan adalah negara termiskin di Asia Tengah.
Sekitar 70 persen ekonomi keluarga bergantung pada pengiriman uang anggota keluarga mereka yang bekerja di Rusia. Menurut Dana Moneter Internasional, PDB per kapita negara 844 dollar AS pada tahun 2020.
Tidak hanya Tajikistan yang banyak rakyat berkerja di Rusia, Uzbekistan demikian juga. Bahkan, jumlah orang Uzbekistan yang bekerja di Rusia lebih banyak: 3,3 juta orang. Dari Kyrgystan, 620.000 orang (Firstpost Explainer, 8/3).
Uzbekistan juga memiliki kerja sama militer dan ekonomi ekstensif dengan Rusia. Maka Uzbekistan memilih tidak memberikan suara sama sekali.
Maka dari itu, para pemimpin dari Tajikistan, dan Uzbekistan memilih bersikap netral dalam perang.
Sebab, mereka memiliki hubungan dekat dengan Rusia dan Ukraina. Mereka juga ingin tetap memiliki hubungan yang baik dengan Barat, tetapi mereka tidak “mampu” mengusik Kremlin.
“Mereka sama sekali tidak ingin memutuskan hubungan dengan Barat, tetapi harus berurusan dengan Rusia yang menjadi tetangganya,” komentar ilmuwan politik Tajik Parviz Mullojanov kepada Voice of America.
Kyrgystan lah yang secara terbuka mendukung Rusia. Dalam laman Facebook-nya, 22 Februari, Presiden Kyrgystan Sadyr Japarov mengatakan, kegagalan menaati Kesepakatan Minsk (2014 dan 2015) mendorong pasukan Rusia masuk ke Donbass dan mengambil “langkah perlu” untuk melindungi penduduk Donbass. Pernyataan Japarov itu membenarkan aksi militer Rusia.
Bahkan Japarov mendukung pengakuan Rusia atas pemisahan Donetsk dan Luhansk dari Ukraiana dengan menyatakan, kedua wilayah memiliki hak untuk merdeka (The Diplomat, 1/3).
Meskipun belakangan Kementerian Luar Negeri Kyrgystan menyatakan negaranya memilih netral.
Letak negara kecil—total wilayah, 199.951 kilometer persegi—ini juga terkunci: utara berbatasan dengan Kazakhstan, barat dengan Kazakhstan dan Uzbekistan, selatan dengan Tajikistan dan China, serta timur dengan China.
Di negara ini Rusia memiliki pangkalan angkatan udara di Kant. Ini sangat penting, dan menjadi pertimbangan Kyrgystan. Kedua negara adalah mitra strategik.
Pada tahun 2000, mereka menandatangani “Declaration on Eternal Friendship, Alliance and Partnership”; sama-sama anggota Organisasi Kerja Sama Shanghai (Shanghai Cooperation Organisation/SCO) dan EEU.
Rusia adalah mitra utama dalam ekonomi dan perdagangan. Selama bertahun-tahun, Rusia mensuplai kebutuhan minyak dan produk-produk minyak lainnya.
Bahkan, Rusia pernah (2019) menghapus utang Kyrgystan yang saat itu berjumlah 240 juta dollar AS dan lalu diberi bantuan 30 juta dollar AS gratis.
Rusia tidak membebankan bea ekspor atas barang-barang Rusia yang dipasok sesuai kebutuhan Kyrgystan, lebih dari 1 juta ton per tahun (journal-neo.org/2019/04/17/).
Sementara itu, kalau Turkmenistan tidak memberikan suara terhadap resolusi, sangatlah wajar.
Negara ini, sejak memerdekakan diri lepas dari Uni Soviet, 27 Oktober 1991 dan diakui 26 Desember 1991, mengambil posisi dan sikap berbeda.
Turkmenistan memilih posisi netral dalam hal sebagian besar masalah internasional. Netralitas Turkmenistan ini disahkan lewat resolusi khusus MU PBB pada tanggal 12 Desember 1995.
Resolusi yang didukung 185 negara berjudul “Netralitas Permanen Turkmenistan” itu memberikan pengakuan atas politik luar negeri damai negara itu dan memberikan peran otoritatif sebagai negara yang dapat memberikan kontribusi layak untuk pengembangan hubungan internasional yang damai, memastikan keamanan universal dan kemajuan dunia (Diplomat Magazine, 1st November 2015).
Model netralitas Turkmenistan mengasumsikan bahwa hukum internasional kontemporer adalah hukum perdamaian, dan bahwa negara netral harus terus-menerus mematuhi statusnya tidak hanya di masa perang, tetapi juga di masa damai.
Sebagai fenomena baru dalam praktik hukum internasional, netralitas Turkmenistan telah menjadi dasar dari konsep baru kerja sama dan pencapaian perdamaian dunia.
Pilihan itu menarik. Maka Turkmenistan mengizinkan pasukan AS dan NATO menggunakan fasilitas militer dan pangkalan udaranya, saat perang Afganistan, menyusul serangan teroris 11 September 2011.
Meskipun, negara kaya minyak ini secara ekonomi tergantung pada Rusia. Begitulah lima negara di Asia Tengah itu menjatuhkan pilihannya. Kepentingan nasional menjadi yang nomor satu untuk diperjuangkan.
***
Catatan: Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Membaca Resolusi MU PBB (Bagian II)
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews